'Prahara di Ujung Kekuasaan, ke Mana Para Pembela?'
Rasanya belum lama, Juni 2024, Litbang sebuah media kenamaan di tanah air merilis hasil survei mereka tentang kinerja pemerintahan Jokowi.
“Kepuasan terhadap kinerja Jokowi naik jadi 75,6 persen,” begitulah di antara redaksi yang tertulis di media tersebut. Kalimat yang mengabarkan tentang temuan Litbang media kenamaan itu kepada pembacanya.
Kepuasan hingga 75,6 persen adalah capaian luar biasa, jika dilihat dari fakta bahwa kekuasaan Jokowi telah berada di ujung senja. Belum ada presiden lain yang mencapai angka itu di akhir masa kekuasaannya.
Pihak-pihak yang sedari awal beroposisi dan meyakini bahwa Joko Widodo adalah pribadi yang penuh tipu daya, kerap mempertanyakan validitas hasil survei tersebut. Tetapi faktanya, hasil survei dari banyak lembaga survei lain juga menyatakan hal yang sama.
Mayoritas rakyat menunjukkan pula situasi “adem-ayem” dalam kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Bahkan, netizen yang coba menyerang kebijakan Joko Widodo di dunia maya, babak belur di hajar netizen pendukung Jokowi.
Artinya, tangan dingin Joko Widodo yang sukses memperbaiki Indonesia tampaknya telah diterima oleh mayoritas.
Pihak oposisi dan mereka yang curiga bahwa keberhasilan Joko Widodo adalah hasil settingan, pencitraan, dan kerja keras para buzzer, tidak pernah memiliki ruang untuk membuktikannya.
Opini “berhasil dan memuaskan” akhirnya menjadi fakta yang diterima oleh mayoritas masyarakat.
Lalu, fakta-fakta sejati itu muncul dengan sendirinya. Diawali dari wacana untuk berkuasa lagi pada periode ketiga yang disuarakan oleh para penjilat kekuasaan di sekeliling istana, carut-marut pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) yang semakin tercium oleh khalayak sebagai ambisi pribadi ketimbang untuk kepentingan nasional.
Belum lagi kegagalan pembiayaannya yang tak kunjung menggoda minat investor, malah menggunakan APBN.
Polemik soal putusan MK yang memuluskan pencalonan Gibran adalah satu ketidakpatutan yang masih publik ingat. Penghinaan Gibran atas Mahfudz MD dalam debat Capres beberapa waktu lalu juga masih terekam di benak publik.
Puncaknya adalah pada gelaran Pemilu 2024. Saat itu Joko Widodo dinilai tak lagi netral, bahkan dianggap mengkhianati partai yang dari awal mengusung dia.
Keretakan hubungan dengan PDI Perjuangan membuka sejumlah kran tentang keculasan yang diduga dilakukan oleh Presiden Joko Widodo.
Pada titik ini, pendukung, pengagum, bahkan pembela Joko Widodo, mulai terbelah. Ada yang tetap loyal, namun banyak yang menyeberang!
Skandal pencalonan Gibran kian membuka mata banyak pihak, bahwa Joko Widodo tak setulus penampilannya.
Dan entah mengapa, tingkah presiden dan kroninya malah makin terlihat menjadi-jadi menjelang habisnya masa jabatan. Antara lain, menjinakkan Golkar dan partai-partai lain di dalam genggamannya.
Publik benar-benar marah dan muak, saat putusan MK nomor 60 coba dilawan oleh kubu Joko Widodo dengan pengesahan RUU Pilkada menjadi Undang-Undang.
Ini pelanggaran konstitusi yang serius. Demonstrasi besar yang mungkin tak pernah dibayangkan Joko Widodo pun meledak di semua provinsi. Nyaris kerusuhan nasional terjadi karenanya.
Kebohongan dan Prahara di Ujung Kekuasaan, Ke Mana Para Pendukung?
Semenjak itu, lembar demi lembar kebohongan yang menjadi jejak Joko Widodo terungkap. Skandal-skandal yang melibatkan keluarga presiden mengemuka di hadapan publik.
