'Kebijakan Ekonomi Jokowi Adalah Bom Waktu di Era Prabowo'
Oleh: Agusto Sulistio
Astabrata Institute
Di penghujung masa jabatan Joko Widodo (20 Oktober 2024) satu isu besar yang tidak bisa diabaikan adalah peningkatan utang negara yang mencapai angka fantastis.
Laporan per Agustus 2024 menunjukkan bahwa utang pemerintah Indonesia mencapai Rp8.502 triliun, sementara Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) untuk tahun 2023 mencatat total utang sudah menembus Rp9.600 triliun.
Selisih utang Rp1.098 triliun tersebut menimbulkan kekhawatiran akan transparansi laporan keuangan pemerintah.
Tanpa klarifikasi resmi, ketidakakuratan data ini memicu tuduhan adanya kebohongan publik, mengingat sejumlah pakar ekonomi juga menilai pernyataan Sri Mulyani keliru.
Di sisi lain, lonjakan utang berasal dari pinjaman luar negeri dan penerbitan surat berharga, yang terus meningkat sejak awal pemerintahan Jokowi (2014).
Banyak yang bertanya, apakah utang sebesar ini akan menjadi bom waktu bagi pemerintah selanjutnya? Bagaimana dampaknya terhadap ekonomi nasional dan kesejahteraan rakyat?
Beban Berat Bagi APBN
Salah satu dampak langsung dari utang besar adalah beban anggaran untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang.
Pada 2024, pemerintah harus menyisihkan Rp500 triliun hanya untuk membayar utang, dan angka ini diperkirakan membengkak hingga Rp800 triliun pada 2025.
Beban ini jelas akan mengurangi dana untuk sektor penting lain seperti pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan.
Sebagai contoh, paada 2022, pembayaran bunga utang Indonesia mencapai Rp405 triliun, memaksa pemerintah memotong anggaran untuk program-program kesejahteraan rakyat.
Dalam konteks global, situasi ini mirip dengan krisis utang di Argentina, yang memicu krisis ekonomi besar karena gagal bayar utang. Pemotongan anggaran publik di Argentina memperburuk kesejahteraan masyarakatnya.
Utang Tumbuh Lebih Cepat dari Pendapatan Negara
Pemerintah sering mengklaim bahwa rasio utang terhadap PDB masih dalam batas aman. Namun, beberapa ahli ekonomi menilai bahwa rasio utang lebih tepat dihitung dari pendapatan negara, bukan dari PDB, karena PDB mencampurkan pendapatan sektor swasta yang tidak bisa dipakai pemerintah untuk membayar utang.
Jika rasio utang diukur dari pendapatan negara, pada 2014 (awal pemerintahan Jokowi) rasio ini berada di angka 168%, dan melonjak menjadi 315% pada 2024.
Ini menunjukkan bahwa utang tumbuh jauh lebih cepat daripada pendapatan negara, yang menjadi sinyal resiko fiskal yang tinggi.
Sebagai ilustrasi negara Jepang memiliki rasio utang terhadap PDB tertinggi di dunia, tetapi bisa mengelola utangnya karena pendapatan negara sangat besar dan bunga pinjaman rendah.
Berbeda dengan Indonesia, di mana pendapatan negara terbatas dan biaya pinjaman terus meningkat, menambah beban fiskal.
Ancaman Kepercayaan Investor
Dengan beban utang dan cicilan yang besar, kepercayaan investor bisa menurun. Rseiko kredit meningkat, yang pada akhirnya dapat membuat biaya pinjaman untuk Indonesia lebih mahal di masa depan.
Seperti yang terjadi di Yunani, krisis utang besar pada 2010, menyebabkan penurunan peringkat kredit dan memaksa pemerintah menerima bailout besar dari Uni Eropa dan IMF.
Namun, bailout ini datang dengan syarat pengurangan besar-besaran dalam pengeluaran publik, yang memicu protes rakyat dan memperburuk kondisi sosial di negara itu.
Beban Pemerintahan Prabowo
Pada 2025, pemerintahan baru yang dipimpin oleh Prabowo Subianto akan menghadapi beban utang yang sangat besar.
