DAERAH KRIMINAL

Obat Keras Tramadol Bebas di Tanah Abang dan Pasar Pramuka, Pedagang: Polisi dan Buser Cuek aja

DEMOCRAZY.ID
September 17, 2024
0 Komentar
Beranda
DAERAH
KRIMINAL
Obat Keras Tramadol Bebas di Tanah Abang dan Pasar Pramuka, Pedagang: Polisi dan Buser Cuek aja



DEMOCRAZY.ID - Peredaran obat keras Tramadol secara ilegal di Jakarta kian mengkhawatirkan, sejumlah warga dengan terang-terangan menjual obat tersebut di pinggir jalan yang ramai kendaraan seperti di Jalan KS Tubun, Tanah Abang, Jakarta Pusat.


Tribunnews melakukan penelusuran di Jalan KS Tubuh pada Rabu (11/9/2024) siang, saat arus lalu lintas kendaraan di kedua sisi jalan tengah ramai. 


Diketahui, jalan tersebut merupakan penghubung dari Petamburan - Pasar Tanah Abang/Stasiun Tanah Abang dan sebaliknya.


Siang itu, tepat di depan Museum Tekstil, sejumlah orang terlihat berdiri di pinggir jalan membentuk barisan memanjang.


Masing-masing dari mereka tampak menggenggam dan menjajakan tumpukan obat yang dikemas di dalam plastik. Obat yang mereka jual itu adalah Tramadol, obat keras yang konsumsinya dilarang tanpa resep dokter.


Bak menjajakan kacang goreng, para penjual yang terdiri dari wanita dan laki-laki itu menawarkan Tramadol kepada siapapun yang lewat di sepanjang trotoar jembatan. Ada yang berdiri, ada pula yang sambil duduk di bangku lipat kecil.


Dari pantauan di sepanjang Jalan KS Tubun, Jalan Kebon Jati, Jalan Jembatan Tinggi, hingga kembali ke Jalan KS Tubun yang mengarah ke Petamburan, para penjual itu tampak sangat bebas dan secara terang-terangan menjual Tramadol di pinggi jalan.


Meski terlihat santai menggenggam Tramadol di tangannya, para penjual itu tampaknya selektif memilih pembelinya.


Seperti saat kedatangan Tribunnews, seorang penjual Tramadol yang mengenakan kaus, celana pendek, dan bersendal jepit, lebih dulu melihat penampilan orang yang mendanginya tanpa menawarkan barang dagangannya.


Saat Tribunnews beristirahat di sebuah warung kelontong di seskitar lokasi, datang seorang wanita paruh baya mengenakan baju warna coklat dan celana pendek ikut duduk.


Wanita itu terlihat menghitung beberapa lembar uang pecahan Rp50 ribu dan Rp100 ribu dari tas kecil miliknya.


Tribunnews kemudian mencoba bertanya kepada ibu berambut pendek itu dengan berpura-pura mencari obat. Benar saja, wanita paruh baya itu ternyata juga menjual Tramadol yang dia sebut 'Madol'.


"Obat apa? Oh Madol, ada saya ini, mau berapa?" tanya ibu itu sambil mengeluarkan obat dari dalam tas kecilnya.


Sambil merokok, wanita itu mengaku menjual obat keras itu dengan harga Rp30 ribu per satu strip.


Lantas, wanita itu secara terbuka menawarkan barang dagangannya itu seraya menyebut transaksi "barang" tersebut adalah "aman".


"Transaksi di sini aman, bu?" tanya Tribunnews.


"Aman kok aman. Tenang aja, aman kok di sini, minum di sini juga bisa, itu pakai air putih," jawab wanita itu.


Sekitar 10 menit setelah itu, penjual tersebut berbincang dengan teman seprofesinya terkait masalah penjualan Tramadol. 


Transaksi Tramadol di sana begitu cepat. Ini juga terlihat dari pembeli lain yang hanya menghentikan sepeda motornya sesaat untuk mengambil 'barang' dan berlalu pergi seperti sudah biasa membeli.


Setelahnya Tribunnews mencoba mencari penjual lain, hingga kemudian bertemu dengan seorang pria yang berjualan pakaian bekas.


Setelah minta izin beristirahat di bangku panjang di samping lapak dagangannya tersebut, Tribunnews kembali bertanya tentang tramadol kepada pria tersebut. 


Lagi, pria berusia 58 tahun itu ternyata juga menjual obat keras tramadol secara bebas.


"Ya, saya jual juga. Ini (jual Tramadol kerjaan) sampingan saja," ucap bapak itu.


Pria dengan garis keriput di wajahnya itu menjual Tramadol dengan harga yang sama dengan penjual lain yakni Rp30 ribu per strip. 


Namun, dia akan memberikan diskon jika memang Tramadol itu akan dijual kembali.


Dalam sehari, pria itu mengaku bisa menghabiskan puluhan boks berisi lima strip per-boksnya. Selain satu strip, dia juga bisa menjual setengah strip atau berisi lima tablet Tramadol.


Pembelinya pun dia sebut mulai dari kuli proyek, pedagang di toko-toko Pasar Tanah Abang hingga para pengamen jalanan dengan kode lain yang biasa dia sebut 'TM'.


"Bisa beli setengah (strip) juga, harganya Rp15 ribu. Biasanya pengamen-pengamen yang beli setengah dulu, nanti sore dapat duit beli setengah lagi," ungkapnya.


Dari pengakuannya, penjualan obat secara ilegal ini sudah dilakukan sejak satu tahun terakhir.


