CATATAN POLITIK

'Menebak Arah Politik Gibran Usai Dilantik Jadi Wapres'

DEMOCRAZY.ID
September 08, 2024
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
'Menebak Arah Politik Gibran Usai Dilantik Jadi Wapres'


'Menebak Arah Politik Gibran Usai Dilantik Jadi Wapres'


Wakil Presiden (Wapres) RI terpilih, Gibran Rakabuming Raka, mengaku telah menyiapkan peta jalan politik dan menentukan bakal ikut perahu yang mana sebagai kendaraan politik selanjutnya.


Meski demikian, hingga saat ini Gibran belum mau membocorkan terkait arahnya. Dia hanya menekankan bahwa komunikasi politik terus dilakukan tidak hanya dengan Partai Golkar.


Terkait kedekatannya dengan Partai Golkar, Gibran menegaskan dirinya baik-baik saja dengan semua partai, termasuk Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Dia mengatakan masih tetap berhubungan dengan teman-temannya di PDIP.


"Pribadi saya baik dengan semua partai, bahkan dengan teman-teman di PDIP, saya masih tetap berhubungan dengan semuanya. Semuanya baik, saya masih berteman baik dan masih saling memberikan masukan, tetap berkomunikasi melalui WhatsApp, semuanya baik-baik saja," tandasnya.


Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin mengatakan, Gibran memang butuh kendaraan politik setelah tidak diakui bagian dari PDIP. Apalagi, jika hendak kembali maju dalam kontestasi di tahun 2029.


"Dia butuh partai, butuh kendaraan apalagi misalkan jadi calon presiden atau calon wakil presiden di Pemilu 2029 nanti," kata Ujang yang juga pengamat politik dari Universitas Al-Azhar, Jakarta, itu.


Dia pun membeberkan sejumlah partai politik yang berpotensi menjadi tempat baru bagi Gibran.


"Kalau Gibran kelihatannya partai lain bisa Golkar, bisa PAN, bisa yang lain, kalau ke Gerindra juga mungkin, pilihannya ada pada Gibran sendiri," kata Ujang.


Dia mengingatkan bahwa jangan bertaruh di tempat yang sama.


"Di partai juga begitu, jangan satu keluarga di partai yang sama, bisa aja strateginya Bobby di Gerindra, Kaesang di PSI, Gibran bisa di Golkar, dan Jokowi bisa di mana, kan gitu pilihan strategis," lanjut dia.


Namun, Ujang berpandangan bahwa Gibran pasti akan mempertimbangan kenyamanan dan posisi sebelum menentukan bakal bergabung dengan partai politik tertentu. Sebab, dia adalah Wapres RI terpilih dan akan segera dilantik menjadi orang nomor dua di negeri ini.


"Jadi masuknya itu harus nyaman. Ada kenyamanan lalu di saat yang sama punya posisi yang pas yang terhormat gitu karena posisinya sebagai wapres yang akan dilantik," ujar Ujang.


Hal yang tidak jauh berbeda juga dikatakan oleh Direktur Eksekutif Lembaga Survei Poltracking Indonesia, Hanta Yuda. Dia menyarankan agar Gibran menentukan partai berikutnya setelah keluar dari PDIP. Hanta menyebut Gibran lebih relevan menjadikan Partai Golkar sebagai kendaraan politiknya.


"Kalau pilihan antara dua, antara PSI dan Golkar, tentu saya jawab ke Golkar," kata Hanta dalam sebuah forum diskusi beberapa waktu lalu.


"Kalau masuk ke PSI, persepsi negatifnya besar sekali. Mas Kaesang (Pangarep, adik Gibran) sudah ketua umum, lalu kakaknya sekarang masuk, maka kesan partai dinasti sangat besar," ujarnya.


Hanta juga menilai bergabung dengan Golkar menjadikan Gibran memiliki kekuatan bargaining yang lebih besar, ketimbang PSI.


"Bagi Gibran, PSI seperti kekecilan untuk menjadi baju politiknya. Seorang wapres harus bernegosiasi dengan partai lain, sedangkan (PSI) tidak punya kursi di parlemen."


"Pilihan rasional bagi Gibran masuk ke partai yang besar. Saat ini ada tiga, PDIP, Gerindra, Golkar. PDIP tidak relevan lagi, karena secara de facto Mas Gibran sudah tidak di PDIP. Gerindra sudah partai Pak Prabowo, itu kecil kemungkinan. Paling rasional, apalagi dari kedekatannya, adalah Partai Golkar, partai yang pertama kali mengumumkan pencaweprasan Gibran," kata Hanta.


Dia menegaskan meski sistem politik Indonesia menganut sistem presidensial, seorang presiden atau wakil presiden tetap harus didukung partai politik untuk menjalankan program-program politiknya. Hanta mencontohkan perbedaan antara Boediono dan Ma'ruf Amin yang berstatus independen sebagai wapres, dengan Jusuf Kalla yang didukung oleh Golkar.


"Di sistem presidensial, kaki politik presiden atau wakil presiden harus kuat. Secara realistis, harus punya partai politik atau minimal ditopang partai politik. Dengan demikian, dia menjadi seorang veto player, dalam konteks relasi dengan presiden, dengan partai politik lain," ungkapnya.


Lebih lanjut, Ujang Komarudin mengatakan, Gibran membutuhkan daya tawar untuk mendapat posisi penting di partai politik tertentu. Oleh karena itu, dia menyebut, akan lebih menguntungkan jika proses masuk partai politik baru itu dilakukan Gibran setelah resmi dilantik sebagai Wapres RI.


"Kalau power-nya ingin besar, ya setelah dia dilantik jadi wapres masuk partai. Sebab, dia punya power, punya kekuatan, punya legitimasi, punya pengaruh kalau sudah dilantik menjadi wapres. Kalau sekarang belum dilantik, belum punya power," katanya.


Namun, Ujang mengingatkan bahwa keputusan akhirnya tetap berada di tangan Gibran. Termasuk, ke mana akhirnya akan berlabuh.


Sumber: Inilah

Penulis blog