CATATAN POLITIK

'Jokowi Akan Dikenang Sebagai Pemimpin Yang Gagal'

DEMOCRAZY.ID
September 20, 2024
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
'Jokowi Akan Dikenang Sebagai Pemimpin Yang Gagal'


'Jokowi Akan Dikenang Sebagai Pemimpin Yang Gagal'


Di Indonesia, memuji-muji pemimpin sudah lama menjadi bagian dari budaya politik. Setiap presiden yang berkuasa umumnya mendapatkan pujian, baik dari kalangan politisi, birokrat, hingga masyarakat umum. 


Tradisi ini, entah karena rasa hormat, loyalitas, atau sekadar mengikuti arus, seolah menjadi warna dalam setiap pergantian kekuasaan.


Namun, di balik kebiasaan tersebut, situasi di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terasa berbeda. 


Jika pada masa lalu pujian terhadap pemimpin sering kali berlimpah tanpa tantangan berarti, kini suara-suara kekecewaan dan cemoohan datang secara terbuka dari berbagai penjuru negeri. 


Fenomena ini menggarisbawahi kinerja buruk, kebohongan, nepotisme, serta dugaan korupsi yang melibatkan lingkaran kekuasaan Jokowi.


Kinerja yang Buruk dan Kepemimpinan yang Gagal


Jokowi, presiden dari kalangan rakyat yang awalnya dielu-elukan sebagai pemimpin yang merakyat, kini menghadapi kenyataan pahit. 


Janji-janji yang dilontarkan saat kampanye, seperti pengentasan kemiskinan, peningkatan pendidikan, dan perbaikan infrastruktur, banyak yang belum terwujud sepenuhnya. 


Lebih dari satu dekade setelah menjabat, masih banyak persoalan krusial yang terabaikan, dari sektor kesehatan yang rapuh hingga tata kelola pemerintahan yang justru semakin kacau.


Kepemimpinan Jokowi semakin diragukan ketika berbagai kebijakan yang diambil tidak dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat. 


Alih-alih memperbaiki sektor-sektor vital seperti pendidikan dan kesehatan, fokus pemerintah teralih pada proyek-proyek besar yang lebih bersifat seremonial, seperti pembangunan Ibu Kota Negara (IKN). 


Sementara itu, pendidikan di pelosok masih terabaikan, fasilitas kesehatan minim, dan ekonomi rakyat kecil semakin tercekik. 


Kesalahan dalam pengelolaan pandemi COVID-19 juga memperkuat gambaran kepemimpinan yang lemah, dengan keputusan yang terlambat dan inkonsisten.


Pendusta yang Terbongkar


Janji-janji manis Jokowi, terutama mengenai penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, seakan hanya isapan jempol belaka. 


Dalam berbagai kesempatan, Jokowi selalu menekankan pentingnya transparansi dan integritas, namun faktanya, rezim ini banyak melakukan hal yang sebaliknya. 


Salah satu contoh paling mencolok adalah kasus pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja, yang dinilai banyak pihak melanggar prinsip-prinsip keadilan sosial dan hanya menguntungkan segelintir oligarki. 


Rakyat yang berharap pada keadilan dan perubahan, justru merasa dikhianati oleh kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan umum.


Di tengah gencarnya kampanye antikorupsi, institusi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru dilumpuhkan melalui revisi undang-undang yang melemahkan kinerja lembaga tersebut. 


Jokowi berulang kali menekankan pentingnya pemberantasan korupsi, namun tindakan dan kebijakan yang diambil justru menunjukkan kebalikan. Apakah ini yang disebut sebagai presiden yang jujur?


Nepotisme yang Mengakar


Nepotisme yang diperlihatkan Jokowi selama masa jabatannya adalah salah satu ironi terbesar dari kepemimpinannya. 


Meski pernah menolak dengan tegas tuduhan adanya dinasti politik, Jokowi nyatanya membiarkan keluarganya terjun ke dunia politik dengan cara yang tidak bisa dipandang wajar. 


Gibran Rakabuming Raka, putranya, terpilih sebagai Wali Kota Solo, dan kini menjadi Wakil Presiden terpilih untuk periode 2024-2029. 


Sementara Kaesang Pangarep, putra bungsunya, menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), sebuah partai yang seharusnya mewakili generasi muda namun tampak jelas digunakan sebagai kendaraan politik keluarga.


Praktik-praktik nepotisme ini bertentangan dengan semangat demokrasi yang egaliter. Bukankah jabatan publik seharusnya diperoleh melalui proses yang adil dan meritokratis, bukan karena pengaruh keluarga? 


Apa yang dilakukan Jokowi mencerminkan kemunduran dari nilai-nilai reformasi yang dulu diperjuangkan dengan keras oleh bangsa ini. 


Ia membangun dinasti politik yang menguntungkan keluarganya, sekaligus mengabaikan asas keterbukaan dan kesetaraan dalam sistem politik.


Dugaan Korupsi dan Lingkaran Kekuasaan


Kecurigaan terhadap korupsi yang melibatkan lingkaran terdekat Jokowi semakin menguat, terutama ketika sejumlah proyek besar seperti pembangunan infrastruktur disorot karena adanya dugaan penyalahgunaan anggaran. 


Kasus bansos COVID-19 yang menyeret mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara, adalah salah satu contoh nyata bagaimana korupsi tetap merajalela di era Jokowi. 


Tidak hanya itu, banyak kasus yang menjerat orang-orang dekat pemerintah seakan dipeti-eskan, sementara rakyat terus merasakan beban berat ekonomi yang tidak kunjung membaik.


Bahkan, beberapa pengamat politik dan ekonom mencurigai bahwa kekuasaan Jokowi tidak hanya dipenuhi oleh perilaku koruptif dari pejabat-pejabatnya, namun juga dilindungi oleh jaringan oligarki yang semakin kuat dan mendominasi kebijakan-kebijakan strategis. 


Proyek-proyek besar seperti IKN diduga hanya menjadi sarana bagi segelintir elite untuk memperkaya diri, sementara kesejahteraan rakyat kian terabaikan.


Sebuah Refleksi: Akankah Jokowi Diingat sebagai Pemimpin yang Gagal?


Jika ada satu hal yang dapat dipelajari dari periode kepemimpinan Jokowi, adalah bahwa pujian tidak selalu mencerminkan kebenaran. Masyarakat Indonesia kini lebih kritis dan berani menyuarakan kekecewaan mereka. 


Cemoohan dan olok-olok yang diterima Jokowi, tidak hanya di media sosial tetapi juga dalam berbagai demonstrasi di lapangan, menunjukkan betapa jauhnya harapan masyarakat dari realitas kepemimpinannya.


Di lapangan bola, suara-suara kritik menggema tanpa henti, sesuatu yang jarang terjadi pada pemimpin-pemimpin sebelumnya.


Kini, sejarah akan mencatat Jokowi bukan hanya sebagai presiden yang pernah dipuji karena asal-usulnya yang sederhana, tetapi juga sebagai pemimpin yang gagal memenuhi janji-janjinya, mempraktikkan nepotisme, dan membiarkan korupsi mengakar. 


Di tengah hiruk-pikuk pujian yang kosong, suara-suara cemoohan itulah yang akhirnya lebih jujur dalam memotret kepemimpinannya.


Sumber: FusilatNews

Penulis blog