CATATAN POLITIK

'Fufu Fafa Sang Penebar Kebencian'

DEMOCRAZY.ID
September 24, 2024
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
'Fufu Fafa Sang Penebar Kebencian'


'Fufu Fafa Sang Penebar Kebencian'


Oleh: Edi Abdullah

Pengamat Politik, Hukum Dan Demokrasi Puslatbang KMP LAN RI


NETIZEN Indonesia kini ramai mengkritik dan mengaitkan akun Fufufafa yang sering menebarkan kebencian dan penghinaan terhadap pejabat negara termasuk Presiden terpilih Prabowo Subianto.


Banyak warga netizen yang menduga bahwa akun tersebut merupakan milik dari Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming.


Namun hal tersebut tentunya belum terbukti apa benar akun tersebut milik Gibran.


Namun kita berharap tentunya Kementerian Kominfo sebagai lembaga negara yang berwenang dan memiliki sistem pelacakan segera menemukan siapa sebenarnya pemilik akun Fufufafa, dan penegak hukum kepolisian kiranya dapat memproses pemilik akun tersebut secara hukum pidana.


Karena perbuatannya yang menyeberkan kebencian dan konten bermuatan SARA bertentangan dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informai dan Transaksi Elektronik, dalam Pasal 28 UU ITE: menjelaskan bahwa:


(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. 


(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau

permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).


Tindakan pemilik akun Fufufafa nampak sekali menyalahi dan melanggar UU ITE pada pasal 28 karena menyebarkan kebencian, penghinaan dan permusuhan, karena itu sudah sangat tepat pelakuknya diproses secara peradilan pidana.


Pemakzulan Presiden dan atau Wakil Presiden


Dalam hukum konstituisi jika Presiden maupun wakil persiden melakukan perbuatan tercela maupun pelanggaran hukum maka Presiden atau wakil presiden dapat dimakzulkan, termasuk jika melakukan pelanggaran terhadap UU ITE.


Seperti menebarkan kebencian, permusuhan, penghinaan terhadap sekelomok orang atau orang tertentu, perbuatan tersebut jelas bentuk tindak pidana dan perbuatan yang sangat tercela.


Dan hal ini diatur jelas dalam konstitusi yakni UUD 1945 namun tidak menggunakan istilah pemakzulan.


Akan tetapi pemberhentian dalam pasal 7A UUD 1945 dijelaskan “Presiden atau wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh majelis permusyawaratan rakyat atas usul dewan perwakilan, baik apabila terbukti telah melakukan pelangaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tidak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presidendan/atau wakil presiden”.


Dari pasal tersebut jelas sekali alasan presiden dapat diberhentikan dari jabatannya sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 7A yakni jika presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum, penghianatan terhadap negara, terlibat korupsi, penyuapan, melakukan tindak pidana lainnya atau perbuatan tercela serta tidak memenuhi lagi syarat sebagai Presiden.  


Kemudian dijelaskan lagi pada pasal 7B ayat 1 sampai dengan ayat 7UUD 1945 mengenai mekanisme Pembehentiannya yakni diusulkan oleh DPR kepada Mahkamah Konstitusi bahwa Presiden telah melakukan pelanggaran hukum sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 7A, dengan minimal pesertujuan 2/3 anggota DPR setuju untuk mengusulkan kepada MK untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden telah melakukan pelanggaran hukum.


Dan MK wajib memeriksa perkara tersebut dalam waktu minimal 90 hari setelah permintaan dewan diterima MK.


Apabila MK memutuskan bahwa presiden melakukan pelanggaran hukum, berupa penghinatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, melakukan tindak pidana berat lainya atau melakukan perbuatan tercela atau Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden.


Maka DPR kemudian menyelenggarakan sidang paripurna untuk mengusulkan pemberhentian presiden kepada MPR. Dan keputusan MPR megenai pemberhentian presiden minimal disetujui 2/3 jumlah anggota yang hadir.


Inilah mekanisme pemberhentian presiden atau bahasa awamnya pemakzulan, jadi pemakzulan presiden harus melalui proses politik dan hukum.


Inilah dasar hukum dalam untuk menjadi alasan pemberhentian presiden sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 7A UUD 1945.


Jadi secara politis dengan dukungan komposisi partai koalisi saat ini yangs angat solid maka sagat mustahil DPR akan melakukan proses pemkazulan dan melanjutkan ke MK jika kemudian terjadi pelanggaran hukum.


Jadi baik secara konstitusi maupun politik tidak akan mungkin mewujudkan proses pemakzulan dapat dilakukan terhadap presiden maupun wakil presiden dilakukan jika melakukan perbuatan korupsi, melakukan pelanggaran hukum berat atau melakukan perbuatan tercela, hal ini bisa saja menjadi alasan untuk terjadinya proses pemberhentian atau pemakzulan.


Di sisi lain proses pemakzulan atau pemberhentian presiden melalui 3 tahap yakni DPR, MK dan MPR.


Setelah lolos DPR maka putusan ada di MK. MK secara komposisi hakim MK terdiri dari 9 orang yang merupakan komposisi dari 3 hakim pilihan DPR, 3 hakim pilihan presiden dan 3 hakim pilhan MA.


Karena itu praktis komposisi tersebut lebih dominan ke faktor politiknya, jikapun putusan MK pada akhirnya menyatakan presiden terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 7A UUD 1945, maka putusan MK menjadi dasar DPR untukmengusulkan kepada MPR pemberhentian  Presiden atau Wakil Presiden. ***

Penulis blog