EKBIS POLITIK

4 Kritik Tajam Faisal Basri, Utang Bengkak hingga Impor Beras

DEMOCRAZY.ID
September 07, 2024
0 Komentar
Beranda
EKBIS
POLITIK
4 Kritik Tajam Faisal Basri, Utang Bengkak hingga Impor Beras



DEMOCRAZY.ID - Wafatnya salah satu Ekonom Senior dari Universitas Indonesia (UI), Faisal Basri, memberikan duka bagi masyarakat Indonesia. Berbagai kritikan membangun menjadi hal yang paling dikenang semasa ia hidup.


Mengutip laman LPEM FEB UI, Faisal Basri adalah ekonom dan politikus alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia. Dia adalah salah seorang keponakan dari mendiang Wakil Presiden RI Adam Malik.


Faisal Basri menyelesaikan pendidikan sarjananya di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia (1985) dan meraih gelar Master of Arts bidang ekonomi di Vanderbilt University, Nashville, Tennessee, Amerika (1988).


Mantan Wakil Presiden RI, Boediono mengatakan bahwa Faisal merupakan sosok ekonom yang luar biasa dari segi pengetahuan, dan juga dari segi praktik. 


Banyak sekali kegiatan-kegiatan Faisal di lapangan yang ia anggap sangat bermanfaat bagi masyarakat.


Kritikan pedas seringkali ia sampaikan untuk membangun Indonesia yang lebih baik ke depannya, setidaknya terdapat empat hal yang menjadi concern Faisal soal ekonomi Indonesia.


1. Utang RI Menggunung


Secara rutin, Faisal seringkali mengkritik soal utang yang menjadi masalah mendasar negeri ini.


Dirinya intens menyoroti utang sejak pertengahan era kepimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). 


Bahkan hingga akhir hayatnya, dia masih membicarakan utang pemerintah dalam sebuah podcast Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), 27 Agustus 2024 lalu.


Faisal menyampaikan bahwa pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah membuat utang Indonesia naik 3,3 kali lipat dari akhir 2014.


"3,3 kali lipat itu terdahsyat setelah krisis," tegasnya.


Data dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat bahwa pada akhir Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjabat pada 2014, utang Indonesia sebesar Rp2.608 triliun dan melonjak lebih dari 300% menjadi Rp8.144 triliun pada akhir 2023.


Bahkan rasio utang terhadap PDB pun mengalami kenaikan di era kepemimpinan Jokowi yakni dari 27,46% pada 2015 menjadi 38,59% pada 2023.


2. Deindustrialisasi Bikin Warga RI Suram


Faisal pernah mengatakan dalam wawancara dengan CNBC Indonesia bahwa di era kepemimpinan Jokowi pertumbuhan ekonomi cenderung jalan di tempat karena penyerapan kerja di sektor informal meningkat namun sumbangan sektor industri terhadap PDB malah mengalami penurunan.


Porsi manufaktur Indonesia terhadap PDB cenderung turun dari 20,97% pada 2015 menjadi hanya 18,67% pada 2023.


Bahkan jika dilihat lebih luas, tren penurunan ini terjadi sejak 2008 dari titik tertingginya 27,9% atau telah turun 9,23%.


Pertumbuhan ekonomi yang cenderung stagnan disertai penurunan kontribusi sektor manufaktur dan ditambah dengan peningkatan pekerja informal serta utang negara inilah yang dinamakan fenomena deindustrialisasi.


Turunnya kontribusi sektor manufaktur ke PDB bisa berlanjut yang dampaknya bisa ke penerimaan pajak yang turun dan utang negara bisa meningkat. 


Diperlukan kerjasama antara pemerintah dengan sektor manufaktur di tengah masifnya perkembangan teknologi agar pertumbuhan ekonomi tetap terjaga positif.


Industrialisasi merupakan kunci bagi negara manapun untuk menjadi negara maju. Selain menciptakan banyak tenaga kerja, industrialisasi memegang kunci menjadi negara maju karena mencerminkan meningkatnya kesejahteraan serta pengembangan inovasi.


3. Pajak Cekik Warga RI


Faisal sempat menyampaikan bahwa pemerintah ingin menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% pada 2025. 


Hal ini ia nilai tidak secara signifikan menambah pemasukan negara lewat pajak. Justru ia berpendapat, hal ini akan memberatkan rakyat kecil.


Untuk diketahui, PPN merupakan pajak atas konsumsi barang dan jasa di dalam Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat dalam setiap jalur produksi dan distribusi.


PPN yang dipungut oleh pemerintah pusat dikenakan untuk aktivitas jual-beli sejumlah barang. Sebagai contoh pembelian kendaraan bermotor, rumah dan internet menjadi salah satu aktivitas jual-beli yang terkena PPN 12% ini.


Pemerintah pusat memungut PPN melalui perusahaan yang menjual barang atau jasa tersebut. Pembayaran pajak tersebut akan ditanggung oleh masyarakat selaku konsumen.


Faisal telah menghitung tambahan penerimaan negara dari kenaikan PPN. Menurut dia, tambahan pendapatan yang bisa didapat tidak lebih dari Rp100 triliun. 


Sementara, kata dia, pemerintah sebenarnya bisa memperoleh penerimaan yang jauh lebih besar ketika menerapkan pajak ekspor batu bara yang dapat mencapai Rp200 triliun.


4. Impor Beras 3 Juta Ton


Faisal selaku ahli yang dihadirkan Tim Hukum Nasional Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (1/4/2024), menilai El Nino yang menjadi argumen pemerintah dalam kebijakan bantuan sosial tahun lalu tidak tepat lantaran keadaan pada 2021 lebih parah.


"Dengan segala macam bencana yang selalu ada, tapi tidak ada yang bersifat nasional, itu luas lahan panen itu tetap di atas 10 juta hektare, nggak pernah di bawah 10 juta hektare, produktivitas naik sehingga per hektare naik, sehingga produksi beras cuma turun 600an ribu ton. Tapi seolah-olah kita mau kiamat, diimpor lah 3 juta ton beras," lanjutnya.


Untuk diketahui, data Badan Pusat Statistik (BPS), impor beras pada 2023 sebesar 3,06 juta ton atau naik 613% dibandingkan 2022 yang impor sebesar 0,43 juta ton.


Jenis beras yang paling banyak diimpor Indonesia adalah semi milled or wholly milled rice dengan volume impor 2,7 juta ton atau sekitar 88,18%. 


Lalu, broken rice, other than of a kind dengan volume impor 345 ribu ton atau sekitar 11,29% dari total impor.


Selanjutnya ada Basmati rice, semi-milled or wholly milled rice dengan volume 7.133 ton atau 0,23%; other fragrant rice, semi milled 6.950 ton (0,23%); dan glutinous rice 1.300 ton (0,02%).


Sumber: CNBC

Penulis blog