EKBIS POLITIK

'Rakyat Indonesia Belum Merdeka, Tiap Bayi Lahir Dibebani Utang Rp30 Juta!'

DEMOCRAZY.ID
Agustus 17, 2024
0 Komentar
Beranda
EKBIS
POLITIK
'Rakyat Indonesia Belum Merdeka, Tiap Bayi Lahir Dibebani Utang Rp30 Juta!'


'Rakyat Indonesia Belum Merdeka, Tiap Bayi Lahir Dibebani Utang Rp30 Juta!'


Peringatan HUT Kemerdekaan ke-79 RI menjadi tak bermakna, manakala rakyat Indonesia belum merdeka secara finansial. Semua gara-gara beban utang 10 tahun pemerintahan Jokowi, menggunung hingga Rp8.500 triliun.


Dengan asumsi jumlah penduduk Indonesia sebanyak 281, 6 juta, sesuai proyeksi penduduk Indonesia 2020-2050 Hasil Sensus Penduduk 2020, maka tiap penduduk Indonesia termasuk bayi yang baru lahir, menanggung utang Rp30 juta.


Artinya, itu tadi. Rakyat Indonesia belum merdeka secara keuangan. Karena menanggung beban utang yang cukup besar. Semua karena 10 tahun ugal-ugalan menumpuk utang.


Dua periode Jokowi memimpin Indonesia, pertumbuhan utang sekitar Rp6.000 triliun. Di mana, data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), utang pemerintah per Juli 2024 mencapai Rp8.502,69 triliun.


Atau bertambah Rp57,82 triliun ketimbang utang Juni 2024 sebesar Rp8.444,87 triliun. Capaian Juni itu setara 40 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).


Bandingkan saat Jokowi dilantik pada 20 Oktober 2014, warisan utang dari pemerintahan SBY sebesar Rp2.601,72 triliun. Atau setara 26,5 persen dari PDB.


Terjadi penambahan utang Rp5.899 triliun atau melesat 226 persen dalam 10 tahun pemerintahan Jokowi.


Mardigu Wowiek Prasantyo atau Bossman ‘Sontoloyo’ Mardigu, seorang pengusaha sekaligus YouTuber kondang, mencoba menghitung utang pemerintah di era reformasi.


Mau tahu hasilnya? Utang di era Presiden Jokowi adalah yang terbesar. Diperkirakan, Jokowi menciptakan utang 6 kali era SBY yang sama-sama memerintah 2 periode. Dan hampir 20 kali lipat dari pemerintahan Gus Dur serta Megawati yang sama-sama tak genap 5 tahun berkuasa.


Lonjakan utang terbesar di era Jokowi terjadi pada 2020, ketika muncul pandemi COVID-19. Dalam setahun itu, utang bertambah Rp1.383 triliun.


Lumpuhnya aktivitas ekonomi membuat pemerintah tak punya pilihan. Berbagai program bantuan sosial (bansos) yang menyedot APBN dalam jumlah besar, digencarkan. Demi menghidupkan perekonomian.


Selain itu, porsi utang di era Jokowi didominasi Surat Berharga Negara (SBN). Bisa jadi karena cost of fund-nya rendah dan mudah prosesnya, dibandingkan bentuk pembiayaan utang lainnya.


Meski cost of fund dari SBN lebih murah ketimbang utang jangka menengah atau panjang, namun, risikonya cukup tinggi.


Hal ini dikarenakan tingkat bunga yang dikenakan kepada SBN sangat tergantung pada aliran capital outflow dan capital inflow.


Semakin tinggi capital outflow, maka suku bunga SBN akan semakin tinggi sebagai daya tarik investor untuk tetap membeli SBN, begitu juga sebaliknya.


Untuk meminimalkan risiko terhadap fluktuasi nilai tukar dan mengoptimalkan sumberdaya domestik, utang Pemerintah khususnya SBN didominasi oleh rupiah yang saat ini berkontribusi 82 persen dibandingkan valas yang bertengger di kisaran 18 persen.


Mimpi Pertumbuhan Ekonomi 7 Persen


Tak adil jika rezim Jokowi disorot karena hobinya menumpuk utang. Betul, utang itu bisa bertujuan baik. Untuk membiayai pembangunan, berujung kepada bertumbuhnya ekonomi. Sehingga rakyat semakin sejahtera.


Ingat sebelum Jokowi jadi presiden? Dia kampanyekan pertumbuhan Konomi 7 persen. Nyatanya tidak terwujud sama sekali.


Tahun ini, yang menjadi tahun terakhir bagi rezim Jokowi, angka pertumbuhan ekonomi dipatok target 5,2 persen. Naga-naganya bakal kandas.


Paruh pertama 2024, angkanya 5,08 persen. Artinya, pertumbuhan ekonomi di paruh kedua minimal harus 5,32 persen. Bukan perkara mudah mewujudkannya.  




Sejatinya, capaian pertumbuhan ekonomi 5 persen ini, tak layak disebut prestasi. Karena, fondasi ekonomi Indonesia sebenarnya kuat. Istilahnya, ditinggal tidur saja, ekonomi Indonesia tumbuh 5 persen.


