'Setelah Bahlil, Apa Kabar Partai Golkar ke Depan?'
Mundurnya Airlangga dan kemenangan Bahlil di Golkar banyak disebut sebagai peretasan jalan untuk memberikan Jokowi kuasa setelah lengser. Kedewasaan politik Indonesia dibuat mundur ke belakang.
Kalau semua hal di dunia ini kita ibaratkan manusia, sudah pasti ia akan mengalami masa-masa stabil, juga saat-saat kritis. Maka apalagi bagi partai politik yang usianya pada tahun ini akan mencapai 60 tahun.
Partai Golkar, salah satu partai politik terbesar dan tertua di Indonesia, jelas tengah berada dalam masa-masa kritis itu. Fenomena itu kian nyata setelah Bahlil Lahadalia secara mengejutkan diangkat menjadi ketua umum partai melalui aklamasi.
Banyak pihak bertanya-tanya tentang partai ini, juga nasibnya ke depan. Bukan sekadar urusan survivalnya menghadapi gelombang politik Indonesia yang umumnya bisa dilewati asal cukup berbekal oportunisme.
Namun lebih tentang perannya yang pernah besar dalam mendewa-sakan dan memodernkan politik Indonesia. Paling tidak, sejak Reformasi 1998.
Bagaimana bisa, partai yang dikenal dengan etos modernitas dan tradisi kuatnya dalam menjaga integritas internal itu kini begitu rentan terhadap pengambilalihan oleh—katakanlah--sosok eksternal? Bagaimana dinamika ini akan mempengaruhi Golkar ke depan?
Krisis Identitas
Golkar memiliki sejarah panjang sebagai partai yang dibangun di atas tradisi kaderisasi yang kuat. Tidak seperti partai lain yang seringkali bergantung pada dinasti keluarga, Golkar telah lama menolak kecenderungan semacam itu.
"Golkar adalah partai modern yang tidak mengenal dinasti politik," kata Akbar Tanjung, mantan ketua umum Partai Golkar, dalam sebuah wawancara. Pendekatan ini membuat Golkar dianggap sebagai partai dengan etos modern yang kuat, yang mampu bertahan melalui berbagai krisis politik, termasuk transisi besar pasca-Reformasi.
Makanya, ketika pada Minggu (11/8) lalu Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto menyatakan kepada publik bahwa ia mengundurkan diri dari jabatannya di Golkar, banyak orang terhenyak.
Benar, sebagai parpol Golkar pun bukan tanpa riak di dalam. Selama ini Airlangga dan Golkar sering diterpa embusan angin Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub).
Tapi angin yang berembus sejak 2023 itu hanya sepoi-sepoi, tak pernah membesar jadi topan. Kebanyakan orang Golkar seolah sudah kapok mengulang Munaslub 2016.
Saat itu Munaslub digelar akibat dualisme kepemimpinan dalam pengurusan, antara Aburizal Bakrie dan Agung Laksono, yang dimulai sejak akhir 2014, tahun ketika jago Partai Golkar kalah dalam Pilpres.
Sampai beberapa hari sebelum pengunduran diri, Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar, Luhut Binsar Pandjaitan, juga menepis peluang Munaslub.
Media massa pada Kamis (8/8/2024) itu ramau dengan berita Luhut yang mempertanyakan apa kesalahan Airlangga, hingga ada pihak yang mendorong Munaslub Partai Golkar.
"Apa yang salah dengan Ketua Umum Airlangga Hartarto? Saya di kabinet sama-sama dengan dia, dan dia melaksanakan tugasnya dengan baik,” kata Luhut saat itu. Luhut juga menyinggung Airlangga yang “mencapai prestasi cukup baik” dalam Pilpres dan Pileg 2024. Terakhir, saat itu Luhut meminta kader Partai Golkar jangan mau diintimidasi dan dipengaruhi pihak-pihak yang menginginkan Munaslub.
Gayung Luhut bersambut Airlangga sehari kemudian. “Tidak ada (Munaslub). Munas bulan Desember,” kata Airlangga, Jumat (9/8/2024), menegaskan.
Namun pada hari yang sama Airlangga diketahui melakukan pertemuan dengan Presiden Jokowi. Saat ditanya wartawan Menteri Koordinator Perekonomian itu menjawab singkat bahwa pertemuannya hanya berkisar “update ekonomi”.
