DEMOCRAZY.ID - Berdasarkan catatan sejarah di Indonesia ada Kisah seorang Raja Jawa Bernama Amangkurat I adalah pengingat bagi kita semua tentang bahaya kekuasaan yang absolut dan ambisi yang tak terkendali.
Seorang pemimpin yang baik seharusnya mengutamakan kesejahteraan rakyatnya, bukan mengejar kepentingan pribadi atau mempertahankan kekuasaan dengan cara-cara yang tidak manusiawi.
Amangkurat I (1618/1619 – 13 Juli 1677) adalah penguasa Mataram keempat dengan gelar susuhunan yang memerintah dari 1646 hingga meninggal di tahun 1677.
Pada masa pemerintahannya, ia harus menghadapi beberapa kali percobaan penggulingan kekuasaan dan Pemberontakan Trunajaya akibat kebijakannya yang banyak menyebabkan ketidakpuasan di internal kerajaan.
Pemberontakan Trunajaya yang sukses menduduki Keraton Plered memaksa Amangkurat I melarikan diri untuk meminta perlindungan VOC, namun ia meninggal dunia ketika sedang dalam perjalanan. Raden Mas Rahmat, putranya, kemudian naik takhta menggantikannya.
Sunan Amangkurat I atau Sunan Tegalarum lahir pada 1618 atau 1619 dengan nama kecil Raden Mas Sayyidin. Ia adalah putra dari Sultan Agung dan cicit dari Panembahan Senapati.
Semasa menjadi putra mahkota, ia tersandung skandal perselingkuhan dengan istri seorang abdi dalem senior, Tumenggung Wiraguna, pada tahun 1637. Adiknya, Pangeran Alit, mendukung Wiraguna dalam kasus tersebut.
Pada 1645, ia diangkat sebagai raja Mataram menggantikan ayahnya yang bergelar Susuhunan ing Ngalaga.
Setelah penobatannya pada tahun 1646, ia bergelar Susuhunan Prabu Amangkurat Agung, disingkat Amangkurat.
Dalam bahasa Jawa, kata Amangku berarti "memangku" dan Rat berarti "bumi". Dengan demikian, gelar Amangkurat berarti "memangku bumi" atau makna harfiahnya "memerintah suatu negara".
Ia kemudian menjadi raja yang memiliki kekuasaan penuh atas seluruh Kesultanan Mataram dan negara bawahannya. Pada penobatannya, semua anggota keluarga kerajaan bersumpah setia kepadanya.
Amangkurat I mendapat warisan ayahnya berupa wilayah Mataram yang sangat luas. Dalam hal ini, ia menerapkan sentralisasi.
Setelah naik takhta, ia mencoba untuk membawa stabilitas jangka panjang di pulau Jawa yang luasnya cukup luas tetapi dirusak oleh pemberontakan yang terus-menerus.
Untuk memajukan kejayaannya kembali, raja baru meninggalkan istana di Keraton Karta dan pindah ke istana baru di Keraton Plered. Amangkurat I menetap di sana hingga setidaknya pada tahun 1666.
Di bawah naungan langit Mataram yang agung, terukir kisah seorang raja yang namanya terpatri dalam sejarah dengan tinta darah dan air mata.
Amangkurat I, penguasa yang bertahta di atas singgasana Kesultanan Mataram, dikenal sebagai sosok yang paling kejam dan kontroversial yang pernah memimpin kerajaan tersebut.
Di balik kemegahan istana dan gelar kebesarannya, tersembunyi sisi gelap yang dipenuhi oleh ambisi tak terkendali, paranoia, dan tindakan-tindakan brutal yang tak terbayangkan.
Amangkurat I, yang bernama asli Raden Mas Sayidin, naik tahta pada tahun 1646 setelah kematian ayahnya, Sultan Agung. Di awal pemerintahannya, ia menunjukkan potensi sebagai pemimpin yang bijaksana dan cakap.
Namun, seiring berjalannya waktu, ambisi dan ketakutan akan kehilangan kekuasaan mulai menggerogoti nuraninya.
Ia menjadi paranoid dan curiga terhadap siapa pun yang dianggapnya sebagai ancaman, termasuk saudara-saudaranya sendiri dan para ulama yang berpengaruh.
Salah satu tindakan paling kejam yang dilakukan Amangkurat I adalah pembunuhan terhadap adiknya sendiri, Pangeran Alit, yang dituduh berkomplot untuk menggulingkannya.
Pangeran Alit, yang dikenal sebagai sosok yang saleh dan dicintai rakyat, dieksekusi dengan cara yang sangat brutal.
Peristiwa ini menandai awal dari serangkaian tindakan kejam yang akan dilakukan Amangkurat I selama masa pemerintahannya. Cuma demi langgengkan kekuasaannya.
Pembantaian Para Ulama
Puncak kekejaman Amangkurat I terjadi pada tahun 1648, ketika ia memerintahkan pembantaian massal terhadap ribuan ulama yang dituduh melakukan pemberontakan.
Para ulama, yang selama ini menjadi penasihat spiritual dan pembimbing moral bagi masyarakat, dibunuh dengan cara yang sangat sadis.
Peristiwa ini dikenal sebagai "Geger Pecinan" karena banyak ulama yang dibantai di daerah Pecinan, Batavia.
Pembantaian ini meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat Mataram dan mencoreng nama Amangkurat I sebagai seorang raja yang zalim.
Ketakutan dan Teror
Pemerintahan Amangkurat I diwarnai oleh suasana ketakutan dan teror. Rakyat hidup dalam bayang-bayang kekejaman sang raja, tidak berani mengkritik atau menentang kebijakannya.
Siapa pun yang dianggap tidak setia atau membangkang akan dihukum berat, bahkan dihukum mati. Amangkurat I membangun sistem mata-mata yang luas untuk mengawasi setiap gerak-gerik rakyatnya.
Ia juga membangun penjara bawah tanah yang mengerikan, tempat para tahanan politik disiksa dan dibiarkan mati perlahan-lahan.
Pembangunan Megah di Tengah Penderitaan
Meskipun dikenal sebagai raja yang kejam, Amangkurat I juga melakukan beberapa pembangunan megah di Mataram. Ia membangun istana baru yang megah di Plered, yang dikenal sebagai "Istana Plered".
Ia juga membangun masjid agung dan memperbaiki sistem irigasi untuk meningkatkan produksi pertanian. Namun, pembangunan-pembangunan ini dilakukan dengan mengorbankan rakyatnya.
Rakyat dipaksa bekerja keras tanpa upah yang layak, sementara sang raja hidup dalam kemewahan dan kelimpahan.
Pemerintahan Amangkurat I berakhir dengan tragis pada tahun 1677. Ia meninggal dunia karena sakit keras, meninggalkan warisan kelam bagi Kesultanan Mataram.
Kematiannya disambut dengan kelegaan oleh rakyatnya, yang akhirnya terbebas dari belenggu ketakutan dan teror.
Namun, luka yang ditinggalkannya tidak mudah hilang. Nama Amangkurat I tetap terpatri dalam sejarah sebagai simbol kekejaman dan kesewenang-wenangan seorang penguasa.
Sumber: HarianHaluan