DEMOCRAZY.ID - Revolusi mental menjadi salah satu program Presiden Joko Widodo atau Jokowi berasaskan konsep Trisakti Bung Karno yang diungkapkan oleh Presiden Pertama RI, Soekarno.
Dalam pidatonya pada 1963, Soekarno mengungkapkan tiga pilar agar Indonesia berdikari yang disampaikan Jokowi dalam artikelnya di harian Kompas pada Mei 2014.
Konsep Trisakti itu diungkapkan Soekarno pada 17 Agustus 1964, dalam pidato berjudul Tahun ViVere Pericoloso (Tavip).
Ia menekankan tiga paradigma besar yang menjadi pendorong bangsa Indonesia, yaitu tiga daulat: berdaulat dalam politik, berdaulat dan berdikari dalam ekonomi, serta berdaulat dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Pada Pilpres 2014, konsep kedaulatan itu dijadikan Jokowi sebagai asas program Revolusi Mental. Saat itu, Jokowi mengatakan Indonesia membutuhkan revolusi mental agar bisa menjadi sebuah negara yang maju.
“Satu yang sangat penting menurut saya adalah revolusi dari mental. Dari negativisme menjadi positivisme. Ini penting sekali untuk mengubah mindset karena kita ini bangsa yang besar,” katanya, pada 24 April 2014.
Awal mula pengusungan revolusi mental tersebut disoroti oleh Maygsi Aldian Suwandi, Dosen PSDK, Fisipol, UGM.
Ia menyampaikan, revolusi mental saat awal diusung oleh Jokowi dapat menjadi angin segar.
“Karena program yang dijanjikan oleh pasangan calon (paslon) sering terkait dengan pembangunan yang cenderung infrastruktur dan bantuan sosial. Namun, di sini ada gerakan (revolusi mental) sebagai support program yang berupaya menyadari,” kata Maygsi kepada Tempo.co, pada Senin, 14 Oktober 2024.
Menurut Maygsi, nilai-nilai revolusi mental sudah tertanam kuat oleh masyarakat Indonesia.
“Sebenarnya, nilai revolusi mental itu sudah ada di masyarakat Indonesia sejak lama dan mendarah daging, seperti gotong royong, empati, dan solidaritas. Namun, kita acapkali menganggap nilai kita itu pure paling benar. Nah di situ, muncul adanya revolusi mental sebagai autokritik bagi kita semua bahwa ada sesuatu yang harus diubah,” terangnya.
Maygsi mengatakan, saat awal pemerintahan Jokowi menggaungkan revolusi mental menjadi langkah berani, tetapi tidak menjanjikan atau menarik suara para pemilih. Namun, revolusi mental dapat menjadi konsep yang penting.
“Saat itu, pada 2014, terkait dengan urgensi penerapan, saya rasa revolusi mental sangat penting. Sebab, media sosial mulai masuk dan black campaign semakin berbeda dari periode sebelumnya. Dan lagi, kita dihadapi oleh potensi sumber daya manusia Indonesia yang sedang disiapkan untuk menghadapi generasi emas 2045. Itu juga menjadi sebuah acuan yang penting untuk dilakukan dan dilaksanakan,” ujar Maygsi.
Maygsi menegaskan, revolusi mental menjadi gerakan untuk menerapkan nilai-nilai yang dimiliki beradaptasi dengan perkembangan zaman dan teknologi. Sayangnya, saat ini, revolusi mental belum well implemented.
“Terkait pelaksanaan revolusi mental mungkin terlalu jahat dikatakan gagal 100 persen. Namun, ambisi yang sangat besar saat program ini dicanangkan dan outcome yang terjadi, pelaksanaan revolusi mental masih jauh bagaikan api dari panggang,” katanya.
Secara keseluruhan, revolusi mental ini baik, tetapi banyak celah di dalamnya. Akibatnya, revolusi mental tidak benar-benar terjadi. Jika terjadi, revolusi mental tidak terjadi di berbagai lapisan.
Kendati demikian, Maygsi mengatakan, revolusi mental masih diperlukan untuk pemerintahan selanjutnya agar membuat bangsa berjaya, berdikari, dan sejahtera.
“Namun, catatan selanjutnya itu adalah revolusi mental dapat diejawantahkan dalam aspek-aspek pragmatis dan praktis yang bisa dilakukan, diukur, dan dirasakan. Jadi, bagaimana ini bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat bukan hanya sekadar jargon,” ujar Maygsi.
Sumber: Tempo