CATATAN POLITIK

'Matinya Esensi Demokrasi di Era Jokowi'

DEMOCRAZY.ID
Agustus 17, 2024
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
'Matinya Esensi Demokrasi di Era Jokowi'


'Matinya Esensi Demokrasi di Era Jokowi'


“Apa yang terjadi dengan demokrasi kita? Apa yang terjadi dengan negara kita? Apa yang terjadi dengan kepemimpinan kita sehingga terjadi seperti ini?”


Pertanyaan-pertanyaan itu terlontar dari mantan Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla (JK) ketika menjadi pembicara mengenai demokrasi di Gedung Juwono Sudarsono, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Kamis (7/3/2024). JK mempertanyakan masalah tersebut sebulan setelah penyelenggaraan pesta demokrasi lima tahunan di periode kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi).


Bagi JK, Pemilu 2024 menjadi penyelenggaraan pesta demokrasi terburuk dalam sejarah sejak tahun 1955. JK merasa, penyelenggaran pesta demokrasi saat ini sangat jelas telah diatur oleh kelompok-kelompok minoritas yang memiliki peluang menggunakan uang untuk meraih kekuasaan.


Politikus senior Partai Golkar ini melihat potensi kemerosotan demokrasi hingga kembalinya rezim otoriter jika masyarakat terlena dengan situasi sekarang. JK berharap jika melalui hiruk-pikuk pesta demokrasi 2024 seluruh pihak dapat mengetahui apa yang menyebabkan demokrasi bangsa tidak berjalan.


Di tahun terakhir kepemimpinan Jokowi ini, menjadi puncak catatan kelam bagi perjalanan kehidupan demokrasi di Tanah Air. Sejatinya, buruknya demokrasi di Indonesia sudan tercermin sejak Jokowi menjabat di awal periode kedua.


Ketika itu, Indonesia telah mengalami kemunduran demokrasi. Dalam rilis laporan The Economist Intelligence Unit (EIU), indeks demokrasi Indonesia pada 2020 jatuh di titik terendah dalam 14 tahun terakhir. Dengan nilai indeks demokrasi 6.30, posisi Indonesia berada di bawah Filipina dan Timor Leste.


Lembaga internasional lain juga memotret penurunan kualitas demokrasi di Indonesia sejak kepemimpinan Jokowi. Freedom House mengungkap indeks demokrasi Indonesia merosot dari 62 poin ke 53 poin pada 2019-2023.


Sedangkan lembaga Reporters Without Borders (RSF) mencatat penurunan kualitas kebebasan pers Indonesia. Skor kebebasan pers Indonesia anjlok dari 63,23 poin pada 2019 ke 54,83 poin pada 2023.


Mengkhianati Amanat Reformasi


Bukannya memperbaiki, demokrasi di tahun terakhir kepemimpinan Jokowi malah memburuk. Kalangan perguruan tinggi bahkan ikut bersuara menyampaikan keprihatinan dan pernyataan sikap. Sivitas akademika Universitas Gadjah Mada (UGM) salah satunya. Mereka menggelar aksi di Balairung UGM bertajuk “Kampus Menggugat: Tegakkan Etika & Konstitusi, Perkuat Demokrasi” pada Selasa (12/3/2024).


Wakil Rektor UGM Arie Sujito menyatakan deklarasi tersebut merupakan bentuk keresahan para akademisi. Menurutnya, para akademisi dan intelektual memiliki tanggung jawab moral. Ia menekankan, demokrasi di Indonesia saat ini kenyataannya tak makin membaik tapi malah semakin memburuk. “Itu terlihat dari kecenderungan praktik-praktik oligarki, praktik korupsi, dan praktik nepotisme," kata Arie.


Upaya mewujudkan demokrasi substantif sebagai salah satu cita-cita Reformasi 1998, saat ini dinilai semakin menjauh dari semangat reformasi. Demokrasi saat ini tengah mengalami kemunduran yang tajam. Bahkan menjelang pesta demokrasi 2024 yang baru lalu, Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi telah mencermati puncak dari kemunduran demokrasi tersebut, yaitu dinamika politik Pemilu 2024 yang sarat dengan cara-cara berpolitik yang kotor dan menggunakan segala cara demi ambisi melanggengkan kekuasaan.


"Sementara politik elitis yang transaksional dan bahkan cenderung menghalalkan segala cara meskipun hal itu mengkhianati amanat reformasi tahun 1998, semakin menguat dalam dinamika dan arus perkembangan politik, baik di tingkat lokal maupun nasional," ungkap Dimas Aqil Azizi dari Universitas Brawijaya mewakili Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi di depan Balai Kota Malang, Kamis (7/12/2023). 


Dimas mengamati gejala kemunduran demokrasi Indonesia terlihat jelas beberapa tahun belakangan. Hal itu ditandai dengan upaya pelemahan terhadap gerakan antikorupsi melalui revisi UU KPK. Revisi tersebut telah membonsai kemampuan lembaga antirasuah membongkar kasus-kasus korupsi. Hal itu membuat KPK hari ini tak hanya menjadi lemah, tapi juga amburadul.


Selain itu, Dimas juga mengkritik tajam penyusutan ruang kebebasan sipil. Hal tersebut menjadi penanda lain dari kemerosotan demokrasi di era Jokowi. Seharusnya kebebasan sipil merupakan hal yang esensial dalam demokrasi. Namun, di era Jokowi selama 10 tahin menjabat, kondisinya semakin terkikis.


