HUKUM POLITIK

Fufufafa 'Halangi' Pelantikan Cawapres Gibran? TPDI Singgung Pasal 427 UU Pemilu!

DEMOCRAZY.ID
September 27, 2024
0 Komentar
Beranda
HUKUM
POLITIK
Fufufafa 'Halangi' Pelantikan Cawapres Gibran? TPDI Singgung Pasal 427 UU Pemilu!



DEMOCRAZY.ID - Sejak munculnya kontroversi terkait akun "Fufufafa", publik mulai mempertanyakan kelayakan Gibran Rakabuming sebagai Wakil Presiden terpilih 2024.


Kasus ini berkembang pesat setelah beberapa bukti digital menunjukkan adanya keterlibatan Gibran dengan akun tersebut. 


Hal ini memicu pertanyaan: Apakah pelantikannya sebagai Wakil Presiden terpilih bisa dibatalkan?


Anggota Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Salestinus menilai pergantian presiden atau wakil presiden terpilih dalam pemilihan umum (pemilu) dapat terjadi apabila salah satu di antaranya berhalangan tetap. 


Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.


Menurut Petrus, Pasal 427 UU Pemilu secara jelas menguraikan ketentuan terkait apabila presiden atau wakil presiden terpilih berhalangan tetap sebelum pelantikan. 


"Pasal ini mengatur dengan rinci kondisi-kondisi tersebut," kata Petrus di Jakbistro, Sunter, Jakarta Utara, Jumat (27/9/2024).


Ada tiga ayat dalam pasal tersebut yang menjelaskan lebih lanjut tentang situasi ini termasuk kasus fufufafa yang viral. 


Yakni pada ayat (2) Pasal 427, dijelaskan bahwa apabila calon wakil presiden terpilih berhalangan tetap sebelum pelantikan, calon presiden terpilih akan dilantik menjadi presiden.


Sedangkan pada ayat (3), jika calon presiden terpilih berhalangan tetap sebelum pelantikan, maka calon wakil presiden terpilih akan dilantik menjadi presiden.


Dia menambahkan, bahwa pasal tersebut mengatur apa yang harus dilakukan jika baik calon presiden maupun wakil presiden terpilih sama-sama berhalangan tetap sebelum pelantikan.


Sementara itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) akan mengadakan sidang untuk memilih presiden dan wakil presiden dari dua pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua.


Sementara itu, pakar telematika, Roy Suryo menilai akun Kaskus Fufufafa berisi konten kasar, kotor, dan bahkan kampungan. 


Menurutnya, pemeriksaan otak menggunakan Brain CT Scanner sangat bermanfaat dalam mendeteksi cedera kepala, tumor, sinusitis, hingga hidrosefalus.


"Setelah jutaan orang melihat akun Fufufafa, kita akan menggugat setelah pelantikan pada tanggal 3 atau 4 Oktober ini," demikian Roy.


Adapun dalam perbincangan terbaru, beberapa ahli hukum tata negara dan pakar politik menilai kasus ini dari berbagai perspektif hukum dan sosial.


Pakar hukum tata negara, Prof. Andi Asrun, menegaskan bahwa hingga saat ini, persoalan "fufufafa" masih lebih terkait dengan masalah sosial daripada hukum.


"Selama belum ada bukti hukum yang jelas, kasus ini hanya akan menjadi perdebatan sosial. Hukum baru bisa digunakan jika ada pelanggaran yang jelas," jelasnya.


Namun, pertanyaan mengenai etika publik dan tanggung jawab moral seorang pemimpin menjadi sorotan utama.


Pun beberapa pihak mengusulkan agar dilakukan investigasi lebih lanjut untuk memastikan keterlibatan Gibran dalam akun tersebut, yang dianggap mencemarkan reputasi publik.


Dalam konteks hukum, Pasal 7A Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa presiden atau wakil presiden dapat diberhentikan jika terbukti melakukan pelanggaran berat, seperti korupsi, suap, atau tindakan yang melanggar moralitas publik.


Namun, untuk saat ini, belum ada dasar hukum yang cukup kuat untuk membatalkan pelantikan Gibran. 


"Sebelum ada bukti konkret dan putusan hukum yang jelas, pelantikan Gibran tidak bisa dibatalkan hanya berdasarkan opini publik atau dugaan," lanjutnya.


Meski belum ada keputusan hukum yang dapat membatalkan pelantikan Gibran, kasus ini menyoroti pentingnya etika publik dalam dunia politik.


Banyak pihak berharap Gibran atau timnya memberikan klarifikasi lebih lanjut mengenai keterlibatan akun "Fufufafa".


Di sisi lain, masyarakat juga diharapkan bijak dalam menyikapi informasi yang beredar dan tidak terburu-buru menarik kesimpulan sebelum ada bukti yang sah.


Sebagai penutup, kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya menjaga integritas digital dan bertanggung jawab dalam berkomunikasi, khususnya bagi para calon pemimpin negara. 


Sumber: MonitorIndonesia

Penulis blog