HUKUM POLITIK

Dugaan Gratifikasi Kaesang Seharusnya Bisa Digunakan KPK Untuk Usut 'Keluarga Jokowi'

DEMOCRAZY.ID
September 20, 2024
0 Komentar
Beranda
HUKUM
POLITIK
Dugaan Gratifikasi Kaesang Seharusnya Bisa Digunakan KPK Untuk Usut 'Keluarga Jokowi'


Dugaan Gratifikasi Kaesang Seharusnya Bisa Digunakan KPK Untuk Usut 'Keluarga Jokowi'


Pengamat mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi untuk memakai dugaan gratifikasi terkait penggunaan jet pribadi oleh Kaesang Pangarep sebagai pintu masuk untuk mengusut keluarga Presiden Joko Widodo.


“Apakah dari Kaesang ini bisa digunakan untuk mengusut keluarga Jokowi? Betul, seharusnya bisa,” ujar peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, kepada BBC News Indonesia, Kamis (19/09).


Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, juga menganggap dugaan gratifikasi seharusnya bisa membuka pintu ke perkara lebih besar, seperti kasus yang pernah heboh sebelumnya.


Ia merujuk pada kasus korupsi eks pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Rafael Alun Trisambodo, yang bermula dari penelusuran terhadap gaya hidup mewah anaknya, Mario Dandy Satriyo.


“Poinnya adalah KPK sebetulnya bisa menelusuri secara mandiri apa yang sedang ramai dibicarakan di publik,” ucap Egi.


Bagaimana awal mula kasus Kaesang ramai dibicarakan publik?


Kasus ini pertama kali berkembang pada Agustus, ketika warganet mengkritik Kaesang dan istrinya, Erina Gudono, yang dianggap memamerkan gaya hidup mewah selama perjalanan mereka ke Amerika Serikat, selagi demonstrasi berlangsung di Jakarta.


Warganet lantas menggali berbagai informasi terkait perjalanan Kaesang dan Erina.


Dari penelusuran itu, warganet menduga pasangan tersebut pergi ke AS menggunakan jet pribadi milik seorang pengusaha.


Pengusaha tersebut diduga terkait dengan perusahaan yang pernah menjalin kerja sama dengan kakak Kaesang, Gibran Rakabuming Raka, ketika masih menjabat sebagai wali kota Solo.


Lantas, muncul kecurigaan penggunaan jet pribadi itu sebagai bentuk gratifikasi.


Penelusuran warganet kian dalam, sampai-sampai mereka mengendus dugaan bahwa Kaesang sudah beberapa kali menggunakan jet pribadi.


Sejumlah warga kemudian mengadukan Kaesang ke KPK atas dugaan gratifikasi, termasuk Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman.


Dalam laporan yang diajukan pada 28 Agustus lalu, Boyamin melampirkan surat kerja sama antara salah satu perusahaan dengan Pemerintah Kota Solo yang diteken Gibran selaku wali kota Solo saat itu.


Boyamin menduga pemberian fasilitas pesawat jet pribadi kepada Kaesang ada kaitannya dengan kerja sama tersebut.


“Apakah ini adalah fasilitas dari perusahaan tersebut, biarlah nanti KPK yang menilai,” kata Boyamin saat itu, seperti dikutip Tempo.


Gibran mengaku ‘nebeng’ jet pribadi teman ke AS


Gibran kemudian datang ke KPK untuk menyampaikan klarifikasi terkait penggunaan jet pribadi itu, pada Selasa (17/09). Ia juga mengisi formulir gratifikasi.


Kepada wartawan, Kaesang mengatakan jet pribadi yang ia tumpangi untuk pergi ke AS pada 18 Agustus 2024 memang milik temannya.


Ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu mengeklaim bahwa ia hanya menumpang bersama Erina.


“Numpang, atau bahasa bekennya nebeng lah. Nebeng pesawatnya teman saya,” ucap Kaesang, sebagaimana dilaporkan Kompas.


Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan, mengungkap bahwa menurut penuturan Kaesang, temannya itu berinisial Y. Namun, Pahala mengaku masih harus mengonfirmasi ulang informasi itu.


Pahala juga mengatakan bahwa total rombongan Kaesang dalam pesawat jet Gulfstream G650ER itu berjumlah empat orang.


"Yang bersangkutan pergi berempat. Kaesang, istrinya, kakak istrinya, dan stafnya. Jadi berempat," ucap Pahala.


Pernyataan ini sempat memicu kehebohan di jagat maya. Warganet heran karena Kaesang mengaku “nebeng”, tapi temannya malah tidak ikut di dalam pesawat tersebut.


Menanggapi kegaduhan ini, PSI merilis keterangan tertulis atas nama Nasrullah sebagai kuasa hukum dan Francine Widjojo selaku juru bicara Kaesang.


"Kami sudah sampaikan kemarin semua data dan informasi ke KPK misalkan di pesawat itu ada delapan orang penumpang: empat orang dari pemilik pesawat dan empat orang dari Mas Kaesang," demikian pernyataan PSI, seperti dikutip Detikcom.


Dugaan nilai gratifikasi Rp360 juta


Terlepas dari polemik istilah “nebeng” ini, Pahala menjabarkan bahwa merujuk pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Nomor 31 Tahun 2001, KPK punya waktu 30 hari untuk melakukan penyelidikan, terhitung sejak Kaesang melapor.


Namun, Pahala mengatakan KPK bisa memproses pemeriksaan laporan Kaesang ini lebih cepat, bahkan hanya “tiga sampai empat hari”.


Jika KPK menetapkan penggunaan jet pribadi itu sebagai gratifikasi, kata Pahala, Kaesang harus membayar total sekitar Rp360 juta kepada negara.


Angka itu berasal dari penuturan Kaesang bahwa harga tiket pesawat Indonesia-Amerika Serikat berkisar Rp90 juta satu orang.


"Dia (Kaesang) bilang tadinya mau naik business class yang satu tiketnya Rp 90 juta, tapi diajak temannya untuk nebeng di jet pribadi," tutur Pahala, seperti dilansir Kompas.


Karena Kaesang berangkat bersama tiga orang lainnya, maka total yang diperkirakan harus dibayarkan mencapai Rp360 juta.


Jagat maya kembali ribut. Menurut penelusuran beberapa warganet, harga sewa jet Gulfstream yang ditumpangi Kaesang seharusnya bisa mencapai ratusan juta rupiah, bahkan miliaran rupiah.


Merespons keributan ini, Francine menyatakan bahwa angka Rp90 juta itu merupakan hasil diskusi antara petugas KPK yang disepakati oleh dia dan kuasa hukum Kaesang, Nasrullah.


“KPK selanjutnya akan menghitung ulang dengan standar yang lebih tepat dan benar,” ujar Francine, sebagaimana dilansir Tempo.


Francine meminta publik menanti keputusan KPK selanjutnya. Sementara itu, Jokowi menanggapi santai kedatangan anaknya ke KPK.


“Saya kan sudah menyampaikan, semua warga negara sama di mata hukum. Ya, itu saja,” ujar Jokowi, seperti dikutip kantor berita Antara.


Lebih jauh, Pahala juga tak menutup kemungkinan bakal memanggil Jokowi dalam rangka penelusuran dugaan gratifikasi ini.


“Ya, ada lah. Namanya belum tentu kan bisa jadi iya, bisa jadi enggak,” kata Pahala saat ditanya tentang kemungkinan memanggil Jokowi, dikutip dari Tempo.


Apakah pemberian untuk keluarga penyelenggara negara termasuk gratifikasi?


Sebelum terlampau jauh memanggil Jokowi, sejumlah pihak mempertanyakan "pemberian" kepada Kaesang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi atau tidak.