Hal tersebut ditandai oleh berbagai pembatasan dan pembungkaman terhadap kebebasan ekspresi dan kritik masyarakat yang dilakukan melalui berbagai cara. Dimas pun kembali menegaskan, puncak kemunduran demokrasi semakin terlihat nyata dalam Pemilu 2024. “Pemilu yang sejatinya adalah ruang perwujudan prinsip kedaulatan rakyat di dalam demokrasi, justru digunakan untuk melanggengkan kekuasaan.”


Demokrasi Era Jokowi dan SBY


Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyebutkan indeks demokrasi Indonesia masuk kategori negara tidak cukup bebas (half free) sejak 2014, atau sejak masuk ke era pemerintahan Presiden Jokowi.


Penurunan indeks demokrasi dalam periode pemerintahan Jokowi itu disebabkan rendahnya kemerdekaan dan kebebasan sipil. Sebaliknya, ungkap pakar hukum kepemiluan ini, di era Presiden sebelumnya, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sejak tahun 2004 sampai 2013, indeks demokrasi Indonesia lebih baik atau bebas sepenuhnya karena kemerdekaan dan kebebasan sipil memperoleh penialaian baik.


Titi juga menjabarkan, contoh indeks demokrasi yang belum baik karena faktor kondisi politik Indonesia pernah terjadi di era Presiden B.J. Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan juga Presiden Megawati. "Bagaimana kemudian periodisasi transisi yang kita lalui di masa Pak Habibie, dari era Orde Baru menuju era Reformasi, bagaimana kita mencoba menata pranata demokrasi kita itu juga punya dampak," ujarnya.


Kendati begitu, dia menggarisbawahi, dalam sistem presidensial seperti yang dianut Indonesia, presiden memiliki peranan penting dalam menentukan kualitas demokrasi. Sebabnya, presiden memiliki kewenangan legislasi yang bisa menentukan arah demokrasi.


Lantas Titi mencontohkan, misalnya pemberlakuan UU ITE yang kemudian berdampak luar biasa bagi kebebesan sipil. Kemudian merosotnya indeks persepsi korupsi Indonesia karena revisi UU KPK. Belum lagi bicara lain seperti UU Minerba, menyempitnya ruang masyarakat sipil untuk terlibat di dalam proses legislasi yang dibahas dengan ruang semakin terbatas, yang hal itu juga ikut mempengaruhi.


Ia kemudian menekankan, posisi presiden dalam konteks sistem presidensial yang Indonesia anut menjadi nakhoda yang punya peran penting dalam mengartikulasikan komitmen demokrasi dalam berbagai kebijakan, atau dalam relasi antara berbagai lembaga negara untuk mewujudkan indeks demokrasi yang baik.


Sayangnya, dengan terjadinya kemunduran demokrasi yang terjadi sejak 2014 hingga 2024 ini, tidak diakui oleh Jokowi. Pada Juli lalu, Jokowi merespons soal laporan indeks demokrasi di Indonesia yang merosot pada masa pemerintahannya. Jokowi menyebut demokrasi di Indonesia baik-baik saja.


Menurut Jokowi, buktinya pemerintah tidak pernah menghambat kebebasan berpendapat. Sampai saat ini setiap orang bisa bebas berorganisasi hingga berserikat. Bahkan kata Jokowi, ia kerap mendengar masyarakat yang mengkritik, hingga memaki presiden. “Tiap hari orang mau maki-maki presiden juga kita dengar. Orang nge-bully presiden juga kita dengar. Kalau mengkritik hampir tiap detik ada pasti," ucap Jokowi di Bandung, Jawa Barat, Jumat (19/7/2024).


Dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta, Yanuar Nugroho menilai demokrasi di Indonesia saat ini masih berkutat pada demokrasi prosedural, belum substansial. Padahal seharusnya, demokrasi itu dijalankan secara substansial, bukan hanya sekadar prosedural belaka, seperti yang terjadi di era Jokowi.


Yanuar menerangkan, demokrasi prosedural adalah demokrasi yang dijalankan dengan pendekatan atau cara-cara yang seolah-olah demokratis, tetapi hasilnya tidak, atau justru bahkan bisa mematikan demokrasi.


Dalam Simposium “The Internationalization of Democracy” yang diadakan Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS) di Widya Mandala Hall Pakuwon City, Surabaya, Jumat (10/5/2024), Yanuar menegaskan bahwa demokrasi semacam itu memiliki dampak yang berbahaya dalam jangka panjang karena keterlibatan publik dalam membuat kebijakan akan hilang.


“Tidak ada kontrol publik, dan tidak ada check and balancing. Demokrasi yang substantif akan mati. Demokrasi yang substantif harusnya menjadi pembangunan lebih mendalam,” tutur Yanuar yang pernah menjabat sebagai Deputi Kepala Staf Presiden periode 2014-2019 itu.


Dengan kondisi demokrasi di Tanah Air yang dijelaskan Yanuar itu, maka sejalan dengan sejumlah pertanyaan sekaligus kecemasan yang dilontarkan mantan Wakil Presiden di era pemerintahan Presiden SBY dan Jokowi, Jusuf Kalla, mengenai buruknya esensi demokrasi dan kepemimpinan nasional saat ini.


Sumber: Inilah

Penulis blog