CATATAN POLITIK

Wawancara Khusus Djarot Saiful Hidayat: Kekuasaan Itu Memabukkan, Jokowi Lupa Asal-Usulnya!

DEMOCRAZY.ID
Agustus 28, 2024
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
Wawancara Khusus Djarot Saiful Hidayat: Kekuasaan Itu Memabukkan, Jokowi Lupa Asal-Usulnya!


Wawancara Khusus Djarot Saiful Hidayat: Kekuasaan Itu Memabukkan, Jokowi Lupa Asal-Usulnya!


PDI Perjuangan merasa sudah tak bisa lagi mengingatkan Presiden Jokowi. Penguasa hari ini, bagi partai berlambang banteng itu, adalah tiran dan otoritarian.


PDI Perjuangan kali ini lebih berhati-hati memilih kandidat yang akan diusung dalam Pilkada 2024. Sebab, mereka merasa punya pengalaman buruk setelah berulang kali mengusung Joko Widodo dari wali kota, gubernur, hingga menjadi presiden. Kekuasaan justru membuat hubungan Jokowi dengan partainya merenggang hingga tak lagi diakui sebagai kader.


"Ya, kami punya pengalaman yang kita tahulah dengan Pak Jokowi seperti apa. Ternyata memang benar kekuasaan itu memabukkan, kekuasaan itu menyilaukan, dan Jokowi lupa akan asal-usulnya. Nah, itu sebagai pelajaran penting bagi kami semua," ujar Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Ideologi dan Kaderisasi Djarot Saiful Hidayat saat ditemui di kantor DPP PDI Perjuangan pada Sabtu, 24 Agustus 2024.


"Apakah yang salah PDI Perjuangan? Ya nggak, yang salah yang bersangkutan. Sudah diingetin berkali-kali, jangan langgar konstitusi, jangan langgar konstitusi, kok tetap belok," imbuh mantan Gubernur DKI Jakarta ini.


Dalam persaingan Pilkada 2024, partai berlambang banteng moncong putih itu dikepung hampir semua partai yang bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju. Koalisi pendukung pemerintahan Jokowi itu membuat PDI Perjuangan tidak bisa mengusung jagoannya di berbagai wilayah. Namun putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60 dan 70/PUU-XXII/2024 memberi angin segar. Meski begitu, DPR dan pemerintah sempat mencoba menganulirnya dengan cara merevisi UU Pilkada. Dampaknya, demonstrasi ‘Peringatan Darurat’ pecah di berbagai wilayah Indonesia.


“Contoh, misalkan, di Sumatera Utara ya. Itu (dukungan partai semuanya diborong). Oleh siapa? Oleh Bobby. Ya silakan. Tapi kami maju sendiri. Di Jawa Tengah itu kan skenario awalnya mau diborong Luthfi dan Kaesang. Bukan saya misalnya itu benci sama Jokowi, nggak. Saya dendam? Nggak, tetapi saya benci dengan kelakuannya, perilakunya, kebijakannya. Dia berusaha mengonsolidasi kekuasaan dengan cara merekayasa undang-undang. Itu sebetulnya nafsu,” terangnya.


Upaya mengakali putusan MK itu, kata mantan Wali Kota Blitar dua periode ini, adalah kepanjangan tangan dari penguasa yang tiran dan otoritarian. Dia menegaskan PDI Perjuangan tidak bisa dibeli.


“Begitu dianggap merugikan atau tidak memuluskan jalan si putra mahkota, Kaesang (Pangarep), kenapa langsung menggunakan DPR untuk segera disikapi dan diangkat oleh Baleg. Padahal RUU Pilkada itu bukan Prolegnas,” ungkapnya.


Lantas apakah PDI Perjuangan pernah membuat calon boneka untuk memenangkan Gibran di Solo? Lalu bagaimana dengan koalisi di Jawa Timur dan Jakarta? Simak petikan perbincangan lengkap jurnalis detikX Ahmad Thovan Sugandi dan Djarot Saiful Hidayat berikut ini.


Apakah PDI Perjuangan akan konsisten berpatokan pada putusan MK terkait pencalonan di pilkada?


Iyalah. Sejak awal sudah kesepakatan kita bersama, sudah diatur di dalam konstitusi Pasal 24C (UUD 1945) bahwa keputusan MK itu final, terakhir, dan mengikat. Maka PDI Perjuangan mengambil sikap jelas sesuai dengan instruksi dari Ketua Umum (Megawati Soekarnoputri). Kami partai yang selalu setia-taat pada konstitusi, setia dan taat pada ideologi Pancasila meskipun ditinggal sendiri, dikeroyok. Ya silakan. Tapi kami yakin dan percaya rakyat Indonesia tidak bodoh. Rakyat Indonesia itu punya nurani, punya akal sehat, dan kritis.


