POLITIK

Pakar Ungkap 6 Model Dugaan 'Kecurangan' Yang Akan Terjadi di Pilkada 2024

DEMOCRAZY.ID
Agustus 13, 2024
0 Komentar
Beranda
POLITIK
Pakar Ungkap 6 Model Dugaan 'Kecurangan' Yang Akan Terjadi di Pilkada 2024



DEMOCRAZY.ID - Themis Indonesia memprediksi bahwa kecurangan seperti yang terjadi di Pemilu 2024 lalu akan terulang lagi di Pilkada 2024 mendatang. 


Managing Partner Themis Indonesia, Feri Amsari, mengungkap enam model kecurangan yang berpotensi terjadi di Pilkada 2024. Mulai dari rekayasa calon tunggal hingga praktik pengerahan aparatur negara.


"Bagaimana calon tunggal direkayasa? Pertama, beli seluruh perahu. Beli seluruh parpol dengan maharnya, sehingga tidak ada perahu yang tersisa," ujar Feri dalam sebuah diskusi bertajuk 'Kecurangan Pilkada 2024: Dari Dinasti, Calon Tunggal, dan Netralitas ASN', di Rumah Belajar ICW, Jakarta Selatan, Selasa (12/8).


Menurutnya, penguasaan terhadap partai politik tertentu secara politik masuk akal. Lewat itulah, potensi memunculkan calon tunggal melawan kotak kosong terjadi.


Ia pun menilai partai politik juga tergiur untuk merekayasa pemilihan dengan memunculkan calon tunggal.


"Jadi, beli semua perahu. Dan nuansanya sudah ada sekarang di berbagai tempat," sambung dia.


Model kedua, yakni dengan memanipulasi aturan main. Feri mencontohkan hal itu juga sudah tampak saat Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan yang memungkinkan putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, bisa berkontestasi di Pilpres 2024 lalu.


Bahkan, kata dia, saat ini model serupa juga terjadi jelang Pilkada. Yakni, dengan adanya putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan gugatan terkait syarat usia calon kepala daerah, dari yang semula berusia minimal 30 tahun saat ditetapkan sebagai pasangan calon kemudian diubah menjadi 30 tahun saat pelantikan.


Putusan itu juga memuluskan langkah putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, bisa berlaga di Pilkada 2024 mendatang.


"Nah, ini bagian dari rekayasa. Dan itu sudah terjadi jauh hari," ungkapnya.


Lalu, model kecurangan ketiga yakni politisasi bansos. Feri menyebut hal ini dengan politik gentong babi. 


Ia pun mencontohkan kasus saat bansos di rumah Wali Kota Medan Bobby Nasution yang dicuri.


Akibatnya, lanjut Feri, akan ada bantuan sosial lain untuk menutupi kebutuhan bansos yang hilang itu.


"Sehingga, akibatnya akan ada dua jumlah, dua kali jumlah bansos untuk kota yang sama, dan ini menjelang Pilkada," tutur dia.


"Nah, gentong babi itu akan selalu menjadi tren, karena memang politik kita masih berbasis kepada praktik suap-menyuap," jelas Feri.


Kemudian, model kecurangan keempat adalah pengerahan ASN dan aparat. Hal ini juga berkaitan dengan kebijakan mutasi dan pergeseran pejabat di daerah tertentu.


Berikutnya, model kecurangan yang kelima adalah penyelenggara pemilu atau pilkada yang relatif rentan disusupi oleh kepentingan politik.


Hal ini juga tampak terjadi saat verifikasi partai politik di Pilpres 2024 lalu. Feri juga menyinggung laporan dari DKPP yang menyebut angka kecurangan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu di tingkat daerah juga sangat signifikan.


"Praktik kecurangan terkait verifikasi partai politik di Pemilu Presiden kemarin berlangsung hampir di seluruh Indonesia. Bahkan, ada partai yang dibantu untuk melakukan kecurangan di 34 provinsi," terang Feri.


"Itu akan memberikan gambaran sebaran pelaku praktik kecurangan di Pilpres masih bertahan hari ini di daerah dan mereka yang akan menyelenggarakan pemilu di daerah," lanjutnya.


Model kecurangan terakhir, yakni pengadilan yang tidak netral. Feri pun mencontohkan jika nantinya Kaesang dan Bobby Nasution berlaga di Pilkada 2024.


Hal ini berkaitan saat nantinya ada potensi perselisihan hasil Pilkada yang digugat ke MK. Seperti diketahui, salah satu Hakim MK Anwar Usman, merupakan paman dari Kaesang.


Anwar Usman juga sempat menjadi Ketua MK saat mengabulkan gugatan perubahan syarat capres-cawapres yang berimbas pada majunya Gibran di Pilpres 2024 lalu. 


Ia akhirnya dicopot dari jabatannya karena dinilai melanggar prinsip kode etik Hakim MK.


"Ini agak mengkhawatirkan kalau kemudian Mahkamah Konstitusi masih dengan model yang sama untuk mengadili perkara-perkara perselisihan hasil Pilkada ke depan," tandas Feri.


Sumber: Kumparan

Penulis blog