HUKUM POLITIK

‘No Viral No Justice’, Stagnasi Penegakan Hukum Satu Dekade Rezim Jokowi

DEMOCRAZY.ID
Agustus 17, 2024
0 Komentar
Beranda
HUKUM
POLITIK
‘No Viral No Justice’, Stagnasi Penegakan Hukum Satu Dekade Rezim Jokowi


Penegakan hukum yang berlandaskan sistem dan tata kelola yang kuat serta adil, mendorong masyarakat dan elemen negara lainnya untuk bertindak dengan cara yang mulia juga etis. Aristoteles pernah berkata, “dalam kondisi terbaiknya, manusia adalah yang paling mulia di antara semua hewan; jika terpisah dari hukum dan keadilan, ia adalah yang terburuk.”


Saat berpidato dalam sidang tahunan MPR, pada Jumat (16/8/2024) Presiden Joko Widodo (Jokowi) memamerkan sejumlah pencapaiannya di bidang hukum selama dua periode menjabat. Sayangnya, apa yang disampaikan terlalu normatif dan kurang lugas. Di atas podium Jokowi hanya menyinggung produk UU seperti KUHP yang baru, UU Cipta kerja hingga UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, tidak membahas isu krusial hanya menyoroti hal dasar. Padahal, ada banyak ketidakadilan hukum yang terjadi di masa pemerintahannya. Utamanya terkait dengan kinerja lembaga peradilan dan kepolisian.


World Justice Project melaporkan, skor indeks negara hukum Indonesia atau rule of law index (RLI) pada tahun 2023 ada di level 0,53 (dengan nilai 1 sebagai nilai tertinggi). Skor ini sama dengan skor pada tahun sebelumnya, menempatkan Indonesia pada peringkat 66 dari 142 negara. Melihat trennya, skor RLI Indonesia cenderung stagnan, hanya naik 0,01 poin dalam delapan tahun terakhir, dari 0,52 di tahun 2015 menjadi 0,53 di tahun 2023.


Secara rinci, RLI dihitung berdasarkan delapan indikator. Indikator yang menyumbang skor tertinggi bagi RLI Indonesia adalah ketertiban dan keamanan sebesar 0,71 poin. Meski lebih tinggi dibandingkan indikator lainnya, skor ketertiban dan keamanan Indonesia masih di bawah rata-rata regional yang sebesar 0,79 poin. Angkanya pun lebih rendah dari rata-rata global yang sebesar 0,72 poin. Hasil ini menjadi rapor merah di pengujung kepemimpinan Presiden Jokowi, menunjukkan keadilan dan reformasi hukum yang tidak pernah menjadi prioritas kebijakan pemerintah.


Indikator ketertiban dan keamanan erat kaitannya dengan kinerja kepolisian. Sayangnya dalam bertugas, citra arogan dan kekerasan masih sangat melekat pada korps Bhayangkara. Sepanjang 2023, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat ada 622 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota Polri. Diwarnai 58 tindakan kekerasan, 46 kasus penangkapan sewenang-wenang, dan 13 peristiwa penggunaan gas air mata. 


Contoh lainnya, kasus pembunuhan berencana Brigadir Yosua Hutabarat yang dilakukan eks Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo. Peristiwa ini mempertegas bahwa kekerasan sudah jadi budaya di korps Bhayangkara. Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto menyebut, catatan buruk kinerja Polri ini membuktikan tujuan reformasi 1998 gagal diwujudkan Jokowi.


Ia menuturkan, pemisahan Polri dengan TNI ternyata malah membuat kepolisian menjadi pemeran pengganti ABRI. Terutama terkait dengan kewenangan penegakan hukum yang diberikan negara pada kepolisian. “Alih-alih melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat, dengan kewenangan sebagai penegak hukum tersebut kepolisian justru mengarah sebagai alat kekuasaan untuk menakut-nakuti masyarakat,” ujarnya saat berbincang dengan Inilah.com.


No Viral No Justice


Selain soal kekerasan, masyarakat terbilang sudah malas berurusan dengan polisi. Mereka beranggapan percuma melapor, karena kecil peluang akan ditindaklanjuti. Fenomena ini juga beriringan dengan kemunculan sejumlah tagar yang mengkritik kepolisian. Di antaranya tagar #PercumaLaporPolisi dan #NoViralNoJustice, yang bergulir sejak Oktober 2021 hingga saat ini. Tagar ini kemudian terus menghiasi media sosial setiap kali ada kasus-kasus yang tidak ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian.


Pengamat hukum dari Universitas Trisakti Abdul Fickar mengatakan, kemunculan tagar-tagar tersebut adalah bentuk antitesis dari harapan masyarakat pada kepolisian yang sangat besar. Akibat dari kepolisian yang tidak bisa memastikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan sesuai harapan masyarakat. 


Fenomena ini adalah cerminan dari gagalnya pemerintahan Jokowi dalam melahirkan sistem yang bisa memastikan kinerja kepolisian berjalan dengan benar. “Kecenderungannya Polri baru memproses penegakan hukum, laporan, jika sudah menarik perhatian masyarakat,  padahal penegak hukun digaji untuk melayani masyarakat,” ucapnya saat dihubungi Inilah.com.


Inilah.com merangkum beberapa kasus yang baru ditindaklanjuti polisi ketika sudah viral terlebih dahulu, berikut penjabarannya:


Pelecehan Seksual Pegawai KPI


Seorang pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berinisial MS mengaku telah menerima tindakan perundungan, perbudakan, hingga pelecehan seksual oleh teman-teman kantornya sejak ia bekerja di KPI pada 2012 silam. Selama mengalami perundungan dan pelecehan seksual, MS sempat melaporkan kasusnya kepada atasannya dan pihak kepolisian, namun laporannya tidak diseriusi.


