CATATAN HUKUM POLITIK

'Putusan MK Untungkan Gibran Diikuti, Yang Rugikan Kaesang Diakali'

DEMOCRAZY.ID
Agustus 22, 2024
0 Komentar
Beranda
CATATAN
HUKUM
POLITIK
'Putusan MK Untungkan Gibran Diikuti, Yang Rugikan Kaesang Diakali'


'Putusan MK Untungkan Gibran Diikuti, Yang Rugikan Kaesang Diakali'


Alasan-alasan hukum yang masuk akal dan selayaknya lazim diterapkan agaknya sudah tidak relevan lagi buat parlemen yang pandai bersiasat dan akal-akalan.


Para wakil rakyat lagi-lagi mempertontonkan itu ketika mengubah 180 derajat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang semestinya berlaku final dan mengikat sesuai perintah Undang-Undang Dasar 1945.


Pada Rabu (21/8/2024), Badan Legislasi (Baleg) DPR RI merevisi UU Pilkada dan "menganulir" putusan-putusan progresif MK terkait UU yang sama sehari sebelumnya, karena merugikan kepentingan mereka.


"Kami tidak punya kewenangan memeriksa Baleg DPR, tapi cara ini, buat saya pribadi, ini adalah pembangkangan secara telanjang terhadap putusan pengadilan, dalam hal ini MK yang tidak lain adalah lembaga negara yang oleh Konstitusi ditugasi untuk mengawal UUD 1945," kata eks hakim MK 2 periode, I Dewa Gede Palguna, yang kini mengetuai Majelis Kehormatan MK, Rabu (21/8/2024).


Semua ini melibatkan orang-orang yang sama, juga partai-partai yang nyaris sama: partai-partai di dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM), sekoci Presiden Joko Widodo setelah pisah ranjang dengan PDI-P.


Mengapa DPR dan Pemerintah Melawan Putusan MK Terkait Pilkada?


Semua tahu, MK pernah terlibat skandal putusan kontroversial soal syarat usia minimum capres-cawapres pada 16 Oktober 2023.


Dalam Putusan 90/PUU-XXI/2023 itu, MK secara janggal mengabulkan gugatan yang tidak pernah disidangkan dan baru saja didaftarkan ke MK dalam tempo 2 pekan sebelumnya.


Putusan itu pun bersifat ultra petita--MK merumuskan sendiri pelonggaran usia capres-cawapres dengan klausul "pernah menjadi pejabat hasil pemilu".


Putusan ini membukakan pintu untuk putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming, maju sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto berbekal pengalamannya sebagai Wali Kota Solo meski belum genap 40 tahun.


Ketika itu, DPR anteng-anteng saja meskipun kejanggalan putusan itu berserakan di depan mata.


Beberapa hakim MK yang tak setuju mengungkap soal siasat mengulur-ulur sidang, soal keterlibatan mendadak Ketua MK cum ipar Jokowi Anwar Usman mengurus gugatan usia cawapres di hari libur.


Putusan MKMK juga mengungkap ada upaya membuka diri dari Anwar terhadap intervensi eksternal. Namun, partai politik KIM bergeming. Diam.


Proses pencalonan Gibran pun melenggang begitu saja di KPU tanpa perlu revisi UU Pemilu.


Sebab, apa boleh buat, seperti kata UUD 1945, putusan MK memang sudah dengan sendirinya berlaku final dan mengikat sehingga tak dapat ditelikung dengan revisi UU Pemilu. Suka atau tidak suka.


KIM panen raya--menang satu putaran di Pilpres 2024--berbekal skandal yang terbukti memaksa Anwar harus melepas jabatannya karena pelanggaran etika berat pada putusan tersebut.


Rugikan Kaesang, putusan MK diakali


Namun, ternyata logika hukum bisa dibuat begitu cair mengikuti dinamika politik.


Padahal, jika konsisten dengan prinsip "final dan mengikat" putusan MK, partai-partai KIM yang tergabung di DPR seharusnya menghormati Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024.


