DEMOCRAZY.ID - Aksi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sekaligus anak Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, menarik perhatian publik saat ia mengenakan rompi bertuliskan "Putra Mulyono".
Penampilan tersebut terjadi di tengah ramainya pembicaraan mengenai nama Mulyono, yang merupakan nama asli Presiden Jokowi sebelum berganti nama.
Hingga kini, Kaesang belum memberikan penjelasan mengenai alasannya mengenakan rompi tersebut saat blusukan ke Desa Daru, Kecamatan Jambe, Kabupaten Tangerang, pada Selasa (24/9/2024).
"Kita enggak tahu juga. Itu Mas Kaesang yang tiba-tiba pakai saat blusukan siang tadi," ujar Cheryl, perwakilan PSI, kepada Kompas.com pada Selasa malam.
Fenomena serupa pernah terjadi pada kakak Kaesang, Gibran Rakabuming Raka, yang mengenakan jersey bertuliskan "Samsul" saat dirinya diolok-olok publik karena salah menyebut asam folat sebagai asam sulfat.
Julukan "Samsul" pun melekat padanya, diambil dari istilah asam sulfat.
Di tengah olokan tersebut, Gibran justru tampil percaya diri dengan mengenakan jersey "Samsul".
Tindakan Kaesang dan Gibran menunjukkan perbedaan gaya politikus muda dan tua dalam menghadapi keramaian.
Namun, gaya yang seperti ini berpotensi menjadi bumerang jika tidak dipahami dengan baik oleh publik.
Pengamat: Anak muda suka melempar humor berbau "sarkas"
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Brawijaya Verdy Firmantoro mengungkapkan, terdapat perbedaan signifikan dalam gaya komunikasi politik antara politikus muda dan tua.
Ia menilai, anak muda lebih suka tampil informal dan bebas tanpa terikat aturan yang kaku.
"Gaya komunikasi politik anak muda berbeda dengan politik gaya lama. Itu untuk menunjukkan diferensiasi politik berdasarkan karakter ala anak muda yang cenderung suka informal, langsung (lugas), dan ingin tampil bebas atau fleksibel (tidak terikat aturan yang kaku)," jelas Verdy saat dihubungi pada Rabu (25/9/2024).
Verdy menambahkan, dalam konteks komunikasi politik, anak muda ingin mengekspresikan diri dengan mengirim pesan yang lucu, meskipun terkadang mengandung unsur humor sarkastis.
"Artinya pendekatan komunikasi yang digunakan justru mengungkapkan pernyataan 'merendahkan diri' atau self-deprecating humor untuk mendapatkan simpati atau menjadi pusat perhatian banyak orang," jelasnya.
Verdy mengatakan, jika seseorang disudutkan, maka orang itu biasanya pasti akan membela diri atau melawan.
Namun, alih-alih memberi perlawanan, politikus muda justru menjadikan serangan itu sebagai ajang parodi.
Dia menyebut politikus muda yang memakai cara itu sedang membentuk taktik manajemen kesan untuk mengubah persepsi publik terhadap isu atau masalah yang disoroti.
Meski demikian, kata Verdy, cara anak muda yang seperti itu juga bisa menjadi bumerang jika salah dipahami.
"Saya memandang gaya komunikasi politik anak muda cukup menarik. Namun, bentuk komunikasi seperti itu tidak selalu mendapatkan respons positif," kata Verdy.
"Jika sampai salah penggunaan karena tidak disesuaikan konteks, rawan disalahpahami. Terlalu berlebihan menanggapi situasi krusial dengan parodi juga berpotensi memberi kesan meremehkan persoalan," sambungnya.
Tetapi, jika pendekatan komunikasi politik gaya anak muda digunakan tepat dengan konteksnya, maka itu bisa mengurangi ketegangan. Verdy meyakini cara seperti itu dapat mencairkan suasana dan membuat orang merasa lebih dekat.
"Atau bisa membangun citra diri yang tidak terkesan elitis," imbuh Verdy.
Sumber: Kompas