'Panas NU vs PKB: Siapa Pandawa Siapa Kurawa?'
Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Analis Politik Konsultan dan Survei Indonesia (KSI)
Dalam epos Mahabharata, dikutip dari sejumlah sumber, silsilah Pandawa dan Kurawa bermula dari Prabu Nahusta. Keturunan ke-8 Prabu Nahusta adalah Prabu Sentanu.
Prabu Sentanu menikah dengan Dewi Durgandini, melahirkan 2 anak laki-laki, yakni Citrawiria dan Citragada.
Citrawiria menikah dengan Dewi Ambika, tetapi tidak dikaruniai anak. Maka Dewi Ambika kemudian menikah dengan Begawan Abiyasa (anak Dewi Durgandini dengan Begawan Parasara). Pernikahan ini melahirkan seorang anak, yakni Drestrarasta.
Sementara itu, Citragada menikah dengan Dewi Ambiki, juga tidak punya anak. Maka Dewi Ambiki pun menikah dengan Begawan Abiyasa alias berpoligami. Dari pernikahan ini lahirlah Pandu Dewanata.
Drestarasta yang tunanetra, dari istrinya Dewi Gendari, yang kelopak matanya sengaja ditutupi sebagai bentuk solidaritas kepada suaminya, melahirkan 100 orang anak yang kemudian disebut Kurawa.
Pandu juga berpoligami. Dari istri pertamanya, Dewi Kunthi lahirlah tiga orang anak, yakni Puntadewa atau Yudhistira, Wrekudara atau Bima, dan Arjuna atau Janaka.
Sementara dari istri keduanya, Dewi Madrim, lahirlah dua anak kembar, yakni Nakula dan Sadewa. Kelima anak Pandu dari dua istri ini kemudian disebut sebagai Pandawa.
Jadi, Kurawa dan Pandawa sesungguhnya berasal dari satu trah atau keturunan yang sama.
Namun, dalam perjalanannya kemudian terjadilah perselisihan antara Kurawa dan Pandawa gegara Kurawa mau menguasai kerajaan milik Pandawa, dan perselisihan itu mencapai puncak atau klimaksnya pada perang Bharatayuda di padang Kurusetra.
Pandawa yang berada di pihak yang benar, meskipun jumlahnya hanya lima orang, akhirnya berhasil keluar sebagai pemenang perang Bharatayuda. Sebaliknya Kurawa yang jumlahnya 100 orang justru kalah.
Kini, setelah mencermati konflik atau perseteruan antara Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) akhirnya kita pun teringat akan kisah perselisihan antara Kurawa dan Pandawa, yang berasal dari satu trah, yang berpuncak pada perang Bharatayuda.
Sebab, NU dan PKB pun berasal dari satu trah atau nasab yang sama: “ahlussunah wal jamaah. Bahkan PKB lahir dari rahim NU, yakni pada 23 Juli 1998.
Lalu, siapakah yang berperan sebagai Kurawa atau Pandawa dalam “perang saudara” antara NU dan PKB itu? Tergantung dari sudut pandang mana melihatnya. Akan tetapi penulis yakin, para pembaca sudah punya sudut pandang masing-masing.
Adalah Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB yang juga Wakil Ketua DPR RI dan Ketua Tim Pengawas Haji DPR RI yang menginisiasi pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 2024.
Pansus Haji ini akan menyelidiki dugaan penyimpangan dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun 2024 yang dilaksanakan Kementerian Agama. Menteri Agama saat ini adalah Yaqut Cholil Qoumas alias Gus Yaqut.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf pun bersuuzon atau syakwasangka.
Kakak kandung Gus Yaqut yang akrab disapa Gus Yahya ini menuding Muhaimin Iskandar alias Cak Imin hendak menyerang dirinya dengan menyerang terlebih dahulu adiknya, Gus Yaqut melalui Pansus Haji.
Akhirnya, Gus Yahya pun tak mau kalah. Ia menginisiasi pembentukan Tim Lima atau Pansus PKB oleh PBNU.
Tujuannya, meluruskan PKB yang mereka nilai sudah melenceng dari khittah-nya saat dideklarasikan KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pada 23 Juli 1998, saat itu Gus Dur menjabat Ketua Umum PBNU.