PDI Perjuangan melihat adanya pembangkangan konstitusi oleh pemerintah melalui DPR?


Bayangkan, kenapa Keputusan Nomor 90 (Putusan 90/PUU-XXI/2023) yang mengubah konstitusi dan ada dissenting opinion dari tiga hakim MK itu langsung diterapkan? Karena meloloskan Gibran (Rakabuming Raka). Itu melanggar konstitusi. Karena kami kritis, kami mempertanyakan kenapa berbeda dengan Keputusan Nomor 60 dan 70 (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang menghilangkan ambang batas pencalonan dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 terkait batas usia minimum pencalonan)? Begitu dianggap merugikan atau tidak memuluskan jalannya si putra mahkota, Kaesang (Pangarep), kenapa langsung menggunakan DPR untuk segera disikapi dan diangkat oleh Baleg. Padahal RUU Pilkada itu bukan Prolegnas.


PDI Perjuangan yakin proses itu sengaja diorkestrasi oleh pimpinan tertinggi rezim pemerintahan saat ini?


Kita melihat bersama, ini adalah kepanjangan tangan dari penguasa. Kekuasaan yang tiran ini. Kekuasaan yang otoritarian ini. Jadi nggak berdiri sendiri. Sehingga diorkestrasi dalam waktu 7 jam begitu to. Begitu 7 jam, langsung diproses, diputuskan, dan dia mengacu pada keputusan Mahkamah Agung. Apa-apaan ini? Ingat, keputusan MA dan keputusan MK itu lebih tinggi keputusan MK.


Tapi saya bersyukur, alhamdulillah, rakyat di Indonesia itu cerdas dan sudah muak dengan berbagai macam perilaku elite. Makanya dia demonstrasi semua.


Apa instruksi Megawati saat ada putusan MK terkait UU Pilkada?


Jadi, begitu putusan MK, Ibu (Megawati Soekarnoputri) kan jelas perintahnya. Tegak lurus ikuti keputusan Mahkamah Konstitusi. Beliau sangat paham tentang konstitusi karena beliau juga pelaku sejarah mulai zaman Bung Karno, Pak Harto, sampai sekarang tetap tegak lurus. Termasuk ketika ada upaya perpanjangan masa jabatan presiden (PDI Perjuangan menuding ini permintaan Joko Widodo).


Karena kekuasaan ini ada batasnya. Yang kita lawan itu bukan orang. Yang disampaikan oleh Bu Mega itu, kami bukan melawan orang per orang, tidak. Tapi yang dilawan itu nafsu, nafsu keserakahan, nafsu akan haus kekuasaan. Itu saja, nafsu, bukan orang per orang, siapa pun juga. Kalau nafsunya itu, nafsu kolonial. Kita ini kan sudah berdaulat, negara kita sudah berdaulat, dan partai berdaulat. Makanya partai tidak bisa didikte dengan nafsu yang menyimpang dari ideologi dan institusi.


Apakah ada tekanan atau ancaman kepada PDI Perjuangan maupun kadernya agar sepakat membatalkan keputusan MK?


Nggak ada. Nggak ada yang berani dan kami tahu bahwa itu salah. Oleh sebab itu, Ibu (Megawati) selalu bilang PDIP partai yang sah, yang punya kedaulatan, yang punya konstitusi partai, AD/ART. Tidak bisa ditekan-tekan, dipaksa-paksa. Saya sampaikan PDI Perjuangan itu bukan partai yang bisa dibeli, not for sale.


Di Jakarta, PDI Perjuangan mengutamakan kader sendiri dan kalaupun ada nonkader, harus dikaderkan dahulu?


Normalnya begitu. Kami melihat, kami ada nggak stok yang dalam arti kader yang bisa ditugaskan dan kemudian mempunyai potensi bisa unggul di satu daerah. Makanya ada banyak perangkat to di situ. Ada survei, ada macam-macam, kan gitu. Kan nggak bisa ujug-ujug, ya kan? Kita juga harus cerdas.


Setelah dikhianati Jokowi, PDI Perjuangan tampaknya lebih berhati-hati mengusung calon?


Ya, kami punya pengalaman yang kita tahulah dengan Pak Jokowi seperti apa. Ternyata memang benar kekuasaan itu memabukkan, kekuasaan itu menyilaukan, dan Jokowi lupa akan asal-usulnya. Nah, itu sebagai pelajaran penting bagi kami semua.


Apakah yang salah PDI Perjuangan? Ya nggak, yang salah yang bersangkutan. Sudah diingetin berkali-kali, jangan langgar konstitusi, jangan langgar konstitusi, kok tetap belok. Ya sudah. Karena tentunya kita harus sepakatilah bahwa kehidupan kita diatur oleh konstitusi dan ideologi negara. Karena kita ingin ke depan itu, kalau bisa, jangan sampai terjadi hal-hal seperti itu (pengkhianatan terhadap konstitusi dan partai).


