CATATAN POLITIK

'Dari Populisme Menuju Brutalisme Kartel Politik'

DEMOCRAZY.ID
September 02, 2024
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
'Dari Populisme Menuju Brutalisme Kartel Politik'


'Dari Populisme Menuju Brutalisme Kartel Politik'


Oleh: M Yamin Nasution

Pemerhati Hukum


Indonesia telah sampai kepada pintu gerbang kemerdekaan sejak 79 Tahun silam, kalimat “pintu gerbang” bila merujuk pada tulisan-tulisan pejuang kemerdekaan seperti Soekarno “Dibawah Bendera Revolusi,” Soepomo lembar awal “Bab-Bab Hukum Adat,” atau tuisan lainnya, dapat diartikan bahwa Indonesia terjajah oleh asing dari dua hal yaitu : PERTAMA terjajah secara politik, dan KEDUA terjajah ekonomi.


Dengan kemerdekaan secara politik bangsa Indonesia dapat mandiri mengatur dan merdeka secara ekonomi, mengingat dua model penjajahan ini telah menciptakan syndrom “minderwarheid complex”.


Penyakit tersebut diterangkan oleh Soekarno dan Soepomo adalah penyakit yang dimana orang desa minder dengan orang kota, orang kota sombong terhadap orang desa, orang-orang terdidik sombong dengan gelar-gelarnya, dan bila mereka mendapatkan kekuasaan mereka feodal dan brutal.


Politik seharusnya adalah ilmu tertinggi dalam suatu peradaban, politik menuju kekuasaan memiliki sifat mulia, membangun kepribadian manusia, mencerdasakan, mensejahterakan masyarakat, dan politisi terlebih para politikus harus menjadi role model pendidikan.


Akan tetapi, tidak demikian dengan Indonesia. Paska reformasi, politik ini telah diatur untuk menciptakan manusia menjadi budak partai, menghambat dan mencekal warga negara yang cerdas, jujur dan berniat untuk memajukan bangsanya.


Hal tersebut dapat di buktikan melalui Pasal 6 dan 6A Undang-Undang Dasar NRI 1945. Kedua Pasal tersebut menunjukkan ada dua perintah terhadap Legislatif untuk melahirkan dua produk hukum yang berbeda.


Adapun aturan tersebut menyatakan sebagai berikut :


Pasal 6


  • Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
  • Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang. 


Pasal 6A


  • Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
  • Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.


5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang


Perintah Pasal 6 UUD-NRI 1945 tersebut diatas baik bila ditafsir secara deduktif maupun non deduktif akan mendapatkan hasil bahwa kewajiban legislatif dan Eksekutif membentuk Undang-Undang melalui jalur Independen. Kecuali ditafsir secara anti deduktif.


Politik Indonesia pada dasarnya tidak menginginkan negara ini Indonesia maju dipimpin oleh warga negara yang pintar dan jujur, kecuali tunduk pada ketua partai yang banyak bermasalah.


Tradisi Bahasa Hukum Konstitusi


Dalam bahasa Latin UUD disebut dengan fundamental leges sedangkan dalam istilah Belanda dan Jerman disebut sebagai Gezets artinya suatu konsep hukum yang dibuat berdasarkan politik dan hukum dalam menentukan pembatasan hak fundamental masyratakatnya.


Akan tetapi frasa didalam UUD harus dibuat secara abstrak hal ini memiliki dua tujuan, PERTAMA sifat abstrak tersebut untuk dapat mengikuti kehidupan yang bergerak dan berkembang (atau istilah yang disebutkan E. Ueugine pada tahun 1960 adalah living law) dan kebiasaan bahasa hukum yang abstrak tersebut diikuti Eropa dari konsep hukum Yunani.


Untuk mengimbangi kehidupan masyarakat yang bergerak dan tumbuh termasuk pola kejahatan (pengaturan hukum pidana), maka dibuatlah Konstitusi yang bergerak atau dengan istilah Living Law Constitution (Lihat Keterangan David Strauss dalam Living Law Constitution).


KEDUA, dahulu kebiasaan Eropa yang mengikuti Romawi memiliki bahasa Konstitusi yang spesifik rijit dan tertutup, namun kehidupan bernegara bangkrut bila seorang kepala negara diatur dengan bahasa yang demikian. 


Dan kepala negara cenderung mengganti hukum yang memiliki bahasa spesifik terlebih bertentangan dengan keinginannya (Baca Johann Gotlieb Fitche “Das System der Rechtslehre).


Maka, Pendapat Prof. Yusril Ihza Mahendra yang mengatakan bahwa Konstitusi dengan bahasa Abstrak semata-mata dbuat oleh orang politik dan bukan hukum adalah keliru dan pandangan hukum yang minim literatur hukum.


Politik Indonesia Pasca Reformasi


Reformasi Indonesia dicirikan dengan pengaturan hak asasi manusia yang cukup banyak disebutkan didalam UUD-NRI 1945, konsep ini tidak hanya mengatur tentang hak-hak dasar warga negara, akan tetapi hak fundamental diatas konstitusi yang harus dilindungi.


Paska reformasi pergerakan poltik Indonesia hanya mencari calon-calon yang memiliki popilisme semata, dimana kandidat yang memiliki ketenaran akan menjadi rebutan Partai untuk diusung menjadi calon baik legislatif maupun calon-calon eksekutif.


Kerap kali partai yang berbeda pandangan dasar (ideologi) dan bertempur saling hujat dan saling serang saat pemilu presiden, akan tetapi bersatu untuk mencalonkan kepala daerah yang sama.


Hal tersebut tidak hanya menjadikan wajah demokrasi yang aneh, namun memiliki peran serta dalam memecah persatuan masyarakat sehingga menciptakan segregasi yang besar paska terpolrisasi saat pemilu, dan sialnya ketika kandidat yang populis tersebut tidak memiliki kepahaman tentang bernegara, maka akan gagal menjadikan bangsa besatu dan cenderung yang retak “fragile state” bagian dari “failure state”, dimana warga negara saling maki, saling hardik dan saling hina.


Kebiasaan buruk poltik tersebut bertambah menuju jurang kehancuran bernegara, politik tidak hanya secara sembunyi-sembunyi menunjukkan cekalan kepada warga negara yang memiliki kecerdasaan, bersih dalam treck record darin korupsi dan keinginan membawa negara lebih maju.


Secara terbuka menunjukkan brutalismenya, dimana partai bersatu untuk mencekal seseorang yang bukan kader parpol untuk maju menjadi calon kepala daerah.


Disatu sisi hal tersebut terlihat biasa saja dalam menghadang lawan-lawan politik, akan tetapi bila ditelaah lebih mendalam hal tersebut menunjukkan partai-partai diisi orang-orang bermasalah secara hukum dan menunjukkan inkonsistensi elit partai (moral kemunafikan).


Wal hasil, politik Indonesia sangat minim berbicara tentang tujuan bernegara, perlindungan terhadap rakyat, merdeka secara ekonomi, menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat. 


Bahkan politik Indonesia hanya dikuasai oleh kartel-kartel dan hukum dibuat hanya untuk menciptakan suatu kejahatan yang terorganisir. ***

Penulis blog