'Kontroversi Pelantikan Gibran Rakabuming Raka Sebagai Wakil Presiden'
Ada dua versi isu yang beredar terkait Gibran Rakabuming Raka, pertama akan diimpeachment dan kedua tidak dilantik.
Salah satu versi isu ini dikemukakan Roy Suryo saat diskusi di studio Ezy TV.
"Saya bukan ahli hukum tapi saya mendengar dari ahli hukum kalau saat ini tidak mungkin dan yang memungkinkan adalah dilantik dulu baru diimpeachment," ucap Roy.
Sementara itu, pakar hukum tata negara, Refly Harun, mengungkapkan bahwa Gibran Rakabuming Raka berpotensi tidak dilantik sebagai Wakil Presiden terpilih.
Hal ini terkait dengan tuduhan bahwa Gibran memiliki akun anonim di Kaskus dengan nama Fufufafa, yang berisi hinaan terhadap berbagai tokoh, termasuk Presiden terpilih Prabowo Subianto.
Refly menyatakan bahwa temuan ini telah dikonfirmasi oleh pakar telematika Roy Suryo, yang mengklaim bahwa 99,99 persen akun Fufufafa tersebut adalah milik Gibran.
"Kita butuh pernyataan seperti ini untuk meyakinkan kita bahwa akun Fufufafa memang milik Gibran Rakabuming Raka dan tidak boleh atau tidak bisa dibantah lagi," ujar Refly melalui kanal YouTube resminya.
Menurut Refly, dalam hukum tata negara yang normal, Gibran seharusnya tetap dilantik terlebih dahulu sebelum ada proses impeachment, yang biasanya bergantung pada dinamika politik.
Namun, Refly mengusulkan tindakan ekstra konstitusional untuk menghentikan pelantikan Gibran, karena dianggap tidak layak menjadi wakil presiden.
Refly mencontohkan bahwa langkah serupa pernah terjadi pada masa pemerintahan BJ Habibie.
Habibie, yang menggantikan Soeharto, seharusnya menjabat hingga 2003, namun masa jabatannya dipersingkat setelah pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR pada 1999.
Permintaan untuk mencegah pelantikan Gibran terus digaungkan oleh berbagai pihak, termasuk tokoh nasional seperti Eross Djarot dan Mahfud MD.
Mereka mendesak Presiden Jokowi untuk mengambil tindakan sebelum 20 Oktober.
Refly menekankan bahwa kekuasaan harus diraih dengan cara yang baik dan halal, bukan melalui penyelundupan hukum.
Hal ini menjadi pelajaran penting bagi semua pihak yang terlibat dalam proses politik.
Situasi ini menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat dan pengamat politik, yang mempertanyakan dampak dari tuduhan ini terhadap stabilitas politik di Indonesia.
Banyak yang menunggu bagaimana pemerintah dan lembaga terkait akan menangani isu ini.
Sementara itu, Gibran Rakabuming Raka, yang juga merupakan putra Presiden Joko Widodo, belum memberikan pernyataan resmi terkait tuduhan ini.
Publik menantikan klarifikasi dari pihak Gibran untuk menjernihkan situasi.
Dalam konteks ini, penting bagi semua pihak untuk menjaga integritas dan transparansi dalam proses politik, guna memastikan bahwa keputusan yang diambil adalah demi kepentingan terbaik bangsa dan negara.
Dengan demikian, perkembangan kasus ini akan terus dipantau oleh masyarakat dan media, menunggu langkah selanjutnya dari pihak berwenang dalam menangani tuduhan serius ini.
[DOC]
Gibran Bisa 'Dijatuhkan' Dari Posisi Wapres Prabowo Dengan 'Tiga Klausul' Ini, Apa Saja? Simak!
DEMOCRAZY.ID - Pakar hukum tata negara Refly Harun menilai putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka bisa dilengserkan dari jabatan Wakil Presiden (Wapres) dengan 3 klausul.
