CATATAN POLITIK

Akankah Presiden Jokowi Mengalami “Tikus-Tikus Menguburkan Sang Kucing?"

DEMOCRAZY.ID
Oktober 01, 2024
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
Akankah Presiden Jokowi Mengalami “Tikus-Tikus Menguburkan Sang Kucing?"


Akankah Presiden Jokowi Mengalami “Tikus-Tikus Menguburkan Sang Kucing?"


Kebencian rakyat Rusia terhadap Peter bukanlah tanpa alasan.Meski di Barat ia dipandang sebagai sosok yang memodernisasi Rusia dengan membuka negeri itu kepada pengaruh Barat dan meningkatkan kekuatan militer serta industri, kebijakannya membuat kehidupan rakyat Rusia menjadi "syulit", untuk menunjukkan tingkat kesulitan yang ekstrem. Peter senang memajaki rakyatnya untuk segala hal, termasuk pajak janggut yang terkenal.


Kebencian itu ternyata bisa bertahan, bahkan ketika jasad orang yang dibenci mungkin sudah kembali menyatu dengan bumi, menjadi debu. Lihatlah Rusia di abad ke-18. Jauh setelah Tsar Peter Yang Agung (Pyotr the Great) meninggal pada 1721, sekitar tahun 1760-an muncul karya sindiran dalam bentuk seni rakyat lubok, atau litograf; karya seni 'lukis' di media kayu. Saat itu muncul karya yang hingga kini entah siapa pembuatnya, “Tikus-tikus Menguburkan Sang Kucing”, atau dalam bahasa Rusia "Myshi Kota Pogrebaiut".


Hingga kini, sejarah belum bisa menguak siapa sebenarnya pembuat litograf tersebut, namun banyak pihak menilai bahwa "kucing" dalam karya tersebut adalah simbol dari Tsar Peter, sementara "tikus" melambangkan rakyat kecil yang seolah merayakan kematian sang penguasa.


Litograf ini menjadi representasi kritik sosial terhadap pemerintahan Tsar Peter, terutama terhadap kebijakan Westernisasi yang dipaksakan olehnya. Seni lubok adalah wadah ekspresi rakyat yang menggunakan humor satir untuk menyampaikan perlawanan, sebuah cara untuk menghadapi tirani dengan tidak langsung, namun tajam. 


Dalam berbagai versi, "kucing" dalam kisah ini juga disebut dengan gelar "Kucing Kazan, Pikiran Astrakhan, Kebijaksanaan Siberia", sebuah ejekan terhadap gelar-gelar besar sang Tsar.


Kebencian rakyat Rusia terhadap Peter bukanlah tanpa alasan. Meski di Barat ia dipandang sebagai sosok yang memodernisasi Rusia dengan membuka negeri itu kepada pengaruh Barat dan meningkatkan kekuatan militer serta industri, kebijakannya justru membuat kehidupan rakyat Rusia menjadi "syulit", untuk menunjukkan tingkat kesulitan yang ekstrem. Peter senang memajaki rakyatnya untuk segala hal, termasuk pajak janggut yang terkenal. 


Pajak ini merupakan bagian dari upayanya untuk "memodernisasi" rakyat Rusia dengan meniru gaya hidup Eropa Barat yang bersih dari janggut panjang. Rakyat miskin harus memilih antara mencukur janggut mereka atau membayar pajak tambahan yang memberatkan, sebuah langkah yang jelas menunjukkan otoritarianisme sang penguasa yang hanya menambah penderitaan rakyatnya.


Fenomena seperti itu jelas bukan hanya terjadi di Rusia. Di berbagai belahan dunia, humor dan seni sering kali menjadi wadah bagi rakyat untuk mengungkapkan kekecewaan, kritik, dan kadang-kadang bahkan kebencian terhadap penguasa yang dianggap gagal memenuhi janjinya. 


Dalam konteks Indonesia, Presiden Jokowi juga telah menjadi sosok yang penuh kontradiksi—mulai dari dipuja karena keberhasilan infrastruktur hingga dicibir karena melemahnya kualitas demokrasi dan kehidupan ekonomi publik di bawah pemerintahannya.


Tahun 1982, lagu “Dongeng Tikus dan Kucing” yang dinyanyikan Doel Sumbang muncul di Indonesia, mengingatkan kita pada analogi yang sama. Dalam liriknya, Doel menggambarkan seekor kucing yang banyak omong dan suka bohong, dengan para tikus yang menanti-nantikan saat sang kucing tiada. “Menurut para tikus si kucing banyak omong. 


Janjikan itu-ini, tapi nyatanya tidak…Entah di bulan apa, entah tanggal berapa, para tikus berpesta karena gembiranya, sebab si kucing belang yang suka banyak omong, dikabarkan meninggal entah karena apa…”


Seperti itulah nada sindiran yang, meskipun berbalut humor, sesungguhnya menyimpan rasa kecewa mendalam terhadap penguasa yang tidak menepati janji.


Di Indonesia, kemunduran demokrasi dan maraknya budaya korupsi menjadi sumber utama kekecewaan masyarakat di era Jokowi. 


Pada awalnya, Jokowi adalah simbol harapan bagi banyak orang—seorang presiden yang "membumi", dengan citra yang dekat dengan rakyat, seorang yang bisa memimpin Indonesia ke arah yang lebih baik, terutama dalam memberantas korupsi dan memperkuat lembaga demokrasi.