Pada Sabtu (10/8/2024) berembus kabar bahwa Airlangga mengirimkan surat pengunduran diri sebagai ketum Golkar. Ahad, kembali, kita tahu Airlangga langsung mengatakan pengunduran dirinya kepada publik.
Alhasil, sejatinya sejak itu pun publik sudah melihat ada anomali yang terjadi di Golkar. Jadi, seiring berbagai rumors politik dan sekian banyak analisis, terpilihnya Bahlil menjadi ketua umum, sebenarnya tak lagi mengejutkan.
Dengan fenomena mundurnya Airlangga, ditambah terpilihnya Bahlil Lahadalia, modernitas dan—lebih jauh—intergritas Partai Golkar memang tengah diuji. Bagaimana pun Bahlil dikenal sebagai figur yang tidak aktif dalam struktur partai selama lebih dari satu dekade.
Berdasarkan lansiran Antara, pada 2009 Bahlil sempat memutuskan untuk meninggalkan dunia politik dan fokus sebagai pengusaha. Itu yang tampaknya membuat Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar (saat itu) Syamsul Hidayat, mengonfirmasi bahwa Bahlil sudah bukan lagi kader Partai Golkar. “Bahlil bukan lagi kader Golkar. Dan dia juga sudah mengakui tidak lagi menjadi bagian dari Partai Golkar sejak 10 tahun lalu,” kata Syamsul, sebagaimana dilansir Antara (24/7/2023). Saat itu Syamsul merespons Bahlil yang mengaku siap mencalonkan diri sebagai ketum Partai Golkar. “Masak bukan kader Golkar mengaku siap menjadi ketua umum. Malu dong,” kata Syamsul. “Kita juga sebagai kader tidak mau dipimpin sosok yang bukan berasal dari kader Golkar.”
Namun kita tahu, itu masa lalu. Setahun lebih sangat berarti bagi dunia politik, aalagi di negeri yang warganya seringkali menemukan pernyataan politisi yang “esuk dele, sore tempe—pagi kedelai, sore sudah jadi tempe.”
Tradisi Golkar yang biasanya memilih figur internal dengan rekam jejak panjang dalam partai, sama sekali tak terlihat di Munas kemarin. Wajar bila di sebagian publik masih bergantung banyak pertanyaan, terutama pertanyaan mendasar tentang integritas dan demokrasi internal di tubuh Golkar.
Mengapa Minim Perlawanan?
Pengangkatan Bahlil secara aklamasi juga tampak aneh, mengingat ada sejumlah tokoh senior Golkar yang semestinya memiliki pengaruh untuk menantang keputusan ini. Dari pemberitaan yang beredar, misalnya keberatan Jusuf Kalla, serta Yasril Ananta Baharuddin. Menariknya, sama seperti Bahlil, keduanya juga sama-sama dari Indonesia Timur. Bahkan dikorek lebih detil lagi, sama-sama berasal dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) saat muda.
Di lapangan, Ridwan Hisjam--satu-satunya pesaing dalam pemilihan di Munas-- tidak mampu menggalang dukungan signifikan. Meski sempat mencalonkan diri, Hisjam hanya mendapat sedikit suara, dan belakangan langsung tersingkir karena hanya memenuhi lima dari tujuh syarat yang harus ia penuhi.
Ini menunjukkan betapa lemahnya oposisi internal terhadap skenario apa pun yang tengah berlangsung di Golkar. Lalu, di mana peran tokoh-tokoh senior seperti Akbar Tanjung, Jusuf Kalla, dan Agus Gumiwang?
Banyak yang melihat situasi ini sebagai tanda "matinya etos perlawanan di tubuh Golkar"—sesuatu yang mestinya niscaya dalam tubuh organisasi. Tak sedikit pemerhati politik melihat, Golkar saat ini lebih diwarnai oleh pragmatisme dan oportunisme politik, di mana para elit lebih memilih bersikap pasif asalkan kepentingan mereka tetap terjaga. Ini sejalan dengan teori "Iron Law of Oligarchy" dari Robert Michels yang menyebutkan bahwa dalam setiap organisasi, termasuk partai politik, selalu ada kecenderungan menuju oligarki, di mana kekuasaan terpusat di tangan segelintir elit.