Lagi-lagi publik sadar, Joko Widodo tak sesederhana baju putih dan sepatu kets yang selalu dikenakannya.
Misalnya, menantunya diduga oleh banyak pihak terlibat dalam skandal izin pertambangan yang dikenal dengan istilah “Blok Medan”. Skandal tersebut telah mentersangkakan mantar Gubernur Maluku Utara.
Para Penjilat di Pusaran Kekuasaan
Dari era kerajaan hingga masa demokrasi modern, praktik menjilat -atau tindakan berlebihan dalam menunjukkan kesetiaan dan dukungan kepada pemimpin atau pejabat berkuasa.
Gaya hidup putra bungsu dan menantunya juga tak kalah dibongkar-bongkar oleh netizen. Mereka dianggap hidup mewah dan kontradiktif dengan gaya sederhana yang kerap ditampilkan keluarga presiden selama ini.
Kasus menunggang jet pribadi yang mewah, ditengarai dilakukan oleh anak dan menantunya di Medan. Kemudian dilengkapi oleh skandal “numpang” jet pribadi yang dilakukan oleh Kaesang Pangarep dan istrinya. Kesemuanya itu terindikasi sebagai gratifikasi.
Masyarakat pun makin jengkel, saat lembaga anti rasuah mendadak pilek dan gagal mengendus dugaan gratifikasi tersebut.
Kini menjadi lengkaplah “Kisah prahara di ujung kekuasaan” saat akun Fufufafa menjadi temuan publik dan menyempurnakan skandal di lingkungan keluarga presiden. Tidak terelakkan, tudingan rakyat terhunus ke wajah keluarga presiden.
Hujatan atas tingkah polah keluarga presiden kembali ramai di lini massa. Fakta dan jejak digital sulit dibantah, Presiden Joko Widodo pun berada dalam pusaran prahara di ujung kekuasaannya.
Kasus Fufufafa kini menyeret nama putera sulungnya dan menghadapkan dia langsung kepada Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih!
Sarwo rikuh lan pakewuh, niat hati ingin tetap memiliki pengaruh pasca lengser keprabon nanti, Presiden Joko Widodo justru dibuat serba tak enak hati karena tingkah polah anaknya sendiri. Apa lagi langkah yang harus ia ayunkan untuk menyelamatkan karir sang anak dan masa depan dirinya sendiri setelah pensiun nanti?
Putusan MK: Akankah KIM-Plus Menjadi KIM-Min?
KIM-Plus tak hanya terbentuk oleh keinginan untuk menang Pilkada. Ada jatah kursi menteri yang dikompensasikan. Ada biaya politik yang juga dijanjikan untuk dikembalikan.
Anak sulung yang pernah digelari oleh netizen sebagai “Anak Haram Konstitusi” itu, kali ini bukan hanya menjadi batu sandungan. Ia bahkan telah menjadikan dirinya sebagai sandera di hadapan presiden terpilih! Permainan yang sesungguhnya amat ia kuasai, kini menjeratnya pula!
Namanya dan keluarganya lantas menjadi bulan-bulanan di media sosial. Hanya terlihat Budi Arie Setiadi yang lantang membela.
Buzzer tak lagi semilitan dulu. Dan ke mana pula para penjilat itu? Pada ke mana 75,6 persen rakyat yang puas itu? Apakah mereka semua sudah kehilangan kepuasan?
Wajar, jika ada perasaan merasa ditipu. Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus yang ia gadang-gadang efektif memberikan komitmen jangka panjang pada akhirnya hanya lamis belaka.
Partai-partai anggota KIM telah lepas kendali, tak lagi dalam orkestrasi pasca putusan MK tempo hari. Bohong semua!
Mungkinkah tengah terjadi “Menabur bohong menuai tipu-tipu”? Seperti kisah mobil ESEMKA, seperti janji ekonomi meroket, seperti hilangnya kebakaran hutan, seperti klaim tak ada impor beras, seperti klaim membangun 191.000 kilo meter jalan desa?
Senja yang indah jadi kelabu, begitulah senandung itu mengalun lembut. ***