CATATAN POLITIK

'Negara Mencari Buzzer: Tanda Kerusakan atau Strategi Bertahan Karena Panik?'

DEMOCRAZY.ID
Agustus 27, 2024
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
'Negara Mencari Buzzer: Tanda Kerusakan atau Strategi Bertahan Karena Panik?'


'Negara Mencari Buzzer: Tanda Kerusakan atau Strategi Bertahan Karena Panik?'


Oleh: WA Wicaksono

Storyteller, Analis Iklan 


“Di era media sosial, para influencer telah menjadi operator politik baru. Mereka membentuk narasi, memengaruhi opini publik, dan, lebih sering daripada tidak, melayani kepentingan mereka yang berkuasa,”~ Brian Solis, analis digital, antropolog global dan penulis pemenang penghargaan dunia.


Dalam beberapa bulan terakhir, gelombang demonstrasi besar-besaran melanda berbagai wilayah di Indonesia. 


Rakyat diwakili mahasiswa, yang sudah lama memendam kekecewaan terhadap kebijakan pemerintahan Jokowi, kini berbondong-bondong turun ke jalan, menuntut perubahan dan keadilan. 


Rasa frustrasi mereka terakumulasi akibat berbagai skandal korupsi, kebijakan yang pura-pura berpihak kepada rakyat kecil namun menjerumuskan, ketidakmampuan pemerintah dalam mengatasi berbagai masalah sosial yang terus memburuk, serta upaya-upaya membangun dinasti yang semakin vulgar dan terbuka. 


Di tengah situasi yang semakin memanas ini, muncul kabar bahwa negara sedang mencari dan merekrut buzzer, sekelompok individu atau akun media sosial yang bertugas untuk membela citra positif pemerintah dan menyerang balik para pengkritik yang semakin akurat.


Strategi pencarian buzzer ini tentu saja menimbulkan berbagai pertanyaan dan kontroversi. Apalagi biaya yang ditawarkan terbilang besar dan menggiurkan. 


Boleh jadi di satu sisi, pemerintah mungkin melihat langkah ini sebagai upaya untuk mempertahankan stabilitas dan citra positif di tengah derasnya arus kritik yang dirasa makin memojokkan. 


Namun, di sisi lain, apakah tindakan ini justru memperkuat narasi bahwa pemerintahan yang berkuasa saat ini memang telah rusak dan diserang panik akan bayangan kehancuran?




Buzzer Alat Propaganda


Di era disrupsi sekarang, penggunaan buzzer adalah fenomena yang relatif baru dalam dunia politik Indonesia. 


Dengan kekuatan media sosial yang sangat besar, buzzer dapat dengan cepat menyebarkan informasi, baik yang benar maupun yang direkayasa, untuk mempengaruhi opini publik. 


Ketika pemerintah menggunakan buzzer, tujuannya biasanya adalah untuk mengendalikan narasi, meredam kritik, dan menciptakan dukungan palsu terhadap kebijakan yang sebenarnya tidak populer. 


Namun, ketika negara merasa perlu untuk mengandalkan buzzer di tengah gelombang protes yang masif, hal ini justru dapat dilihat sebagai tanda kelemahan, bukan kekuatan. 


Apalagi jika buzzer-buzzer tersebut dimanfaatkan untuk mengamplifikasi prestasi-prestasi palsu (hoax) untuk memoles citra pemerintah. 


Jadinya persis seperti yang pernah diungkapkan oleh Rocky Gerung bahwa sesungguhnya pemerintahlah dengan berbagai keunggulan fasilitas yang dimiliki yang mampu menjadi sumber atau pencipta hoax terbesar yang beredar.


Meningkatnya Ketidakpercayaan Publik


Alhasil, kehadiran buzzer seringkali justru memperburuk ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah. Ketika rakyat merasa suaranya tidak didengar dan justru dihadapi dengan serangan-serangan postingan para buzzer yang memuja-muja pemerintah berkebalikan dengan kenyataan yang ada, kemarahan rakyat bisa semakin meningkat. 


Yang terjadi bukannya menyelesaikan masalah, strategi ini bisa saja dianggap sebagai upaya pemerintah untuk menutup-nutupi kebobrokan yang terjadi, alih-alih memperbaiki situasi yang ada. 


Akibatnya, ketidakpercayaan publik bisa semakin dalam, dan jurang antara pemerintah dan rakyat semakin melebar. 


Tak jarang para buzzer pemerintah tersebut justru menjadi sumber perpecahan dan pengadu domba masyarakat dibalik slogan-slogan persatuan dan nasionalisme yang utopis semata.


Dampak Jangka Panjang


Dalam jangka panjang, penggunaan buzzer oleh pemerintah dapat meninggalkan luka yang mendalam pada demokrasi. 


Rakyat bisa semakin apatis dan merasa bahwa suaranya tidak lagi berharga, karena setiap kritik yang dilontarkan justru dibungkam, dibelokkan atau diserang balik oleh narasi yang dibangun oleh buzzer. 


Ketika negara lebih memilih untuk “memerangi” rakyatnya sendiri daripada mendengarkan keluhan dan memperbaiki diri, ini bisa dianggap sebagai bukti nyata bahwa pemerintahan yang berkuasa memang sudah rusak dan tidak lagi memihak pada kepentingan rakyat.



Wajah Pemerintahan yang Semakin Suram


Dalam situasi yang penuh gejolak ini, pencarian buzzer oleh pemerintah bisa diartikan sebagai pengakuan terselubung bahwa mereka tidak lagi mampu menghadapi kritik dengan cara yang sehat dan demokratis. 


Alih-alih membuka dialog dengan rakyat, pemerintah memilih jalan pintas dengan mengerahkan buzzer untuk menekan suara-suara yang berbeda. 


Jika dilihat dari sudut pandang ini, maka benar bahwa strategi ini justru mengungkapkan betapa rusaknya pemerintahan yang berkuasa saat ini. 


Pemerintah yang kuat tidak membutuhkan buzzer untuk bertahan; sebaliknya, mereka akan berdiri teguh di atas transparansi, akuntabilitas, dan dukungan nyata dari rakyat.


Namun, selama pemerintah tetap menutup mata terhadap suara rakyat dan terus mengandalkan buzzer sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan, maka kerusakan yang ada hanya akan semakin dalam dan sulit untuk diperbaiki. 


Pada akhirnya, rakyatlah yang akan menjadi penentu, apakah mereka akan terus berjuang untuk perubahan, atau menyerah pada narasi yang dipaksakan oleh buzzer. Tabik.


Sumber: JakartaSatu

Penulis blog