Ketua KPK, Nawawi Pomolango, mengatakan bahwa KPK tetap bisa mengusut dugaan gratifikasi ini walau Kaesang bukan penyelenggara negara.


"Kita juga [tidak bisa] hanya melihat Kaesang sebagai bukan penyelenggara negara. Kita harus melihat Kaesang kaitannya dengan penyelenggara negara. Ada keluarganya atau apa," kata Nawawi, dikutip dari Kompas.


Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, mengamini pernyataan Nawawi.


“Gratifikasi, suap, atau pun jenis korupsi yang lain itu tidak hanya melibatkan si pelakunya saja, pejabat publiknya atau penyelenggara negaranya saja, tapi juga sering kali melibatkan orang-orang terdekatnya, entah itu rekan bisnis, keluarga, atau pun yang lain,” katanya.


“Jadi, dalam hal ini kita tetap harus melihat bahwa dugaan gratifikasi ini juga bisa saja disampaikan melalui Kaesang, kalau memang itu benar-benar bisa dibuktikan.”


Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi UGM, Zaenur Rohman, mengakui bahwa dalam UU Tipikor, memang tak diatur mengenai pemberian terhadap keluarga pejabat negara.


Namun menurutnya, penegak hukum dapat memakai yurisprudensi, yaitu putusan hakim dalam kasus-kasus sebelumnya yang dapat digunakan sebagai sumber hukum untuk memutus perkara serupa di kemudian hari.


“Memang tidak diatur [di UU Tipikor], tapi ada di yurisprudensi MA. Misalnya, Putusan 77/K/Kr/1973,” katanya.


Bisa jadi pintu masuk usut keluarga Jokowi


Zaenur dan Egi menyayangkan sikap KPK yang tidak tegas. Menurut mereka, dugaan gratifikasi Kaesang ini seharusnya dapat menjadi pintu masuk untuk mengusut keluarga Jokowi.


“Apakah dari Kaesang ini bisa digunakan untuk mengusut keluarga Jokowi? Betul, seharusnya bisa,” tutur Zaenur.


Ia pun mendesak KPK agar menyelidiki kasus ini lebih jauh, bukan sekadar menentukan status penerimaan gratifikasi terkait fasilitas jet pribadi dari Indonesia ke AS.


Zaenur kemudian membahas penelusuran warganet yang memunculkan dugaan Kaesang sudah beberapa kali menggunakan jet pribadi.


Ia lantas menggarisbawahi bahwa merujuk pada UU Tipikor, gratifikasi itu seharusnya dilaporkan ke KPK dalam kurun 30 hari setelah diterima. Jika tidak, pihak terkait bakal ditindak pidana.


“[Dugaan penggunaan jet pribadi oleh Kaesang di beberapa kesempatan sebelumnya] sudah melewati waktu 30 hari. Inilah yang seharusnya diproses oleh KPK menggunakan jalur penindakan,” ucap Zaenur.


“Harus dicari apa hubungan antara pemilik jet sebagai pemberi gratifikasi dengan Kaesang dan keluarganya sebagai penyelenggara negara.”


Lebih jauh, Egi mengingatkan bahwa sudah ada pula masyarakat yang melayangkan laporan ke KPK mengenai dugaan gratifikasi terkait penggunaan jet pribadi oleh Bobby Nasution.


“Mana Bobby? Apakah sudah menyampaikan dugaan gratifikasinya seperti yang disebut-sebut? Itu juga permasalahan,” katanya.


“Jadi bagi saya, harusnya ada satu dulu [kasus] yang terbongkar, paling tidak untuk bisa membuka dugaan-dugaan praktik lancung lainnya. Begitu pula terhadap atau apa yang dilakukan oleh keluarga Jokowi.”


