Anies Gagal Jadi Presiden, Gibran Melenggang Jadi Wapres: 'Apakah Ini Sistem Demokrasi atau Komedi Politik?'
Kita semua tahu, kan, bahwa Anies Baswedan adalah sosok yang sempat membuat banyak hati berdegup kencang di kancah politik.
Mantan Gubernur Jakarta yang elegan, intelektual, dan sering kali bikin kita semua merasa bahwa Indonesia mungkin masih punya harapan.
Tapi, di tengah segala harapan itu, BAM! Anies ternyata gagal jadi presiden! Kalau kita perhatikan, kok rasanya seperti ada yang salah dengan sistem ini? Tapi tunggu, mari kita periksa dengan gaya santai.
Sistem yang Kacau atau Politik yang Kocak?
Kita semua percaya demokrasi seharusnya memberikan pilihan terbaik untuk rakyat, bukan? Teorinya sih begitu, tapi praktiknya? Lihat saja, Gibran Rakabuming Raka, putra bungsu Jokowi, dengan santainya melenggang jadi calon wakil presiden.
Out of nowhere, tiba-tiba Gibran mendadak jadi salah satu tokoh penting dalam kancah politik nasional. Ini seperti nonton film plot twist yang terlalu berlebihan sampai kita ingin bilang, “serius nih?”
Seharusnya, kalau sistem demokrasi kita berjalan dengan mulus, siapa pun yang dipilih rakyat seharusnya tidak membawa risiko besar bagi bangsa dan negara, kan? Intinya, any choice should be a safe choice.
Tapi realitanya? Kalau Anies yang gagal, sementara Gibran yang baru hangat-hangatnya di politik bisa langsung jadi wapres, ini tanda tanya besar.
Sistem yang Membawa Calamity (Bahaya Besar)
Mari kita pakai bahasa yang sedikit ilmiah biar kelihatan serius sedikit—sistem yang kita pakai sekarang, kalau dibiarkan terus begini, mungkin akan berujung pada calamity atau bahaya besar.
Anies, yang punya pengalaman dan rekam jejak sebagai pemimpin daerah yang sukses, didn’t make the cut karena sistem yang sepertinya lebih mementingkan faktor nepotisme dan loyalitas politik daripada kapasitas dan integritas.
Lalu, di sisi lain, Gibran—yang let’s be honest, masih sangat green dalam dunia politik nasional—dengan mudahnya melaju menuju kursi nomor dua di negeri ini.
Wait, what? Kalau begini caranya, apa yang terjadi dengan meritokrasi? Apa yang terjadi dengan sistem politik yang seharusnya memilih pemimpin berdasarkan kemampuan, bukan keturunan?
The Jokowi Dynasty: Legacy atau Dynasty Trap?
Sekarang, mari kita bicara tentang fenomena dynastic politics atau politik dinasti. Jokowi, presiden dua periode yang—suka atau tidak suka—bisa dibilang berhasil menciptakan “dinasti politik” yang cukup mengakar.
Dari posisinya sebagai presiden, hingga kini Gibran yang menjadi calon wapres, sepertinya posisi strategis di pemerintahan bisa diwariskan seperti bisnis keluarga. Bukankah seharusnya jabatan publik itu earned, bukan inherited?
Ini jelas bukan sekadar legacy biasa. Ini lebih seperti dynasty trap—jebakan dinasti politik yang kalau dibiarkan bisa menghancurkan sistem demokrasi kita.
Kalau sudah begini, wajar kan kalau kita berpikir, “Apakah pemimpin di masa depan akan lebih seperti hasil ‘pilihan rakyat’ atau sekadar penerus takhta keluarga?”
Demokrasi: Kocak atau Ironis?
Lucu kan kalau dipikir-pikir? Di satu sisi, kita terus mengeluh soal perlunya perubahan, tentang bagaimana kita butuh pemimpin yang bisa membawa negara ini ke arah yang lebih baik.
Tapi, di sisi lain, sistem demokrasi kita malah meloloskan sosok-sosok yang—jujur saja—belum punya banyak track record untuk membuktikan diri. Apa ini semua cuma kebetulan atau memang sistemnya sudah rigged?
Kalau sistem ini dibiarkan, mungkin di masa depan kita bakal lihat lebih banyak lagi fenomena yang sama: politik dinasti terus berjalan, dan orang-orang yang benar-benar kompeten seperti Anies malah dibiarkan gagal.
Dan saat itulah, kita harus tanya diri sendiri: apakah ini demokrasi, atau kita semua sedang tertipu oleh komedi politik yang semakin tidak masuk akal?
Closing: Risky Business atau Sistem yang Sehat?
Seharusnya, dalam sistem yang sehat, kita nggak perlu khawatir siapa pun yang terpilih. In an ideal world, setiap pilihan rakyat itu baik bagi negara.
Namun, kalau sistem kita lebih mengedepankan dinasti politik, personal loyalty, dan strategi politis yang konyol daripada keahlian dan kapasitas nyata, kita sebetulnya sedang bermain dengan risky business. Dan ini, teman-teman, adalah formula menuju kehancuran, bukan kemajuan.
Jadi, mari kita tertawa sejenak melihat absurditas ini, tapi jangan lupa, di balik tawa itu ada keprihatinan mendalam tentang masa depan demokrasi di negeri ini.
Sumber: FusilatNews