DEMOCRAZY.ID - Ipda Rudy Soik, eks KBO Reskrim Polresta Kupang Kota kini tengah menghadapi proses kode etik di Bidang Propam Polda Nusa Tenggara Timur (NTT).
Dia diperiksa Propam setelah memasang garis polisi di tempat penampungan bahan bakar minyak (BBM) diduga ilegal, milik warga Kota Kupang bernama Ahmad Munandar dan Algazali.
Dalam hasil putusan sidang kode etik yang diterima, Ipda Rudy Soik dinyatakan melanggar Pasal 13 ayat (1) dan/ atau Pasal 14 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang pemberhentian anggota Polri junto pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c dan/ atau pasal 8 huruf f Perpol 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri.
Dengan wujud perbuatan, memasuki tempat hiburan karaoke di saat jam dinas Polri berlangsung, bersama wanita yang merupakan istri orang.
Sedangkan hal yang meringankan Ipda Rudy Soik adalah, sudah mengabdi di kepolisian selama 19 tahun.
Hal yang memberatkan, tidak kooperatif dari pemeriksaan sampai persidangan. Selain itu, dianggap berbelit-belit dalam pemeriksaan dan persidangan, sementara menjalani kasus disiplin dan kode etik (disiplin tiga kasus dan kode etik dua kasus), serta sudah pernah menerima putusan disiplin dan kode etik sebanyak lima kasus.
Atas pertimbangan itu, Ipda Rudy Soik di-mutasi demosi selama tiga tahun keluar dari NTT, yakni ke Papua berdasarkan putusan Komisi Kode Etik Polri Nomor: PUT/32/VIII/2024/KKEP tanggal 28 Agustus.
Kabid Humas Polda NTT Kombes Pol Ariasandy mengatakan, Ipda Rudy Soik akan menjalani demosi ke luar wilayah NTT, namun tempatnya tugasnya akan ditentukan oleh SDM Mabes Polri.
Terkait keputusan Ipda Rudy Soik untuk banding putusan sidang kode etik tersebut, Ariasandy menyatakan tidak ada masalah karena merupakan hak anggota.
"Ya itu hak anggota, ga ada masalah," ujarnya.
Klarifikasi Ipda Rudy Soik
Ipda Rudy Soik mengklarifikasi terkait pemberitaan di media bahwa dia berselingkuh dengan istri orang.
Menurutnya, fakta yang sebenarnya adalah, saat itu dia bersama anggota sedang menyelidiki lokasi penimbunan bahan bakar minyak (BBM) ilegal.
Lokasi penimbunan BBM ilegal itu di Kecamatan Alak yang dimiliki oleh warga bernama Ahmad.
Sambil memperlihatkan rekaman CCTV, Ipda Rudy Soik kemudian menarik anggotanya untuk kembali dari lokasi.
Ipda Rudy menunggu anggotanya yang berjumlah 13 orang untuk makan siang bersama sekaligus analisa dan evaluasi (Anev), di Restoran Master Piece Kota Kupang.
"Jarak restoran dengan markas Polda NTT sekitar 100 meter. Bahkan tempat itu saya biasa diperintahkan untuk sediakan bagi ibu-ibu pejabat bhayangkari, untuk acara makan dan kegiatan lainnya," ungkap Rudy Soik.
Menurutnya, narasi sesat itu sengaja dibangun seolah-olah terjadi perselingkuhan antara para anggota tim Reserse dan Kriminal Polresta Kupang (13 orang) yang hari itu menyelidiki kasus BBM ilegal bersamanya.
"Padahal kegiatan makan siang di Master Piece itu dipimpin Kapolresta Kupang Kota Kombes Pol Aldian Manurung, beliau pun mengetahui pergerakan kami semua di tempat itu," ujar Ipda Rudy Soik.
Ia menjelaskan, pemasangan garis polisi di tempat penampungan BBM ilegal di rumah Ahmad Munandar dan Algazali, dilakukan karena sedang menjalankan rangkaian penyelidikan kasus BBM ilegal.
Menurutnya, dalam kasus BBM ilegal tersebut terdapat sejumlah fakta yakni adanya keterlibatan anggota Polresta Kupang Kota yang menerima suap dari Ahmad.
Bahkan fakta lain, Ahmad membeli minyak subsidi jenis solar menggunakan barcode Law Afwan (Pengusaha dari Cilacap).
Dari hasil penyelidikan Ipda Rudy Soik bersama tim, ditemukan Ahmad punya kedekatan dengan Anggota Paminal Propam Polda NTT yang pernah menggelar operasi tangkap tangan oknum Shabara Polda NTT, yang menerima suap dari Ahmad senilai Rp30 Juta.
