DEMOCRAZY.ID - Rencana kedatangan Paus Fransiskus ke Timor Leste pada 9-11 September memicu kontroversi di negara bekas jajahan Indonesia tersebut.
Pemerintah Timor Leste memutuskan menggusur sejumlah rumah di Dili, di area Paus akan menggelar Misa Akbar.
Hampir 90 orang telah diberitahu oleh pemerintah Timor Leste bahwa mereka harus mencari tempat tinggal baru sebelum Paus tiba, menurut klaim warga yang digusur kepada BBC.
Pemerintah Timor Leste membantah penggusuran tersebut terkait dengan kunjungan Paus, dan berkeras bahwa penduduk tersebut tinggal di sana secara ilegal.
Pihak berwenang telah menghabiskan sekitar US$18 juta (sekitar Rp276,3 miliar) untuk kunjungan Paus selama tiga hari yang dimulai pada 9 September.
"Kami sangat sedih," kata Zerita Correia, seorang penduduk setempat, kepada BBC.
"Mereka bahkan menghancurkan barang-barang kami di dalam rumah. Sekarang kami harus menyewa di dekat sini karena anak-anak saya masih bersekolah di daerah ini," tambahnya.
Seorang juru bicara warga mengatakan bahwa 11 keluarga akan dipindahkan sebelum Paus Fransiskus tiba di Timor Leste.
Pemerintah mengeklaim telah membayar uang ganti rugi sebesar US$7.000 (sekitar Rp107 juta) hingga US$10.000 (sekitar Rp153 juta).
"Jumlah tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap rumah tangga," kata Venancio Ximenes, saat berbicara kepada BBC.
"Tahap penggusuran berikutnya akan dilakukan setelah Paus Fransiskus pergi dan itu akan melibatkan lebih dari 1.300 keluarga," tambahnya.
Rumah-rumah yang digusur terletak di Tasitolu, daerah lahan basah di luar Dili. Selama satu dekade terakhir, ratusan orang pindah ke sana dari daerah pedesaan Timor Leste.
Banyak yang datang mencari pekerjaan di ibu kota dan membangun rumah sederhana di daerah tersebut.
Pemerintah mengatakan mereka menempati rumah-rumah kosong dan tidak memiliki hak untuk tinggal di tanah tersebut.
Pemerintah Timor Leste memutuskan menggusur rumah-rumah di Tasitolu. Di sana, area seluas 23 hektare, setara dengan sekitar 40 lapangan sepak bola sedang dipersiapkan untuk Misa Akbar yang dipimpin Paus Fransiskus. (Amito Arajo/BBC)
Berbicara kepada BBC, seorang menteri mengatakan bahwa warga telah diberi tahu tentang rencana untuk membersihkan daerah tersebut pada September 2023.
"Sudah saatnya negara mengambil kembali propertinya," kata Germano Santa Brites Dias, Sekretaris Negara untuk Toponimi dan Organisasi Perkotaan.
"Tahun lalu, kami berbicara dari hati ke hati dengan masyarakat dan sekarang mereka harus pergi dan kembali ke desa mereka," tambahnya.
Diperkirakan 700.000 orang akan menghadiri misa yang dipimpin Paus Fransiskus di Tasitolu. Di sana, area seluas 23 hektare, setara dengan sekitar 40 lapangan sepak bola sedang dipersiapkan.
Selain rencana kontroversial pemerintah untuk menggusur rumah warga, para kritikus juga mempertanyakan keputusan pemerintah dalam menghabiskan sejumlah besar uang untuk kunjungan Paus Fransiskus termasuk US$1 juta (sekitar Rp15,3 miliar) untuk pembuatan altar baru bagi Paus.
Menurut PBB, hampir setengah dari penduduk Timor Leste saat ini hidup di bawah garis kemiskinan nasional.
"Anggaran tahunan untuk meningkatkan produksi pangan di negara ini hanya sekitar US$4,7 juta [Rp72.1 miliar]," kata Mariano Fereira, seorang peneliti dari Institut Pemantauan dan Analisis Pembangunan Timor-Leste, kepada UCA News.
"Semua pengeluaran ini hampir tidak ada gunanya bagi ketersediaan pangan," tambahnya.
Kunjungan Paus Fransiskus menandai perjalanan pertama kepausan ke Timor Leste sejak Paus Yohanes Paulus II berkunjung pada 1989, ketika negara itu masih di bawah kekuasaan Indonesia.
Timor Leste, yang sebelumnya dikenal sebagai Timor Timur, memiliki populasi 1,3 juta jiwa. Sebagian besar penduduk mengidentifikasi diri sebagai penganut Katolik.
Ketika Indonesia menginvasi bekas jajahan Portugis tersebut pada 1975, hanya sekitar 20% penduduk Timor Timur yang beragama Katolik. Angka tersebut kini mencapai 97%.
Antusiasme terhadap kunjungan Paus mendatang sangat besar, tetapi Paus didesak oleh para pegiat untuk menangani skandal pelecehan baru-baru ini yang mencoreng Gereja di negara tersebut.
Pada 2022, Vatikan mengakui bahwa pahlawan kemerdekaan Timor pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, Uskup Carlos Ximenes Belo, telah melakukan pelecehan seksual terhadap sejumlah anak laki-laki.
Seorang juru bicara Vatikan mengatakan gereja telah mengetahui kasus tersebut pada tahun 2019 dan telah memberlakukan tindakan disipliner pada tahun 2020, termasuk pembatasan pergerakan Belo dan larangan kontak sukarela dengan anak di bawah umur.
Belum jelas apakah Paus Fransiskus akan meminta maaf atas skandal tersebut, bertemu dengan para korban, atau bahkan apakah Uskup Belo akan hadir bersamanya di Dili.
Sumber: BBC