MS pertama kali mengadukan kasusnya ke Polsek Gambir pada 2019, namun petugas polisi malah menyuruhnya melapor lebih dulu kepada atasan di KPI agar diselesaikan secara internal. Berselang setahun kemudian, MS kembali mencoba melapor ke Polsek Gambir, namun laporan ini juga tidak sesuai harapannya.


Karena sudah tidak tahu harus melapor ke mana, MS akhirnya menuliskan kasus perundungan dan pelecehan seksual yang dialaminya dalam surat yang kemudian viral di media sosial Twitter pada awal September 2021. Setelah viral, baru kemudian polisi, KPI, serta pihak lainnya bergerak menindaklanjuti kasus ini.


Mahasiswi Dihamili Polisi


Seorang mahasiswi berinisial NWR tewas bunuh diri dengan menenggak racun. Kematian NWR pun menjadi viral di media sosial Twitter pada Sabtu (4/12/2021). Salah satu warganet yang mengaku teman dekat NWR mengunggah caption percakapan bahwa korban mengalami depresi karena masalah asmara.


Korban disebut memiliki hubungan asmara dengan seorang anggota polisi berinisial R yang bertugas di Polres Pasuruan Jawa Timur. Usai viral Polda Jawa Timur menahan dan memproses Bripda Randy Bagus yang diduga sengaja menyuruh NWR untuk melakukan aborsi sebanyak dua kali.


Pegi Setiawan


Penetapan tersangka Pegi bermula dari mencuatnya kasus pembunuhan Vina dan Eki yang terjadi pada 2016 lalu. Kasus ini diangkat dalam film berjudul "Vina: Sebelum 7 Hari." Masyarakat berbondong-bondong menyuarakan agar penyidik kepolisian melanjutkan pencarian tiga buron bernama Pegi Perong, Dani dan Andi.


Singkat cerita, pada 21 Mei 2024, Pegi ditangkap penyidik Polda Jawa Barat. Ia ditangkap di Bandung. Selepas itu, tepatnya 26 Mei 2024, kepolisian menggelar jumpa pers. Pegi turut dihadirkan kepada awak media. Dirkrimum Polda Jawa Barat, Kombes Pol Surawan memastikan tidak salah tangkap.


Pegi yang turut dihadirkan dalam jumpa pers Polda Jabar, membantah telah membunuh Vina. Ia menegaskan menjadi korban fitnah. Usai berteriak menjadi korban fitnah di depan polisi dan awak media, Pegi kembali digiring ke ruang tahanan. Pegi Setiawan akhirnya mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Bandung pada 11 Juni 2024. Persidangan perdana praperadilan itu dimulai pada 1 Juli 2024. Selama satu pekan, persidangan dijalani hingga akhirnya dibacakan keputusan bebas pada 8 Juli 2024.


Pengadil yang tak Adil


Lembaga peradilan juga tak kalah mengecewakan. Masih hangat jadi perbincangan publik atas vonis bebas Gregorius Ronald Tannur dalam kasus pembunuhan Dini Sera Afriyanti (29) di sebuah tempat hiburan malam pada 4 Oktober 2023. Keputusan ini memicu kontroversi dan mempertanyakan integritas sistem peradilan di Indonesia.


Keputusan ini mengejutkan publik dan menuai kritik tajam. Banyak pihak mempertanyakan bagaimana seseorang yang diduga kuat terlibat dalam tindakan brutal bisa lolos dari jeratan hukum. Pengadilan berpendapat bahwa Ronald telah berupaya membantu korban dengan membawa Dini ke rumah sakit dalam keadaan kritis.


Banyak yang melihat keputusan ini sebagai cerminan dari sistem hukum yang tidak adil dan rentan terhadap pengaruh kekuasaan, mengingat Ronald adalah anak dari eks anggota DPR sekaligus politikus PKB Edward Tannur. 


“Betapa dalam 10 tahun kepemimpinan Pak Jokowi, beliau tidak mampu melaksanakan tugasnya dalam menghadirkan iklim penegakan hukum dengan baik, begitu banyak hakim yang malah tak berlaku adil, bahkan terjerat kasus pidana. Mungkin dari sisi yang lain, infrastruktur misalnya, itu berkembang sangat baik, tapi salah satu yang hancur adalah penegakan hukum. ,” kata pengamat hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Chairul Huda, kepada Inilah.com.


Pernyataan Chairul Huda mengingatkan lagi soal perkara Hakim Agung nonaktif Sudrajad Dimyati dalam kasus dugaan suap jual beli perkara di Mahkamah Agung (MA). Suap yang diterima sebesar Rp800 juta atas kasasi gugatan perdata dan pidana terkait aktivitas KSP Intidana. Menariknya, ketika diadili Pengadilan Tinggi (PT) Bandung malah memangkas hukuman Sudrajad menjadi tujuh tahun penjara. 


Mulanya, oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Sudrajad divonis delapan tahun penjara. Sementara, oleh jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Sudrajad sedianya dituntut hukuman 13 tahun penjara. Fakta ini makin membuktikan bahwa penegakan hukum di Indonesia masih buruk, wajar bila skor indeks negara hukum Indonesia hanya mampu bertengger di peringkat 66 dari 142 negara


“Saya pernah studi ke beberapa negara ya, terutama di Belanda, mereka itu sangat tidak pernah terpikir kalau hakim bisa terima suap. Di Jepang begitu juga ya, hampir tidak mungkin menurut mereka, hakim terima suap. Tapi itu hal yang biasa di Indonesia, sejumlah kasus terjadi kan gitu, bahkan melibatkan sampai hakim agung,” ujarnya.


Sumber: Inilah

Penulis blog