Yang jelas, pengunduran diri Airlangga ditambah pengangkatan Bahlil, membuat orang langsung melirik rumors politik yang lama beredar, yakni bahwa Jokowi—yang akan lengser Oktober nanti—memang sudah lama ingin,--saya memilih ber-eufimisme-- “bergabung” dengan Golkar.
Pemerhati politik Agung Baskoro dari Trias Politica, menyebut langkah itu adalah bagian dari strategi Jokowi untuk tetap memegang kendali politik pasca-lengser. "Jokowi berusaha menempatkan diri sebagai tokoh sentral di partai-partai besar, termasuk Golkar, sebagai persiapan untuk memainkan peran politik di masa depan," ujar Agung.
Langkah ini dinilai beberapa pengamat sebagai bentuk “cawe-cawe” (ikut campur) yang melampaui batas. Ujang Komarudin, pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, bahkan menyatakan bahwa jika Jokowi terus melakukan intervensi seperti ini, ia hanya akan menuai kemarahan publik. "Publik akan marah jika melihat partai-partai besar seperti Golkar dicengkeram oleh kekuasaan yang melampaui batas, dan ini bisa menjadi bumerang bagi Jokowi sendiri," kata Ujang.
Campur tangan Jokowi ini juga dikaitkan dengan potensi posisinya sebagai ketua Dewan Pembina di Golkar, setelah masa jabatannya berakhir. Posisi tersebut akan memberinya akses langsung untuk mengarahkan kebijakan partai dan memainkan pengaruh dalam politik nasional, sesuatu yang diinginkan Jokowi agar tetap relevan pasca-pemerintahan.
Pandangan Ujang selaras dengan pendapat peneliti politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Aisah Putri Budiarti. Menurut Aisah, ketika Bahlil sudah dipastikan menjadi ketua umum Golkar, itu sangat mungkin menjadi “pembuka jalan” Jokowi dan keluarganya masuk menjadi pengurus. Jokowi sendiri, kata Aisah, punya urgensi untuk mencari jaket partai demi memastikan keberlanjutan program-program, sekaligus memastikan stabilitas kepemimpinan putranya sebagai wakil presiden.
“Jokowi perlu jaket politik, bagaimana caranya bisa mempengaruhi kebijakan tanpa jaket politik di sistem multipartai ini?” kata Aisah.
Tidak hanya dari dalam negeri, media-media asing juga melihat hal yang sama. Channel News Asia (CNA), misalnya. Pada Rabu (21/8/2024) CNA menerbitkan berita dengan judul "Analysis: Jokowi's ally now lead Indonesia's Golkar party. How may this benefit the outgoing president?".
Dalam artikel itu, CNA mengutip para analis yang menilai pemilihan Bahlil itu sebagai salah satu upaya Presiden Jokowi agar bisa mempertahankan pengaruh politiknya setelah jabatannya berakhir. Peran Bahlil sebagai ketum Golkar, kata CNA, diyakini akan membuka kesempatan bagi Jokowi untuk menduduki posisi ketua dewan penasihat partai setelah lengser dari jabatan presiden.
Demikian pula Reuters. Media berbasis di Inggris itu menyoroti pengangkatan Bahlil, dengan menyebutnya sebagai sosok loyalis Jokowi. Rabu lalu, Reuters muncul dengan artikel berjudul, "Indonesia's Golkar party picks influental Jokowi's top loyalist as leader".
Namun respons Jokowi woles-woles aja tuh. Sejak awal kabar itu berembus, Jokowi selalu membantahnya. "Tidak ada (scenario semacam itu)," kata Jokowi saat memberikan keterangan pers di Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur, Selasa (13/08).
Sementara dari Bahlil, kita tak bisa mengambil konklusi tegas. Di arena Munas XI Partai Golkar, ia pernah menegaskan tak berencana untuk menjadikan Presiden (Jokowi) sebagai ketua Dewan Pembina Partai Golkar. "Jadi, nggak ada sampai urusan Pak Presiden Jokowi mau jadi ketua Dewan Pembina. Itu sampai hari ini nggak ada. Saya sudah diskusi, kok, nggak ada," kata Bahlil saat konferensi pers Munas XI di Jakarta Convention Center, Jakarta, Rabu (21/8).
Namun ia pun menyatakan tak menutup kemungkinan itu. Menurutnya, di negara demokrasi ini, siapa saja berhak untuk berdoa. "Kalau doanya diijabah Allah, kalau jadi, ah paten barang itu kan," kata Bahlil.