Ironisnya, baik Cak Imin maupun Gus Yahya sebenarnya adalah santri-santri politik Gus Dur. Bahkan Cak Imin adalah keponakan Gus Dur.
Adapun Gus Yahya saat Gus Dur menjabat Presiden RI diangkat sebagai salah satu juru bicaranya di samping Wimar Witoelar dan Adhie Massardi.
Meskipun statusnya keponakan, namun Cak Imin tak segan-segan mendepak Gus Dur dari kursi Ketua Dewan Syura PKB ketika terjadi konflik internal.
Pemecatan Gus Dur inilah yang melahirkan dualisme PKB antara kubu Cak Imin dan kubu Gus Dur yang diwakili putrinya, Zannuba Arifah Chafsoh Wahid alias Yenny Wahid.
Nah, saat terjadi dualisme PKB itulah Gus Yahya dan juga Saifullah Yusuf alias Gus Ipul yang kini menjadi Sekretaris Jenderal PBNU berada di kubu Gus Dur.
Dus, konflik yang terjadi antara PBNU dan PKB saat ini sesungguhnya merupakan residu dari konflik PKB di masa lalu, terutama sejak Gus Yahya duduk di kursi NU-1 tahun 2021.
Sebenarnya Gus Yahya ini ambigu. Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, 14 Februari lalu, saat Cak Imin maju sebagai calon wakil presiden mendampingi calon presiden Anies Baswedan, Gus Yahya menyatakan tak ada capres/cawapres yang mewakili NU, karena NU itu netral, menjaga jarak yang sama dengan semua partai politik dan capres/cawapres.
Namun di sisi lain, Gus Yahya justru terkesan mendukung capres-cawapres, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang akhirnya keluar sebagai pemenang di Pilpres 2024. Diakui atau tidak, Prabowo-Gibran didukung Presiden Joko Widodo yang merupakan ayah Gibran.
Mungkin karena itulah PBNU kini mendapat kompensasi konsesi tambang batu bara di Kalimantan Timur bersama Muhammadiyah yang akhirnya mau menerima tawaran menggiurkan dari Jokowi itu.
Namun belakangan, Gus Yahya justru hendak “mengambil alih” PKB dari penguasaan Cak Imin melalui Pansus PKB yang dibentuk PBNU itu. Ambigu bukan?
Ranah Hukum
Pansus PKB kemudian memanggil Lukman Edy, mantan Sekjen PKB yang kini menjadi seteru Cak Imin.
Usai diperiksa Pansus PKB, Lukman Edy yang juga mantan Wakil Ketua Komisi II DPR RI itu menyebut banyak penyimpangan di tubuh PKB.
Pengelolaan keuangan PKB bahkan disebut Lukman Eddy tidak transparan dan tidak akuntabel, mulai dari keuangan fraksi, keuangan pemilu/pilpres, hingga keuangan pilkada.
Sontak, pernyataan Lukman Edy ini membuat panas telinga Cak Imin. Akhirnya secara serentak sejumlah pengurus Dewan Pimpinan Cabang (DPC) dan Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PKB melaporkan Lukman Edy ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik Cak Imin. Perseteruan di ranah hukum pun dimulai.
Lalu, apa respons PBNU? Gus Ipul menantang PKB tidak hanya melaporkan Lukman Edy, tetapi juga dirinya dan Gus Yahya. Bahkan, katanya, pelaporan itu lebih cepat akan lebih baik.
Kini, siapa yang akan keluar sebagai pemenang dari perseteruan antara NU dan PKB yang berasal dari satu trah atau nasab ini, baik di ranah politik maupun ranah hukum?
Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, Nahdliyin dan konstituen PKB-lah yang akan dirugikan. Sebab, perseteruan antar-personal atau pribadi itu telah disulap menjadi perseteruan antar-institusi.
Gus Yahya telah menginstitusionalisasi dirinya sebagai PBNU, dan mempersonalisasi PBNU sebagai dirinya.
Cak Imin pun sama, telah menginstitusionalisasi dirinya sebagai PKB, dan mempersonalisasi PKB sebagai dirinya. Keduanya punya karakter yang sama: Machiavellian! ***