'Membangun Infrastruktur, Melemahkan Demokrasi, Good Bye Jokowi!'
Angela Irene, seorang mahasiswi universitas, memuji Presiden Joko Widodo karena memperbaiki transportasi publik. Angela bahkan menangis ketika Jokowi mengumumkan bahwa masa jabatannya akan berakhir.
“Dia adalah presiden terbaik dalam ingatan saya,” kata mahasiswi jurusan hubungan internasional dari Universitas Bina Nusantara ini kepada The Straits Times.
Namun, di balik kekagumannya, Angela juga mengkritik Jokowi sebagai “terlalu serakah” karena berusaha mendorong anak-anaknya masuk ke dunia politik demi membangun dinasti.
Jokowi, yang dikenal karena keberhasilannya membangun jalan tol, sistem MRT, dan kereta cepat pertama di Asia Tenggara, juga mendapat kritik tajam karena dianggap melemahkan demokrasi selama periode kedua kepemimpinannya.
Angela merasa bahwa banyak hal positif yang dilakukan Jokowi di sektor transportasi publik. “Saya baru benar-benar merasa aman menggunakan transportasi publik setelah Jokowi menjadi presiden,” ujarnya.
Namun, dia juga menambahkan, “Tapi mendorong anak-anaknya untuk terjun ke politik tanpa bukti kapabilitas yang jelas hanya karena nama mereka, rasanya berlebihan.”
Antara Reformis dan Otoritarian
Pada 2014, Jokowi, yang saat itu adalah Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta, tampil sebagai sosok anti-kemapanan.
Dalam kampanye terakhirnya sebelum terpilih, ia berjanji untuk mempertahankan demokrasi dan memimpin dengan integritas.
“Jokowi menolak segala bentuk intimidasi dan kebohongan yang mengancam hak rakyat untuk menentukan masa depan mereka,” ujar Jokowi saat itu, disambut dengan sorakan dari massa yang berharap pada perubahan positif.
Namun, setelah sepuluh tahun, Jokowi akan mengakhiri masa jabatannya pada usia 63 tahun dengan warisan yang penuh kontradiksi.
Aksi protes besar-besaran pecah pada Agustus 2024 ketika parlemen mengusulkan untuk menurunkan usia minimum calon dalam Pilkada.
Usulan ini diduga untuk memuluskan jalan bagi putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, maju dalam pemilihan. Aksi demonstrasi ini dibubarkan dengan gas air mata dan meriam air.
Usulan itu kemudian dibatalkan, tetapi kritik terhadap Jokowi tetap deras, terutama terkait keluarganya.
Pragmatis di Tengah Popularitas
Meskipun dihujani kritik, Jokowi tetap populer dengan tingkat persetujuan yang mencapai 77,2 persen pada survei April 2024 oleh Indikator Politik Indonesia.
Selama masa kepemimpinannya, Jokowi meluncurkan berbagai program untuk mengentaskan kemiskinan, seperti Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar.
Selain itu, ia fokus pada pembangunan infrastruktur yang sempat terbengkalai sejak krisis ekonomi Asia 1997.
Proyek-proyek besar seperti jalan tol Trans-Jawa, kereta cepat Jakarta-Bandung, dan ibu kota baru Nusantara menjadi bagian dari warisannya.
Namun, Nusantara masih kesulitan menarik investasi asing dan menjadi tantangan bagi pemerintahan selanjutnya.
Di tengah kontroversi politik, Jokowi tetap dianggap sebagai “pelaksana” yang tidak banyak berbicara.
Meski demikian, kritik atas dugaan pemborosan sumber daya alam, terutama proyek infrastruktur yang dianggap merusak lingkungan, tetap menjadi bayang-bayang di akhir masa jabatannya.
Merosotnya Demokrasi
Kepemimpinan Jokowi juga menghadapi kritik terkait pelanggaran hak asasi manusia, khususnya di Papua, dan tuduhan otoritarianisme.
Jokowi dinilai lebih mengutamakan pembangunan fisik daripada mempertahankan nilai-nilai demokrasi.
Bagi sebagian rakyat Indonesia, Jokowi yang mereka kenal pada 2014 berbeda jauh dengan sosoknya yang sekarang.
“Dulu saya merasa dia ingin membawa perubahan, tetapi sekarang dia seolah terjebak dalam kesalahan yang sama seperti para pemimpin sebelumnya,” kata seorang pedagang kaki lima, Juhri, dari Jawa Barat.
Di penghujung masa jabatannya, Jokowi harus menghadapi kenyataan pahit bahwa, meski berhasil membangun infrastruktur, fondasi demokrasi yang ia janjikan justru melemah.
Sumber: StraitsTimes