DEMOCRAZY.ID - Nama Kiai Imaduddin Utsman al Bantani kembali menjadi pembicaraan menyusul ketidakhadirannya dalam diskusi tentang nasab Baalawi yang digelar oleh Rabithah al Alawayidah.
Pengasuh dan Pendiri Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum memilih tidak hadir karena sejatinya diskusi digelar oleh UIN Wali Songo Semarang.
Awalnya, kata ia, UIN Wali Songo Semarang yang mengadakan debat soal Baalawi tersebut pada tanggal 10 September.
"Mengundang saya dan RA (Rabithah Alawiyah), kami menyanggupi," ujarnya.
Namun kemudian RA memilih menggelar sendiri pada tanggal 7 dan mengundangnya. "Menurut saya cukup debat di UIN saja toh waktunya hanya beda dua hari," kata Imaduddin.
Lantas siapa Imaduddin yang selama ini ngotot membantah jejak nasab habib, 'Baalawi', keturunan Nabi Muhammad SAW.
KH Imaduddin merupakan ulama kelahiran lahir di Cempaka-Kresek, Kabupaten Tangerang, pada 15 Agustus 1976 (19 Sya'ban 1396). Ia tercatat aktif di berbagai organisasi termasuki di Komisi Fatwa MUI Provinsi Banten (2022-2027).
Ini Tiga Kontroversi Imaduddin
1. Habib Indonesia Bukan Cucu Nabi
Imaduddin Utsman al Bantani menilai habib di Indonesia ini bukan cucu nabi. Secara ilmu nasab berdasar kitab kitab nasab abad 5-9 hijriah, para habib itu tidak tercatat sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW.
"Leluhur habib baru mengaku sebagai keturunan nabi pada abad 9 hijriah melalui kitab yang leluhur habib ini karang, nama kitabnya al burqotul musiqoh," ujarnya kepada Republika.
Mulai abad 9, mereka memperkenalkan diri sebagai cucu nabi. "Pengakuan mereka tertolak karena kitab sebelum abad sembilan tidak mencatat nama mereka sebagai cucu nabi," ujarnya.
2. Bantah Bahar Smith, Sebut Riwayat Baalawi Palsu
KH Imaduddin Utsman al-Bantani, ketua Komisi Fatwa MUI Banten, dan Pengurus LBM PBNU)telah menerangkan seputar bantahannya terhadap nasab Bahar Smith keturunan Nabi dalam artikel di laman Nahdlatul Umum dengan judul "Menjawab Bantahan Nasab Bahar Smith".
Dalam tulisan itu disimpulkan, keluarga Habib Baalawi yang menjadi akar nasab Bahar bin Smith (Sumaith) tertolak secara ilmiah sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW karena keluarga ini bernisbah kepada Ahmad bin Isa setelah 651 tahun dari wafatnya Sayyid Ahmad bin Isa tanpa sanad.
Kitab-kitab yang ditulis terdekat dengan masa Sayyid Ahmad bin Isa tidak mengonfirmasi adanya Alawi dan Ubaidillah sebagai cucu dan anak dari Ahmad bin Isa.
Alawi dan Ubaidillah ditulis sebagai anak dan cucu Ahmad bin Isa dalam kitab-kitab nasab jauh setelah lebih dari 650 tahun.
Tentunya aneh jika orang yang tidak ada dikenal sebagai keturunan Ahmad bin Isa lalu kemudian setelah 651 tahun disebut sebagai keturunannya tanpa sanad yang tersambung (muttasil).
Kedudukan riwayat nasab semacam Ba Alawi ini dalam ilmu hadits, menurut Imaduddin, masuk dalam kategori maudlu (palsu).
Mashurnya penyebutan Ba Alawi masa kini (tahun 1444 H) sebagai keturunan Nabi tidak bisa dijadikan pegangan kesahihan nasab mereka.
Sebagai gambaran, nasab Alawi yang selama ini disebut masuk keturunan Nabi Muhammad SAW yakni Alawi (w 400 H) bin Ubaidillah (w 383 H) bin Ahmad (w 345 H) bin Isa an-Naqib (w 300 H) bin Muhammad An-Naqib (w 250 H) bin Ali al-Uraidi (w 210 H) bin Ja’far al-Shadiq (w 148 H) bin Muhammad al Baqir (w 114 H) bin Ali Zaenal Abidin (w 97 H) bin Sayidina Husain (w 64 H) bin Siti Fatimah az-Zahra (w 11 H) binti Nabi Muhammad SAW (w. 11 H).
Lalu apakah klan Ba’alawi yang mengaku keturunan Nabi Muhammad SAW itu sudah tes DNA? "Alhamdulillah, klan Ba’alwi sudah banyak yang melakukan tes DNA, menurut Doktor Sugeng, sudah sekitar 180 orang," kata Imaduddin.
Berdasarkan sampel-sampel hasil test DNA mereka yang dapat diunduh di situs familytree dan berbagai situs lainnya, hasilnya.
Dari situ mustahil dapat dikatakan, mereka sebagai keturunan garis lurus laki dari Nabi Muhammad SAW dan Sayyidina Ali, karena keduanya berhaplogroup J1.
3. Enggan Debat di RA
Imaduddin pun menyatakan keengganannya untuk berdebat seputar nasab Baalawi dalam diskusi yang digelar oleh Rabithah al Alawiyah.
Ia menepis tak datang karena takut. Imaduddin lebih memilih menghadiri debat yang digelar oleh UIN Wali Songo Semarang. "Gak lah, mereka yang takut," ujarnya.
Berdasarkan pantauan melalui tayangan streaming Nabawi TV, hingga pukul 19.00 WIB Imaduddin beserta tim ahlinya juga belum tampak dalam forum diskusi itu. Pemaparan hanya dilakukan oleh tim peneliti dari Rabithah Alawiyah.
Dalam diskusi itu tampak hadir Ketua Maktab Daimi Syaikhon bin Abdulqadir Assegaf. Hadir juga perwakilan Rabithah Alawiyah, Muhammad bin Husein Al-Habsyi dan Ahmad bin Muhammad Al-Attos.
Sedangkan tim peneliti yang hadir ads Muhammad Hanif Alatas, Rumail Abbas, Idrus Al Masyhur, Maimun Nafis, Muhaimin Bahirudin, M Fuad A Wafi, dan Muhammad Assegaf.
Mabda Dzikara menjelaskan, diskusi ini sebenarnya merupakan diskusi dua arah antara kelompok penggugat dari Kiai Imaduddib Utsman dan kelompok yang tergugat Rabithah Alawiyah. Dia pun menegaskan bahwa sebagai moderator dirinya netral.
Mabda Dzikara juga merupakan lulusan UIN Syarif Hidatullah Jakarta yang kini menjadi dosen di Institut Ilmu Al-Quran Jakarta (IIQ). Di kampus ini pula Kiai Imaduddin menempuh pendidikan pasca sarjananya.
"Mudah-mudahan ini menjadikan para hadirin sekalian menganggap bahwa moderator ini insya Allah netral," ucap Mabda.
Sumber: Republika