'Prabowo Tunggu Momentum Tepat, Lengserkan Gibran Pasca Pelantikan'
Oleh: Damai Hari Lubis
Mujahid 212
Jokowi diduga terlibat pembiaran terhadap pelaku ujaran kebencian yang dilakukan oleh akun fufufafa.
Beberapa pakar bahkan menyebutkan bahwa lebih dari 90% konten akun tersebut mengarah kepada Gibran Rakabuming Raka, yang saat itu menjabat sebagai Wali Kota Surakarta.
Dasar tuduhan pembiaran ini (Pasal 421 KUHP) adalah karena hingga kini belum terdengar perintah dari Jokowi kepada Kapolri untuk melacak dan menangkap pemilik akun fufufafa, meskipun akun tersebut telah menghina Menhan—posisi penting dalam kabinet pemerintahannya.
Ada dugaan bahwa Jokowi enggan bertindak karena tuduhan publik mengarah kepada anaknya sendiri, Gibran, yang juga merupakan bakal calon wakil presiden.
Menariknya, hingga kini belum ada reaksi dari Menhan yang dihina atau dari Prabowo, bakal calon presiden yang dihinakan, meskipun diduga pelakunya adalah bakal cawapresnya sendiri.
Bisa jadi, ini adalah strategi Prabowo untuk menjaga agar Jokowi yang merupakan orang tua tertuduh publik—tidak melakukan manuver politik yang berlebihan.
Ada kekhawatiran bahwa manuver semacam itu bisa berujung pada penetapan negara dalam keadaan darurat sebelum 20 Oktober 2024, sehingga bisa menggagalkan pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih.
Secara politis, Prabowo tampaknya menunggu momentum yang tepat untuk “melengserkan” Gibran, namun kemungkinan besar baru setelah pelantikan.
Setelah itu, dinamika tekanan politik dan hukum yang mengarah kepada Jokowi sebagai mantan presiden mungkin akan muncul, mengingat banyak kelemahan yang selama ini telah diketahui oleh publik—bahkan beberapa di antaranya sudah menjadi “notoire feiten” atau fakta yang diketahui umum.
Kelemahan tersebut tidak hanya terkait dengan pembiaran akun fufufafa, tetapi juga kurangnya pembelaan dari Jokowi kepada calon presiden yang diusungnya.
Setidaknya, tindakan “basa-basi” dari Jokowi seperti memerintahkan Kapolri untuk mengejar dan menangkap pemilik akun fufufafa akan ideal sebagai langkah minimal.
Isi Pasal 421 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
“Seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.” ***