Bobby sendiri mengakui sudah mengetahui ihwal laporan terkait jet pribadi tersebut, tapi ia tak menjawab gamblang ketika ditanya sudah ada surat pemanggilan dari KPK atau belum.


"Ya, saya sudah pastikan kemarin ya, saya sudah sampaikan, itu yang punya pesawatnya siapa. Emang ada pengusaha Medan. Emang dikaitkan dengan jabatan saya sebagai wali kota Medan," kata Bobby, sebagaimana dikutip Detik.


Sementara itu, juru bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, memastikan bahwa laporan masyarakat yang sudah masuk ke Direktorat Pelayanan dan Pelaporan Masyarakat (PLPM) KPK tetap akan ditindaklanjuti.


Menurutnya, laporan masyarakat itu masuk ranah penelaahan, sementara keputusan Kaesang untuk melaporkan penggunaan jet itu masuk dalam ranah pencegahan.


"Ini berkorelasi dengan laporan yang disampaikan di PLPM. Jadi, apakah nanti akan dipanggil pihak-pihak itu, ya tentunya masih berjalan, masih paralel berjalan dua-duanya. Pencegahan berjalan, penelaahan juga berjalan," ucapnya, seperti dikutip Detik.


Berkaca pada kasus Rafael Alun


Sejumlah warganet menganggap kasus Kaesang ini mirip dengan yang terjadi pada Mario Dandy.


Pada 2023, Mario menjadi sorotan karena kasus dugaan perundungan terhadap temannya. Beberapa warganet kemudian menyoroti gaya hidup Mario yang mewah.


Penelusuran warganet akhirnya sampai pada fakta bahwa Mario adalah putra dari seorang yang saat itu merupakan pegawai Ditjen Pajak, Rafael Alun.


Dari sana, terungkaplah kasus gratifikasi Rafael. Hingga akhirnya, KPK menetapkan Rafael sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU).


Warganet pun menganggap kasus Kaesang ini juga dapat membuka pintu bagi KPK untuk mengusut keluarga Jokowi.


Namun, Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, mengatakan kasus Mario dan Kaesang berbeda. Ia kemudian membahas bahwa Mario adalah anak yang masih dalam tanggungan orang tuanya.


"Mario Dandy itu memang benar-benar anak yang masih ada dalam pengampuan orang tuanya. Jadi, segala macam, termasuk juga barang yang digunakan dan lain-lain, itu memang milik orang tuanya, jadi dari orang tuanya," kata Asep, seperti dilansir Detik.


Di sisi lain, Kaesang sudah berkeluarga dan memiliki penghasilan sendiri, sehingga lebih sulit untuk membuktikan penggunaan jet tersebut adalah bentuk gratifikasi untuk anggota keluarganya yang merupakan penyelenggara negara atau bukan.


"Itu mungkin yang menjadikan nanti penelitiannya di (Direktorat) Gratifikasi itu harus benar-benar teliti itu. Kita ingin membedah, ingin memisah apakah ini ke mana arahnya," katanya.


Namun, Zaenur dan Egi menekankan bahwa inti dari kemiripan kasus ini bukan pada status Kaesang dan Mario sudah berpenghasilan sendiri atau belum.


“Poinnya adalah KPK bisa menelusuri sebetulnya secara mandiri apa yang sedang ramai dibicarakan di publik,” tutur Egi.


“Kemarin Rafael Alun akhirnya ditelusuri dan ada dugaan gratifikasinya di situ, sementara kalau sekarang KPK tidak melakukan hal yang serupa terhadap Kaesang, terhadap Bobby, atau bahkan terhadap Jokowi itu sendiri.”


Egi kian pesimistis mengingat pemerintahan Jokowi memang sudah melemahkan lembaga antirasuah itu melalui revisi UU KPK pada 2019.


“Jadi, ini persoalannya saya rasa memang tidak ada keberanian dan KPK-nya sudah lemah untuk mampu melakukan itu," katanya.


Sumber: BBC

Penulis blog