'Raja Jawa Bahlil Memicu Perpecahan Anak Bangsa'
Makassar, yang terkenal dengan keragaman budaya dan semangatnya, baru-baru ini menjadi sorotan ketika sebuah spanduk bertuliskan “Makassar Tidak Tunduk Pada Raja Jawa” muncul di Fly Over Pettarani.
Spanduk ini bukan hanya sebuah bentuk protes, melainkan juga sebuah reaksi kuat terhadap pernyataan Bahlil Lahadalia, seorang tokoh politik yang kini dijuluki “Raja Jawa.”
Pernyataan tersebut dianggap menyinggung dan berpotensi memecah belah persatuan bangsa Indonesia.
Sejarah panjang Indonesia menunjukkan bahwa keragaman suku dan budaya sering kali menghadapi tantangan besar dalam usaha menyatukan bangsa.
Narasi yang eksklusif dan sektarian telah menjadi penghalang utama dalam upaya tersebut.
Sebutan “Raja Jawa” yang disematkan kepada Bahlil menambah kompleksitas situasi politik saat ini, di mana sentimen antardaerah semakin menonjol dan berpotensi memicu ketegangan yang lebih besar.
Dalam konteks ini, sebutan “Raja Jawa” tidak hanya mencerminkan resistensi terhadap dominasi Jawa dalam panggung politik nasional, tetapi juga membuka luka lama yang belum sepenuhnya sembuh sejak era sentralisasi kekuasaan.
Ketidakpuasan yang berkembang di luar Pulau Jawa terhadap pusat kekuasaan seringkali memicu ketegangan regional yang mendalam.
Dengan kata lain, pernyataan Bahlil memperdalam jurang perpecahan yang ada dan menghidupkan kembali isu-isu kedaerahan yang sensitif.
Sebagai tokoh dengan pengaruh yang signifikan dalam pemerintahan, Bahlil Lahadalia seharusnya lebih berhati-hati dalam memilih kata-kata dan pernyataan publiknya.
Retorika yang tidak sensitif terhadap keberagaman dan potensi dampaknya terhadap stabilitas sosial dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin memperburuk ketegangan untuk kepentingan politik mereka sendiri.
Hal ini dapat memperbesar keretakan yang sudah ada dan menciptakan ketidakstabilan yang lebih luas.
Penting untuk diingat bahwa Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan keberagaman.
Dalam menghadapi isu-isu kedaerahan dan sentimen lokal, para pemimpin dan tokoh masyarakat harus dapat menunjukkan kepedulian dan tanggung jawab terhadap persatuan bangsa.
Retorika yang divisif hanya akan merugikan semua pihak dan memperburuk kondisi sosial yang sudah rapuh.
Oleh karena itu, upaya untuk membangun dialog yang konstruktif dan menjembatani perbedaan adalah langkah yang lebih baik daripada memperburuk perpecahan dengan isu-isu kedaerahan.
Sumber: FusilatNews