Namun, seiring berjalannya waktu, berbagai indikasi menunjukkan bahwa Jokowi lebih memilih merangkul kekuasaan dan pragmatisme politik daripada reformasi yang berkelanjutan. Sebagai contoh, revisi UU KPK pada 2019 secara signifikan melemahkan lembaga antikorupsi itu. 


Meskipun pada awalnya ia memposisikan dirinya sebagai pendukung pemberantasan korupsi, tindakan ini dianggap sebagai bentuk pelindungan terhadap oligarki yang semakin kuat di Indonesia. Fenomena ini jelas mencerminkan kegagalan "Revolusi Mental" yang dahulu dijanjikan olehnya.


Sebuah majalah berita dalam laporan edisi 28 Juli 2024 juga menyoroti hal itu, dengan menyebut pembangunan di era Jokowi sebagai sesuatu yang "superfisial". Infrastruktur yang dibangun, seperti proyek Ibu Kota Negara (IKN) dan kereta cepat, sementara tampak megah, banyak yang dinilai tidak memberikan dampak signifikan terhadap ekonomi daerah atau mengurangi ketimpangan ekonomi. 


Lebih lanjut, media tersebut mengkritik bahwa "Revolusi Mental" yang dijanjikan Jokowi justru gagal total dalam mengubah etika birokrasi di Indonesia, yang sekarang malah terperangkap dalam praktik korupsi yang semakin parah.


Artikel media negara jiran, The Straits Times yang memuat judul "Goodbye Jokowi" pada 21 September 2024, mempertegas pandangan tersebut. Kata "Goodbye" yang digunakan bukanlah ungkapan perpisahan yang penuh penghormatan, melainkan lebih seperti ucapan dingin yang menandai kekecewaan dan penutupan atas warisan pemerintahan yang penuh dengan persoalan. Pilihan kata tersebut mengindikasikan bahwa Jokowi, meskipun meninggalkan infrastruktur yang bisa dirasakan hasilnya, juga meninggalkan masalah mendasar dalam kehidupan demokrasi Indonesia. 


Pencapaian infrastruktur dibangun dengan utang, yang jelas menjadi beban generasi mendatang, sementara kontrol pemerintah terhadap media dan lembaga-lembaga demokrasi semakin diperketat.


Fenomena "Tikus-tikus Menguburkan Sang Kucing" bisa menjadi relevan untuk menggambarkan situasi Jokowi saat ini. Seperti halnya Tsar Peter yang ditentang rakyatnya melalui litograf, Jokowi menghadapi tantangan dari rakyatnya yang kecewa dengan banyak janji yang tidak terpenuhi. 


Meskipun dalam banyak aspek ia dianggap berhasil, seperti dalam hal infrastruktur dan pencitraan diri, kenyataan sosial-ekonomi dalam negeri menunjukkan sebaliknya: melemahnya lembaga demokrasi, meningkatnya ketidaksetaraan ekonomi, dan maraknya korupsi. Hal itu diperparah dengan kesan bahwa Jokowi telah menjadi bagian dari lingkaran oligarki yang selama ini ia janji untuk lawan.


Laporan CELIOS tentang ketimpangan ekonomi di Indonesia pada tahun 2024 memberikan bukti kuat tentang ketidakadilan yang semakin meningkat di bawah pemerintahan Jokowi. Pembangunan ekonomi sering kali hanya diukur melalui angka-angka makroekonomi, seperti PDB, tanpa mempertimbangkan kualitas hidup masyarakat secara menyeluruh.


Dalam laporan berjudul "Pesawat Jet untuk Si Kaya, Sepeda untuk Si Miskin" itu tergambar secara ironis dan mencolok fakta ketimpangan ekonomi di Indonesia saat ini. 


Kekayaan para triliuner terus meningkat, sementara masyarakat kelas bawah harus terus berjuang hanya untuk bertahan hidup, tanpa adanya akses yang memadai terhadap pendidikan, kesehatan, atau bahkan kesempatan ekonomi.


Jokowi, yang memulai karir politiknya sebagai seorang "reformis", kini dinilai terjebak dalam pola autokratisme yang semakin meminggirkan hak-hak sipil. Penurunan kebebasan sipil dan tekanan terhadap pers, sebagaimana disebutkan dalam artikel The Straits Times, menunjukkan bahwa pemerintahan Jokowi lebih memilih stabilitas kekuasaan di atas segalanya. 


Edward Aspinall, seorang pakar politik Indonesia, juga menyebut bahwa Jokowi merusak demokrasi Indonesia dengan mengabaikan reformasi politik demi stabilitas jangka pendek.


Seperti halnya para tikus dalam litograf "Tikus-tikus Menguburkan Sang Kucing" yang merayakan kematian sang kucing, mungkin saja suatu saat nanti rakyat Indonesia akan merayakan kepergian Jokowi dari kursi presiden, meski bukan dengan kegembiraan yang nyata, melainkan dengan harapan untuk pemimpin baru yang benar-benar mampu memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan sekadar pencitraan.


Kendati Jokowi telah melakukan banyak hal yang tampak besar, warisannya di mata masyarakat justru penuh dengan kontradiksi—keberhasilan yang dibalut dengan kegagalan dalam hal-hal yang paling mendasar bagi masa depan demokrasi dan keadilan sosial di Indonesia.


Sumber: INILAH

Penulis blog