Pertama, melakukan tindak pidana korupsi, seperti yang disampaikan pengamat politik Rocky Gerung bahwa Gibran menerima setoran uang dari para menteri setiap hari Sabtu ketika menjadi Wali Kota Solo.
"Mungkin enggak Gibran dijatuhkan atau dilengserkan? mungkin jawabannya, jadi Gibran bisa dilengserkan dengan tiga klausul, satu melakukan tindak pidana korupsi," ungkapnya, dikutip dari YouTube Refly Harun, Selasa (10/9).
Kedua, melakukan tindakan tercela, ini bisa terjadi jika akun Kaskus Fufufafa benar merupakan miliknya, karena berisi hinaan kepada Presiden terpilih Prabowo Subianto dan keluarganya.
"Dua melakukan perbuatan tercela," imbuhnya.
Kemudian ketiga, tidak memenuhi syarat untuk posisi tersebut, ini berkaitan dengan ijazahnya dari Melbourne University yang diduga bukan S2, namun setara SMA.
"Dan tiga tidak lagi memenuhi syarat sebagai wakil presiden," tandasnya.
[DOC]
Sementara sebelumnya, pegiat media sosial Alifurrahman menilai Presiden terpilih Prabowo Subianto menginginkan Ketua DPR RI Puan Maharani yang menjadi Wakil Presiden (Wapres) bukan Gibran Rakabuming Raka yang kini menempati posisi tersebut.
Hal tersebut berdasarkan prediksinya dari isi percakapan Prabowo Subianto, Puan Maharani, dan Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung di Istana Negara, Jakarta, Rabu (4/9/2024).
"Tapi dari tawa Puan Maharani saya memprediksi bahwa Prabowo ini nampaknya bicara dengan Pramono dengan Mbak Puan 'terus maunya gimana' terus jawaban Prabowo 'ya maunya sih wakil presiden' maksudnya maunya ya Puan aja yang jadi Wakil Presiden bukan Gibran," ucapnya.
"Gak ngerti deh apa yang sedang mereka bicarakan, tapi terdengar jelas sekali 'maunya sih jadi wakil presiden' dan itu nampaknya ditujukan kepada Puan Maharani," imbuhnya, dikutip dari SEWORD TV, Jumat (6/9).
Melansir dari Detik, terlihat momen Presiden terpilih Prabowo Subianto, Ketua DPR RI Puan Maharani, dan Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung mengobrol hingga tertawa bersama di Istana Negara, Jakarta, Rabu (4/9/2024).
Momen tersebut terjadi setelah pertemuan pemimpin umat Katolik sekaligus kepala negara Vatikan Paus Fransiskus dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sejumlah tamu undangan tampak bersalaman seusai kegiatan.
Lalu terlihat momen Prabowo berbincang dengan Puan, awalnya hanya berdua, kemudian Ketua DPP PDIP itu tampak mengajak Pramono ikut bergabung.
Dalam perbincangan tersebut, Prabowo berkelakar kepada Puan soal keinginannya menjadi wakil presiden.
Video Prabowo-Puan-Pramono: KlikLink
[DOC]
PDIP: Gibran Bisa 'Batal' Dilantik Jadi Wapres Jika PTUN Nyatakan KPU Langgar Hukum!
Tim hukum PDI-P kembali bersidang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terkait gugatan untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU), Kamis (1/8/2024).
Adapun sidang gugatan ini terkait dugaan kesalahan prosedur proses pemilihan umum (Pemilu) 2024.
Agenda sidang kali ini mendengarkan keterangan saksi dari penggugat yaitu PDI-P. Sidang digelar secara tertutup.
"Acara hari ini adalah saksi fakta, artinya orang yang bisa menjelaskan apa saja yang bisa disampaikan terkait gugatan kami," kata Ketua Tim Hukum PDI-P Gayus Lumbuun ditemui di PTUN Jakarta, Jakarta Timur, Kamis.