Dengan cicilan utang yang diproyeksikan mencapai Rp.800 triliun, pemerintah baru harus mengambil langkah-langkah strategis agar anggaran tidak terpuruk.
Pilihan yang dihadapi bisa mencakup pengetatan anggaran, yang mungkin menimbulkan ketidakpuasan publik, atau mencari solusi kreatif lainnya.
Brasil pernah menghadapi krisis fiskal besar pada 2016, di mana Presiden Michel Temer terpaksa menerapkan kebijakan pengetatan anggaran.
Pemotongan anggaran sosial yang signifikan menimbulkan protes besar di seluruh negeri, tetapi pemerintah tetap melaksanakan reformasi untuk menstabilkan anggaran.
Biaya Pensiun dan Bom Waktu Lainnya
Selain utang, pemerintah juga harus menghadapi kewajiban jangka panjang terkait program pensiun. Pada 2023, kewajiban pensiun pemerintah mencapai Rp3.120 triliun.
Ini terbagi antara kewajiban terhadap pegawai pemerintah pusat (Rp1.202 triliun) dan pegawai daerah (Rp1.917 triliun).
Dengan semakin banyaknya pegawai yang memasuki masa pensiun, kewajiban ini akan terus membengkak, sementara pendapatan negara tidak bertambah signifikan.
Italia pernah mengalami masalah serupa pada 1990-an. Sistem pensiunnya membengkak hingga tak lagi berkelanjutan, memaksa pemerintah menaikkan usia pensiun dan memangkas manfaat pensiun. Reformasi ini memicu protes besar karena dianggap merugikan pekerja.
Solusi yang Bisa Diterapkan Pemerintah Prabowo
Jerman, salah satu ekonomi terbesar di dunia, juga pernah menghadapi krisis utang besar pada awal 2000-an.
Pemerintah Jerman merespons dengan program reformasi yang dikenal sebagai “Agenda 2010,” yang diluncurkan oleh Kanselir Gerhard Schroder.
Program ini bertujuan untuk memperkuat sistem keuangan dan mengurangi beban utang jangka panjang. Langkah-langkah strategis yang dilakukan Jerman, adalah:
1. Reformasi Pasar Tenaga Kerja: Jerman memperkenalkan program pelatihan ulang bagi para pekerja, memberikan insentif kepada perusahaan untuk mempekerjakan karyawan baru, dan memperkenalkan sistem tunjangan yang lebih ketat agar anggaran sosial tidak terbebani secara berlebihan.
2. Pemangkasan Anggaran dan Pengetatan Fiskal: Pemerintah Jerman secara bertahap mengurangi pengeluaran publik yang tidak produktif dan memberlakukan kebijakan anggaran berimbang untuk mengurangi utang negara.
3. Reformasi Pensiun: Jerman memperkenalkan reformasi besar dalam sistem pensiun dengan menaikkan usia pensiun dan memperbaiki skema pendanaan jangka panjang untuk memastikan bahwa kewajiban pensiun bisa dikelola dengan baik.
Program “Agenda 2010” tersebut berhasil menurunkan tingkat pengangguran dan mengembalikan Jerman ke jalur pertumbuhan ekonomi yang kuat.
Dengan disiplin fiskal dan reformasi yang mendasar, Jerman mampu mengatasi krisis utang dan mengurangi beban pensiun yang membengkak.
Dalam beberapa tahun, utang Jerman berkurang secara signifikan, dan negara ini dikenal sebagai salah satu ekonomi paling stabil di Eropa.
Penutup
Utang besar dan kewajiban pensiun yang dihadapi oleh Indonesia akan menjadi tantangan berat bagi pemerintahan selanjutnya.
Solusi dari pengalaman negara seperti Jerman menunjukkan bahwa dengan reformasi ekonomi yang tepat, disiplin fiskal, dan manajemen keuangan yang efektif, Indonesia bisa keluar dari ancaman krisis utang.
Pemerintah perlu berani melakukan reformasi struktural yang mendalam, baik di pasar tenaga kerja, sistem pensiun, maupun dalam pengelolaan anggaran, agar beban ini tidak terus membengkak dan mengancam stabilitas ekonomi jangka panjang. ***