Apa daya, putusan itu menegaskan bahwa titik hitung usia minimal calon kepala daerah 30 tahun harus diambil sejak penetapan pasangan calon oleh KPU.


Ini merugikan putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, yang telah memperoleh lampu hijau dari KIM untuk maju sebagai cawagub Jawa Tengah bersama pensiunan polisi Ahmad Luthfi.


Pasalnya, menggunakan putusan MK, Kaesang tidak memenuhi syarat maju Pilkada 2024 karena masih berusia 29 tahun pada saat penetapan calon dilakukan KPU pada 22 September 2024 mendatang.


KIM yang kini ditopang juga oleh Partai Nasdem, PKS, PKB, dan PPP akhirnya mengangkangi putusan MK dan mengakomodasi putusan Mahkamah Agung (MA) dalam revisi syarat usia calon pada UU Pilkada.


Dengan putusan MA, Kaesang legal untuk maju pilkada karena usia calon dihitung sejak tanggal pelantikan kepala daerah terpilih yang hampir pasti dilakukan pada 2025, usai ulang tahunnya ke-30 pada 25 Desember 2024 kelak.


Ini ironis karena secara hirarkis, putusan MK yang menguji UU Pilkada terhadap UUD 1945 jelas lebih tinggi dibandingkan putusan MA yang menguji peraturan KPU (PKPU) terhadap UU Pilkada.


Keputusan Baleg DPR RI untuk mengikuti putusan MA bahkan diambil hanya dalam hitungan menit, tanpa  keragaman argumentasi dari partai politik yang jumlahnya beragam dan warna jaketnya bermacam-macam.


Tak ada bedanya dengan putusan MA itu sendiri yang diteken secara kilat oleh para hakim agung: hanya 3 hari. Juga nyaris persis dengan skandal Putusan MK yang diputus secara instan buat menguntungkan Gibran.


Bola panas di KPU


MK agaknya telah membaca kemungkinan politikus Senayan akan berakrobat dengan logika yang dapat membuat para begawan ilmu hukum terkesima.


Dalam Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 soal usia calon kepala daerah itu, Wakil Ketua MK Saldi Isra menjelaskan, calon kepala daerah yang diproses tidak sesuai dengan putusan MK berpotensi didiskualifikasi ketika digugat ke MK sebagai lembaga pengadilan sengketa pilkada.


"Sesuai dengan prinsip erga omnes, pertimbangan hukum dan pemaknaan Mahkamah terhadap norma Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016 (tentang Pilkada) mengikat semua penyelenggara, kontestan pemilihan, dan semua warga negara," kata Saldi.


"Dengan demikian, jika penyelenggara tidak mengikuti pertimbangan dalam putusan Mahkamah a quo, sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang berwenang menyelesaikan sengketa hasil pemilihan, calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang tidak memenuhi syarat dan kondisi dimaksud, berpotensi untuk dinyatakan tidak sah oleh Mahkamah," tegas dia.


Kini, bola panas ada di tangan KPU sebagai regulator teknis yang akan memproses seluruh pencalonan kepala daerah.


Kini tinggal KPU memilih, mengikuti putusan MK sebagaimana mereka lakukan saat meloloskan Gibran sebagai cawapres 2024, atau membebek DPR.


Pakar hukum tata negara,Bivitri Susanti menjelaskan, KPU sebagai lembaga pelaksana undang-undang bukan berarti harus membebek pada DPR, terlebih putusan MK lebih tinggi sifatnya karena menguji undang-undang terhadap UUD 1945.


"Betul dia harus mengikuti undang-undang dan mengikuti undang-undang juga berarti mengikuti putusan MK. Langsung saja bikin peraturan KPU yang secara teknis mengatur (perubahan aturan teknis karena penyesuaian putusan MK)," kata Bivitri kepada Kompas.com pada Rabu (21/8/2024).


"Di sini lah letak kita bisa mengukur apakah KPU ikut menjadi pembangkang konstitusi atau penjaga konstitusi," ujar Pendiri Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera itu.


Sumber: Kompas

Penulis blog