"Yaitu kami menggugat tentang pelanggaran melawan hukum oleh pejabat negara, yaitu KPU dalam hal ini, sehingga keberatan kami itulah kami sampaikan ke PTUN ini," kata dia.
Pantauan Kompas.com, sidang dihadiri oleh Ketua Tim Hukum PDI-P Gayus Lumbuun beserta jajaran tim hukum lainnya.
Sidang juga tampak dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim PTUN Joko Setiono.
Selepas persidangan, Gayus mengungkap, keterangan saksi disampaikan seorang bernama Candra.
Berdasarkan kesaksian Candra, KPU disebut telah membuat keputusan agar semua partai politik mempedomani putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90 90/PUU-XXI/202 tentang syarat usia capres-cawapres.
Hal ini pun dipandang sebagai bentuk penyimpangan oleh KPU selaku penyelenggara Pemilu.
"Kemudian diuraikan dengan jelas bahwa memang itu satu penyimpangan bagi peserta pemilu, karena memang sewajarnya tidak langsung diberlakukan dengan cara meminta peserta pemilu, parpol itu menaati bahkan menggunakan putusan 90 tahun 2023 itu sebagai arah, sebagai pedoman, kira-kira itu diantaranya," ungkap Gayus.
Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) ini melihat KPU melakukan pelanggaran, terlebih tidak adanya konsultasi kepada DPR terlebih dulu terkait putusan MK Nomor 90 itu.
"Menkumham justru juga menyarankan agar ke DPR kembali, tidak ke DPR malah menerbitkan surat kepada para parpol. Ini yang memang esensi dari gugatan kami, di mana ada pelanggaran-pelanggaran hukum oleh penguasa atau oleh penyelenggara negara," kata dia.
Sementara itu, anggota Tim hukum PDI-P Alvon Kurnia Palma mengatakan, KPU sebagai tergugat terungkap tidak menjalankan kewenangan sebagaimana mestinya.
Hal ini sebagaimana ia lihat dalam keterangan saksi penggugat pada sidang kali ini.
"Apa itu bentuknya (KPU tidak menjalankan kewenangan)? Pertama itu menerima pendaftaran (pasangan pilpres), di mana pendaftaran itu harus mengecek terlebih dahulu dan kemudian memverifikasi. Di mana Peraturan KPU Nomor 19 itu harus apabila di situ ada ketidakbenaran, ketidaklengkapan itu harus dikembalikan dan kemudian dicek lagi untuk memperbaiki," kata Alvon.
"Karena ini berdasarkan dalam surat nomor 1145 dan ditambah dengan surat keputusan nomor 1378. Intinya dia mempedomani dari peraturan KPU nomor 19 tahun 2023. Itu satu soal," ucap dia.
Persidangan terkait tim hukum PDI-P yang menggugat KPU di PTUN terakhir digelar pada 18 Juli lalu.
Saat itu, Gayus mengatakan bahwa Gibran Rakabuming Raka bisa batal dilantik sebagai Wakil Presiden dari Prabowo Subianto jika gugatan yang mereka ajukan ke PTUN DKI Jakarta dikabulkan.
Adapun PDI-P menggugat dugaan perbuatan melawan hukum oleh KPU karena tetap menerima pendaftaran Gibran sebagai calon wakil presiden (Cawapres) Prabowo padahal belum membicarakan perubahan Peraturan KPU (PKPU) dengan DPR RI.
PKPU itu menindaklanjuti putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan wakil presiden yang membuat Gibran bisa menjadi cawapres.
“Yang bermasalah bagi kami Gibran, bagi kami, ya tidak bisa dilantik. Bahwa KPU memutuskan ini tidak bisa dilantik, orang bermasalah,” kata Gayus ketika ditemui awak media di PTUN DKI Jakarta, Jakarta Timur, Kamis (18/7/2024).
Sumber: PorosJakarta