Saat itu Ahmad membeli minyak ilegal di sebuah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Kota Kupang.
Namun anehnya, oknum anggota Shabara Polda NTT itu diproses disiplin, sedangkan Ahmad tidak diproses pidana selaku pelaku kasus BBM ilegal.
Bahkan Ahmad juga mengakui bahwa pembelian minyak pada bulan Juni 2024 itu diberikan kepada Algazali selaku penimbun.
Dalam pemeriksaan lapangan, Algazali mengaku sebelum Ipda Rudy Soik memimpin operasi penertiban BBM ilegal pada 25 Juni 2024, Algazali ditelepon oleh oknum anggota Direktorat Kriminal Khusus Polda NTT untuk 'tiarap sebentar'.
"Atas dasar itulah, maka saya bersama tim mengambil tindakan pemasangan police line (garis polisi). Karena kelangkaan BBM dirasakan oleh semua kalangan masyarakat dari daerah perbatasan hingga Kota Kupang," cerita Ipda Rudy Soik.
"Dalam pelaksanaan tugas, ini bukan maunya saya tetapi atas perintah atasan. Tapi kok kenapa saya yang disalahkan? Dan dijadikan alasan pemberatan untuk saya dimutasi ke Polda Papua? Harusnya melihat fakta-fakta ini sebagai upaya untuk menyelamatkan NTT dari mafioso BBM dan perdagangan orang? Kenapa ini dijadikan alasan," tambahnya.
Ipda Rudy Soik menilai ada kriminalisasi terhadapnya dan tim, karena setelah kejadian itu, anggota Reskrim Polresta Kupang yang ikut dalam operasi penertiban BBM ilegal, dimutasi ke wilayah terpencil NTT.
"Saya dan Kasatserse Polresta Kupang Kota dimutasi non job, diperintah masuk sel. Bahkan saya juga dituduh otak di balik gagalnya anak Kapolda NTT masuk Akpol," sebutnya.
Pernah Disalahkan karena Bongkar Mafia TPPO
Ipda Rudy Soik juga menceritakan kisahnya yang pernah membongkar kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) 11 tahun lalu. Saat itu dia bertugas sebagai anggota Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda NTT.
Saat Kombes Pol Moh Slamet menjabat Direktur Kriminal Khusus mengatakan bahwa kasus PT Malindo Mitra Perkasa bukanlah kasus TPPO tetapi kasus administrasi.
Padahal, Rudy telah mengamankan 52 calon pekerja migran Indonesia ilegal dari penampungan PT Malindo Perkasa.
Dalam proses pemeriksaan itu, Kombes Pol Moh Slamet perintahkan untuk kembalikan 52 calon pekerja migran Indonesia ilegal itu ke PT Malindo, dan Ipda Rudy Soik pun diproses disiplin.
Tak terima dizolimi, Ipda Rudy Soik pun melaporkan Kombes Moh Slamet ke Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM), karena menghalangi proses penyelidikan terhadap PT Malindo Perkasa.
Saat yang bersamaan, Ipda Rudy Soik diproses disiplin. Sejumlah kasus pun dinilai sengaja dibuat untuk menjatuhkannya dan dituding memfitnah pimpinan.
Kemudian, pada November 2015 izin PT Malindo Perkasa dicabut Kementerian Ketenagakerjaan (Nomor; 402 tahun 2014 tentang pencabutan izin penempatan tenaga kerja Indonesia PT Malindo).
Selanjutnya pada 2018, Tedy Moa yang merupakan pelaksana perekrutan PT Malindo Perkasa ditetapkan sebagai tersangka dan diproses hukum dan bersifat ingkrah (dengan nomor putusan 159/Pid.Sus /2018/PN KUPANG) dengan pidana penjara 6 tahun.
Pada tahun yang sama, NTT ditetapkan sebagai provinsi darurat perdagangan orang. Salah satu korban perdagangan orang yang masih hidup yaitu, Mariance Kabu yang mengalami cacat permanen.
Menurut Ipda Rudy Soik, kasus TPPO PT Malindo Perkasa pada 11 tahun lalu adalah sebuah kebenaran, bahwa kasus yang diselidikinya adalah pidana dan bukan kasus kesalahan administrasi.
"Lalu bagaimana mungkin Kabid Humas Polda NTT mengatakan di media bahwa alasan pemberatan pertama Ipda Rudy Soik dipindahkan ke Daerah Operasi Militer Polda Papua, adalah karena Ipda Rudy Soik melawan pimpinan yang mengatakan NTT tidak ada perdagangan orang," protesnya.
Sumber: Liputan6