Tololun Wal Goblogun: 'Era Jahiliyah Modern di Era Dunia Politik Jokowi'
Dalam sejarah umat manusia, era Jahiliyah merujuk pada masa sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW, di mana masyarakat hidup dalam kegelapan moral, ketidakadilan, dan kebodohan yang merajalela.
Namun, era tersebut sepertinya kembali hidup dalam balutan modernitas dan kemasan politik yang canggih.
Saya menyebutnya sebagai “Tololun Wal Goblogun,” istilah baru yang menggambarkan situasi kejahiliyahan yang sedang terjadi di negeri ini—situasi yang absurd, kacau, dan penuh dengan manipulasi yang tak bermoral.
Anies Baswedan: Sosok Pemimpin yang Dilumpuhkan
Anies Baswedan adalah sosok yang menonjol dalam dunia politik kita; seorang pemimpin dengan rekam jejak luar biasa, pendidikan tinggi, pengalaman memimpin kota terbesar di Indonesia dengan prestasi nyata, dan visi yang jelas untuk masa depan bangsa.
Sayangnya, Anies harus berhadapan dengan kekuatan besar partai politik yang lebih mementingkan kekuasaan daripada kebaikan untuk rakyat.
Ketika seorang tokoh sekelas Anies Baswedan, dengan segala kelebihannya, harus kandas hanya karena ambisi dan intrik kekuasaan, maka ini adalah potret nyata dari ‘Tololun Wal Goblogun’.
Dinasti Politik dan Ambisi Kekuasaan
Kejahiliyahan modern ini semakin nyata saat kita melihat bagaimana praktik politik dinasti terus berlangsung.
Pendaftaran calon gubernur dan wakil gubernur di Jawa Tengah yang diantar oleh Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Jokowi, adalah bukti nyata betapa kuatnya cengkeraman dinasti politik di Indonesia.
Gibran, yang belum lama terpilih sebagai Wakil Presiden, kini sibuk mengantar pasangan calon di tengah masyarakat yang belum reda kekecewaannya terhadap dinasti Jokowi.
Bahkan, gelombang penolakan terhadap dinasti politik melalui RUU Pilkada pun diabaikan, menunjukkan betapa buruknya kondisi politik kita.
Politik Kekuasaan di Atas Kepentingan Rakyat
Di balik senyum manis dan kata-kata bijak para elit politik, tersembunyi ambisi besar untuk mempertahankan kekuasaan.
Partai-partai yang seharusnya menjadi pilar demokrasi justru terjebak dalam permainan kotor dan keinginan untuk mendominasi.
Bahkan figur seperti Anies, yang seharusnya menjadi harapan baru, dipinggirkan oleh sistem yang korup dan lebih memilih calon-calon boneka yang mudah dikendalikan.
Inilah wajah lain dari “Tololun Wal Goblogun”—dimana akal sehat dikorbankan demi keuntungan segelintir orang.
Sebuah Refleksi: Adakah Harapan?
Kondisi ini mengingatkan kita pada era Jahiliyah pra-Nabi Muhammad SAW, di mana kekuasaan dipertahankan dengan cara-cara yang tidak bermoral, dan kebenaran diabaikan demi ambisi pribadi.
Hanya saja, sekarang semua itu terjadi dalam bentuk yang lebih modern—dihiasi dengan narasi canggih dan retorika politik yang memukau.
Namun, apakah harapan benar-benar hilang? Tidak sepenuhnya. Seperti pada era Jahiliyah dahulu, perubahan bisa datang dari suara-suara kecil yang berani melawan arus. Dari individu-individu yang tidak takut berdiri untuk kebenaran meski menghadapi risiko besar.
Inilah yang dibutuhkan saat ini: keberanian untuk bersuara, untuk melawan “Tololun Wal Goblogun” dengan kearifan dan keteguhan hati, sebagaimana diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Penutup
Era Jahiliyah modern ini mungkin tidak memiliki patung-patung berhala yang disembah, tetapi kita memiliki berhala baru: kekuasaan, uang, dan pengaruh.
Dan seperti dahulu, jalan keluar dari kegelapan ini adalah dengan berani menyalakan cahaya kebenaran dan keadilan.
Sebab, hanya dengan demikian, kita dapat keluar dari cengkeraman “Tololun Wal Goblogun” dan menuju masyarakat yang lebih adil dan bermartabat. ***