Hanya saja, tingkat kemiskinan di negeri yang gemah ripah loh jinawi ini, masih menjadi masalah besar. Meski turun dari 28,2 juta jiwa (2014), menjadi 25,2 juta jiwa (2024).


Atau tiap tahun berkurang hanya 500 ribu orang. Sangat jauh ketimbang total penduduk Indonesia yang lebih dari 281 juta jiwa.


Tingkat pengangguran terbuka pun masih cukup tinggi. Per Februari 2024, tingkat pengangguran terbuka (TPT) masih 4,82% dengan jumlah pengangguran 7,2 juta orang.


Jumlah itu tak berubah dibandingkan masa awal pemerintahan Jokowi dengan persentase TPT sebesar 5,7% dan jumlah pengangguran 7,2 juta.


Data itu termasuk pekerja informal yang mendominasi lapangan kerja di Indonesia. Serta maraknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akhir-akhir ini.


Ekonom Kerakyatan dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin menilai, pertumbuhan ekonomi era Jokowi terlalu bertumpu pada utang.


Dalam 10 tahun pemerintahan Jokowi, utang melonjak dari yang sebelumnya Rp2.608 triliun pada 2014, menjadi Rp 8.338,43 pada April 2024.


Dia mengatakan, pemerintah menggunakan utang untuk menopang konsumsi masyarakat melalui bantuan sosial dan juga subsidi. Tercatat, jumlah anggaran untuk perlindungan sosial selalu naik dari tahun ke tahun.


Pada 2024, jumlah anggaran yang disediakan pemerintah untuk perlinsos mencapai Rp 496 triliun yang bahkan lebih besar dari masa pandemi COVID-19.


Infrastruktur Vs Biaya Logistik


Tapi sayang, Jokowi gencar membangun infrastruktur namun gagal mendongkrak perekonomian. Selama 10 tahun, pertumbuhan ekonomi hanya berkutat di angka 5 persen.


Padahal, Jokowi telah berhasil membangun 2.143 kilometer jalan tol, 295 Pelabuhan dan 229 bendungan. Tak berhenti di situ, Jokowi juga proaktif membangun moda transportasi berbasiskan kereta, mulai MRT Jakarta, LRT Jabodebek, LRT Palembang hingga kereta cepat Whoosh.


Pokoknya, Jokowi ingin infrastruktur Indonesia bisa mengalahkan negeri tetangga. Dengan segala cara, kalau harus menambah utang, tidak masalah.


Berdasarkan dokumen Rencana Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024, kebutuhan belanja infrastruktur mencapai Rp6.445 triliun, sementara RPJMN 2015-2019 diteapkan Rp4.796,2 triliun.


Kalau ditotal lebih dari Rp11 triliun. Intinya, infrastruktur adalah primadonanya Jokowi. Harapannya, infrastruktur mumpuni akan membuka sentra ekonomi baru di daerah serta menurunkan biaya logistik untuk meningkatkan daya saing produk lokal.


Kedua tujuan mulia itu menemui jalan gatot alias gagal total. Pertumbuhan ekonomi hanya mangkrak di 5 persen, biaya logistik pun masih dikeluhkan pengusaha.Jelas karena masih mahal.


Apakah jor-joran membangun infrastruktur berdampak kepada turunnya biaya logistik


Wakil Ketua Bidang infrastruktur Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Andre Rahardian menyebut, proyek infrastruktur yang masif digarap Jokowi dalam 10 tahun, belum memberikan dampak besar terhadap biaya logistik.


Hal ini terjadi karena belum adanya sikronisasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam pembangunan infrastruktur.


Contohnya, jalan tol yang dibangun Kementerian PUPR ternyata tidak didukung oleh infrastruktur menuju ke sentra-sentra perekonomian.


“Mau masuk dan keluar tol jalannya sempit atau masih rusak, sehingga tetap saja kena macet. Kemudian pintu keluar tolnya melewati kawasan industri," kata Andre.


Mau tak mau, perjalanan menuju pelabuhan harus memutar setelah keluar tol. Dampakna, biaya logistik menjadi sangat tinggi dan tidak efisien


Hal ini, katanya, tentu saja tidak sesuai dengan target dari Presiden Jokowi untuk menurunkan ongkos logistik di Indonesia makin murah. Sehingga ke depannya Indonesia mempunyai indeks daya saing ekonomi yang lebih baik.


Ekonom Senior, Wijayanto Samirin mengatakanan, pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur, cukup besar. Namun, karena kurang perencanaan gagal menekan ongkos logistik di Indonesia.


"Dikatakan utang untuk infrastruktur, betul dibangun tapi apakah logistic cost itu makin turun? Apakah ekonomi kita semakin efisien? Jawabannya tidak, logistic cost makin tinggi," kata dia.


Saat ini, biaya logistik di Indonesia masih sedikit lebih tinggi dibanding negara-negara lain. Beda dengan 10 tahun lalu, biaya logistik RI mencapai 24 persen terhadap PDB. Kini bisa ditekan menjadi 14 persen aja.


Sementara itu, negara lain sudah di level 9-12 persen. Ke depannya, pemerintah menargetkan biaya logistik nasional akan menyusut. Hingga menjadi 8 persen dari PDB pada 2045. Masih lama.


Sumber: INILAH

Penulis blog