Jadi Sekadar Alat Politik?
Partai Golkar pernah menjadi contoh sukses sebuah partai modern yang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan tanpa kehilangan identitasnya. Dalam buku “The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi” (2007), mantan Ketua Umum Partai Golkar, Akbar Tanjung, menjelaskan bahwa Golkar mampu bertahan karena mengandalkan tiga pilar utama: kemampuan finansial yang kuat, sumber daya manusia yang berpengalaman, dan jaringan kekuasaan eksekutif serta legislatif.
Namun, dominasi over-pragmatisme yang melanda Golkar saat ini, telah membawa partai ke arah yang berbeda. "Golkar tidak lagi menjaga jati dirinya sebagai partai dengan mekanisme demokrasi internal yang kuat," kata seorang pengamat politik, meminta anonimitas. “Pembajakan” oleh kekuatan eksternal, seperti yang terjadi dengan terpilihnya Bahlil, menggerus esensi Golkar sebagai partai yang independen.
Pragmatisme dan oportunisme politik ini tidak hanya menodai integritas partai, tetapi juga menimbulkan krisis identitas yang serius. Jika Golkar terus berada di bawah kendali figur luar yang tidak memiliki keterikatan ideologis dengan partai, partai berisiko kehilangan fondasinya sebagai kekuatan politik yang memiliki nilai-nilai. Sangat mungkin, bagi mereka yang tidak memiliki komitmen ideologis, Golkar hanya akan menjadi alat politik. Alhasil, itulah tanda kehancuran sebuah partai modern yang juga punya beban amanah aspirasi rakyat.
Terpilihnya Bahlil memang mau tak mau menyeruakkan perspektif baru dalam poltik. Di satu sisi, Bahlil bisa dianggap sebagai tokoh segar yang membawa perspektif baru. Ia datang dari seseorang yang ‘bukan siapa-siapa”, dan tak memiliki garis geneologis parpol. Tidak seperti—kalau di Golkar—Agus Gumiwang Kartasasmita, misalnya. Namun di sisi lain, minimnya perlawanan internal menunjukkan adanya krisis dalam partai. Terlihat bahwa Golkar saat ini lebih didominasi kepentingan elit yang pragmatis daripada kesiapan menjaga integritas nilai-nilai partai.
Namun dari perspektif pragmatis, Golkar mungkin tetap bisa berjalan lancar dalam kontestasi politik ke depan. Indonesia. Apalagi dengan masyarakat yang cenderung menerima berbagai manuver politik tanpa banyak perlawanan. Itu memungkinkan Golkar tetap eksis meskipun, katakanlah, terjadi pembajakan dari luar. Kita tahu, Indonesia adalah negara di mana masyarakatnya bisa menerima apa pun, bahkan perubahan besar dalam partai, tanpa banyak perlawanan dari publik.
Meski demikian, dari sisi idealisme dan teori partai politik modern, kondisi ini merupakan kemunduran besar. Teori-teori politik klasik menekankan pentingnya mekanisme demokrasi internal, integritas ideologi, dan keterlibatan aktif kader dalam menentukan arah partai. Jika semua ini diabaikan demi kepentingan pragmatis, maka masa depan Golkar sebagai partai modern dan mandiri, juga Indonesia secara keseluruhan, akan semakin suram.
Partai politik seharusnya menjadi pilar demokrasi, bukan justru menjadi alat bagi kepentingan pribadi dan kekuasaan. Merujuk Maurice Duverger dan Giovanni Sartori, partai politik seharusnya menjaga mekanisme demokrasi internal yang solid agar tetap relevan dan berfungsi sesuai dengan tujuannya.
Apa yang terjadi di Golkar—partai modern yang selama ini sering jadi tumpuan asa publik-- menunjukkan bahwa sistem kepartaian di Indonesia masih jauh dari harapan. Masuknya figur luar yang tidak--setidaknya kurang-- memiliki ikatan kuat dengan partai, serta dominasi kekuatan eksternal, menunjukkan bahwa partai politik di Indonesia sangat rentan terhadap manipulasi dan pembajakan. Dan mereka—juga rakyat, pemilik partai—tak mampu melakukan respons apa pun selain diam.
Sumber: INILAH