Dia ikut berjualan obat keras itu karena butuh biaya tambahan untuk keperluan sehari-hari. Pendapatan dari bisnis aslinya, yakni berjualan pakaian, tak bisa diandalkan.


Apalagi dua dari empat anaknya kini sudah tidak bekerja karena terkena PHK.


Bak seorang sales profesional, pria yang mengenakan Polo shirt dan topi itu memberikan informasi mengenai efek penggunaan Tramadol yang bisa menambah stamina dan pikiran menjadi tenang.


Pria itu juga mengakui penjualan obat yang peruntukannya untuk meredakan rasa nyeri sedang dan parah itu sangat bebas di kawasan Pasar Tanah Abang.


Razia oleh petugas keamanan biasanya dilakukan pada malam menjelang dini hari. Waktunya pun tak bisa dipastikan. Sehingga banyak penjual yang hanya bertransaksi pada siang hari.


"Gampang di sini mah (jualan Tramadol), polisi lewat cuek aja, buser-buser lewat gitu. Iya, ya udah dapat jatah lah (petugas keamanan)," ungkapnya.


Dexa Primadona Baru di Pasar Pramuka


Selain di kawasan Pasar Tanah Abang, Tribunnews juga menelusuri penjualan Tramadol di Pasar Pramuka, Matraman, Jakarta Timur.


Berbeda dengan di Tanah Abang yang penjualannya dilakukan terang-terangan, di Pasar Pramuka penjualan Tramadol dilakukan agak sedikit sembunyi-sembunyi.


Saat Tribunnews memarkirkan kendaraan tepat di samping pasar dan akan masuk ke area Pasar Pramuka, seorang pria berbadan kurus tiba-tiba menghampiri.


Pria yang mengenakan baju abu-abu cukup lusuh itu kemudian bertanya keperluan datang ke Pasar Pramuka. 


Awak Tribunnews kemudian menyebut hendak membeli Tramadol.


Dengan mata agak sayu karena kelopak matanya yang menurun, pria tersebut langsung menggetok harga barang yang ingin dibeli.


"Tramadol mah enggak ada (di dalam Pasar Pramuka). Kalau mau, saya ada, tapi harganya Rp200 ribu satu strip. Mau?" ujarnya.


Kaget mendengar harga yang disebutkan pria tersebut, Tribunnews kemudian mencoba menawar dengan harga yang cocok.


Namun, proses tawar-menawar itu gagal karena dia hanya menurunkan harga obat itu menjadi Rp150 ribu per strip.


Dengan gaya berbicara 'menyeret' layaknya orang mabuk, dia mengalihkan dari Tramadol dengan menawarkan obat keras yang dia sebut sejenis dengan Tramadol. Obat itu bernama Dexa.


"Ada yang murah, cuman dia apa namanya, karungan-karungan, tanpa kemasan gitu jadi, bang. Itu namanya Dexa. Itu sudah dimasukin klip (plastik obat berwarna biru), isi 10 butir itu kena Rp150 ribu," ungkapnya.


Dari hasil penelusuran di Pasar Pramuka, Tribunnews menemukan dua obat dengan nama Dexa tersebut yakni Dexamethasone untuk untuk mengobati radang kulit, sendi, paru-paru, dan organ lainnya dan Alprazolam Dexa yakni obat penenang untuk mengatasi gangguan kecemasan dan gangguan panik dan masuk kategori benzodiazepin.


Pria itu juga menjelaskan, Dexa memiliki efek yang sama dengan Tramadol. Bahkan, kata dia, di Pasar Pramuka pembeli lebih memilih Dexa dibandingkan Tramadol.


Setelah melewati alotnya negosiasi harga, akhirnya kesepakatan tercapai di harga Rp80 ribu per 10 butir.


"Ini beli safety (aman) kan, bang," tanya pria itu dengan rasa penuh curiga untuk memastikan pembelinya bukan polisi yang menyamar.


Selanjutnya, pria itu meminta kami menunggu di belakang mesin karcis parkir yang cukup tertutup.


Sambil menunggu, Tribunnews melihat lima orang pria lainnya yang melakukan hal yang sama kepada pengunjung Pasar Pramuka.


Sesekali orang-orang itu melirik sinis ke arah awak Tribunnews yang tengah menunggu.


Setelah kurang lebih 10 menit menunggu, akhirnya pria yang pertama itu datang dari arah dalam pasar dengan dua plastik diikat di bagian depan ikat pinggangnya yang berisikan obat-obat.


Transaksi pun berjalan sembunyi-sembunyi. Tangan pria itu menjulur ke bagian paha kiri untuk memberikan obat tersebut agar tak terlihat orang lain.


"Ini barangnya," ucap pria itu.


BNN: Efek Tramadol Seperti Heroin


Deputi Rehabilitas Badan Narkotika Nasional (BNN) Diah Setia Utami juga memperingatkan bahwa Tramadol tergolong obat keras (Golongan G).


Menurutnya, obat tersebut kerap disalahgunakan khususnya di kalangan remaja.


Penggunaan Tramadol secara berlebihan bisa memberikan efek seperti heroin.


"Itu obat pereda nyeri yang kuat dan bila digunakan dalam jumlah banyak memberi efek mirip golongan opioid seperti heroin," kata Diah, dikutip dari Kompas.com.


Kendati demikian, Tramadol tidak masuk daftar larangan BNN karena bukan golongan narkotika.


Namun. karena bahaya yang mengintai, Diah menegaskan bahwa penggunaan Tramadol harus dengan resep dokter. 


Sumber: Tribun

Penulis blog