Anda melihat ada upaya sistematis untuk merebut daerah basis dan mengeroyok PDI Perjuangan di kandangnya sendiri pada pilkada serentak nanti?


Iya, makanya kami berjuang untuk memberikan pilihan kepada rakyat (agar tidak hanya melawan kotak kosong maupun calon boneka) untuk menyehatkan demokrasi. Bahwa dalam demokrasi itu, sekali lagi, kedaulatan ada di tangan rakyat. Dan rakyat berhak memilih calon-calon pemimpinnya. Kalau misalkan—dalam tanda kutip ya—dikeroyok seperti itu, (dukungan dari partai lain) diborong seperti itu, maka keputusan MK itu menjadi angin segar. Sehingga skenario untuk melakukan konsolidasi kekuasaan yang otoritarian populis itu bisa bubar, bisa buyar dengan putusan MK.


Kami bersyukur ya MK itu menjadi sehat karena Paman (Anwar) Usman tidak diikutkan. Jadi inilah sebetulnya yang kita kawal supaya demokrasi itu sehat. Terbebas dari skenario buruk yang mengonsolidasi kekuasaan sehingga melanggengkan rezim otoritarian populis. Kita harus sama-sama sadar dan bangkit untuk melawan kebangkitan sistem atau rezim new Orba.


Saat ini rakyat itu dianggap seperti bebek. Dianggap oleh mereka itu rakyat yang bodoh, yang selalu nurut. Tapi, ketika dia melakukan praktik-praktik yang sudah melampaui batas seperti kemarin, melakukan pembangkangan terhadap konstitusi, rakyat akan melawan. Jadi, hati-hati dengan kekuatan rakyat.


Upaya seperti apa yang dilakukan koalisi rezim untuk menggerus suara PDI Perjuangan di daerah basis?


Contoh, misalkan, di Sumatera Utara ya. Itu (dukungan partai semuanya diborong). Oleh siapa? Oleh Bobby. Ya silakan. Tapi kami maju sendiri. Di Jawa Tengah itu kan skenario awalnya mau diborong Luthfi dan Kaesang. Bukan saya misalnya itu benci sama Jokowi, nggak. Saya dendam? Nggak, tetapi saya benci dengan kelakuannya, perilakunya, kebijakannya. Dia berusaha mengonsolidasi kekuasaan dengan cara merekayasa undang-undang. Itu sebetulnya nafsu.


Sama seperti kita waktu mengusir penjajah. Kita tidak benci sama orang Belanda, tapi kita benci dengan perilaku kolonial yang mengisap, menjajah, dan membodohi rakyat. Masak kita kembali lagi ke masa kolonial?


Kalau Jawa Timur seperti apa kondisinya?


Tinggal PKB sama PDIP. Yang lain sudah mengerucut (menjadi satu koalisi besar).


Akan koalisi dengan PKB di Jatim?


Kita lihat perkembangannya. Makanya PKB berani nggak? Atau PKB mau jalan sendiri, kami mau jalan sendiri. Tapi menurut hemat saya, lebih baik bergabung, sehingga menjadi satu kekuatan yang kuat.


Kita bukan melawan orang loh ya, no. Kita itu melawan satu nafsu, satu sistem yang secara sistematis merekayasa pemilu hanya menjadi proses demokrasi prosedural dengan mengabaikan peraturan perundang-undangan, dengan merekayasa hasil, serta dengan mengendalikan atau membikin penyelenggara pemilu itu tidak netral. Hati-hati loh. Sama seperti proses kemarin waktu pilpres.


Seberapa parah tindakan kecurangan yang didukung oleh aparatus negara pada pemilu kemarin?


Sangat brutal. Sangat-sangat brutal. Intimidasi kepala desa. Intimidasi siapa pun yang berbeda dengan menggunakan hukum. Hukum sebagai alat kekuasaan, bukan hukum sebagai sarana untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.


Sangat brutal. Terutama yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, terutama polisi. Itu terang-terangan terjadi. Termasuk kepada kader PDI Perjuangan. Siapa pun yang mengkritik akan selalu dicari-cari salahnya.


Bicara soal kecurangan dan calon boneka, bukannya PDI Perjuangan pernah menerapkan itu juga saat mengusung Gibran sebagai Wali Kota Solo?


Kalau di Solo, kita tahu sendiri sejarahnyalah. Itu Pak FX Rudi bisa cerita di situ ya. Bagaimana misalnya itu Jokowi yang berusaha memaksakan anaknya dan bagaimana kemudian dibikin calon boneka. Kami kan tidak ingin di Jakarta kayak begitu.


Waktu itu ada pergolakan di internal untuk menentang praktik tersebut?


Ya. Tapi kan kemauan dari Presiden. Jangan sampai ke Jakarta.


Sumber: DetikX

Penulis blog