'Luhut Marah-Marah, Prabowo Marah Besar, Gibran Idem'
Dahlan Iskan tampaknya masih penasaran dengan situasi dan dinamika politik belakangan ini, khususnya tentang Golkar dan UU Pilkada.
Dalam tulisannya berjudul Sutradara Agung, kolumnis berusia 73 tahun itu bak sedang melacak siapa tokoh di belakang layar yang membidani lahirnya kegaduhan politik menjelang Pilkada 2024 ini.
"Mencari siapa sutradara politik di balik akal-akalan belakangan ini sama sulitnya dengan mencari siapa Raja Jawa seperti yang dimaksud oleh Bahlil Lahadalia, ketua umum baru DPP Partai Golkar," tutur Dahlan.
Menurut Dahlan, dahulu, setiap ada keanehan politik selalu orang menuding Luhut Binsar Pandjaitan atau LBP sutradaranya. LBP sendiri sering bingung: "saya”?
Dahlan pun sibuk mencari siapa sutradara di balik layar sandiwara seputar Golkar dan UU Pilkada.
"Sampai muncul humor politik terbaik tahun ini: sebesar-besar pohon beringin akan tumbang di tangan tukang kayu," tutur Dahlan dalam tulisannya.
Dalam penelusurannya, Dahlan justru menemukan siapa orang pertama yang menciptakan humor politik tersebut, yakni Muhammad Qodari, pemilik lembaga survei.
"Saya pun bertanya kepadanya (Qodari): siapa sutradara agung akal-akalan politik belakangan ini? Dia tidak segera menjawab," tutur Dahlan.
Dahlan lalu menelusuri kepada orang-orang dekat LBP.
"Mereka bilang, justru LBP marah-marah dengan manuver-manuver itu," tutur Dahlan.
Dahlan si mantan Menteri BUMN itu pun lalu menghubungi orang-orang dekat presiden terpilih, Prabowo Subianto.
"Sama, bahkan marah besar," tuturnya.
Dahlan belum berhenti.
"Lalu saya monitor kepada orang-orang dekat Mas Gibran. Idem, justru marah dengan keadaan."
Menurut Dahlan, Presiden Jokowi sendiri ternyata merasa dirinyalah yang dihebohkan di medsos dengan sebutan tukang kayu itu.
"Jokowi seperti tidak marah. Tidak tersinggung. Itu kalau dilihat dari sudut ekspresi wajahnya. Tentu saya bukan orang yang ahli membaca ekspresi wajah. Terutama wajah orang Jawa –apalagi Solo," tutur Dahlan.
Akhirnya Dahlan menyerah.
"Saya tidak berhasil menemukan siapa sebenarnya sutradara drama akal-akalan itu. Bahlil ternyata lebih jago menjadi juru tafsir mimik wajah Jawa," tuturnya.
'Raja Jawa Itu Bernama Jokowi?'
Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI)
“Jadi kita harus lebih paten lagi, soalnya Raja Jawa ini kalau kita main-main, celaka kita. Saya mau kasih tahu saja, jangan coba-coba main-main barang ini. Waduh ini ngeri-ngeri sedap barang ini,” ujar Bahlil Lahadalia usai ditetapkan sebagai Ketua Umum Partai Golkar Periode 2024-2029 dalam Musyawarah Nasional XI Partai Golkar di Jakarta, Rabu (21/8/2024).
Lantas, siapa yang dimaksud Raja Jawa oleh Bahlil? Banyak jari telunjuk yang mengarah ke Presiden Joko Widodo yang memang berasal dari Solo, Jawa Tengah, di mana di kota itu ada dua kerajaan, yakni Kasunanan Surakarta Hadiningrat, dan Pura Mangkunegara. Benarkah?
Ada banyak ilustrasi tentang karakter Raja Jawa. Salah satunya Hastabrata yang ditulis Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Pakualam X yang sumbernya dari naskah-naskah yang disusun oleh Pakualam I hingga Pakualam IX di Pura Pakualaman, DI Yogyakarta.
Dikutip dari berbagai sumber, istilah Hastabrata berasal dari kitab Hindu berbahasa Sansekerta, “Manawa Dharma Sastra”. Dalam kitab tersebut, konsep Hastabrata dimaknai bahwa pemimpin atau raja bertindak sesuai dengan karakter delapan dewa. Hastabrata pun menjadi tolok ukur sebuah kepemimpinan di kala itu.
Adapun makna harfiah Hastabrata adalah “hasta” yang berarti delapan, dan “brata” yang berarti perilaku atau tindakan pengendalian diri.
Hastabrata melambangkan kepemimpinan dalam delapan unsur alam, yaitu bumi, matahari, api, samudra, langit, angin, bulan, dan bintang. Setiap unsur Hastabrata mengartikan tiap karakteristik ideal dari seorang pemimpin.
Namun ada pula tafsir karakter kepemimpinan ala Jawa lainnya yang ditulis oleh Jhon Stamford Raffles dalam buku “History of Java” (2008: 171), yang menyebutkan ketika Raja Jawa berkuasa, maka kebiasaan yang dilakukannya adalah menundukkan wilayah kerajaan-kerajaan lainnya yang ada di Hindia Belanda.
Raflles juga menyebut karakter Raja Jawa feodal dan suka bagi-bagi jabatan demi menarik dukungan sebagai strategi politik untuk melanggengkan kekuasaan. Raja berusaha untuk melegitimasi dirinya sebagai pemimpin seumur hidup.
Strategi bagi-bagi jabatan untuk menarik dukungan demi melanggengkan kekuasaan juga terkorelasi dengan karakter atau watak orang Jawa pada umumnya seperti terdapat dalam sistem ejaan aksara Jawa ciptaan Aji Saka, di mana untuk mematikan vokal dari sebuah huruf sehingga yang tersisa hanya konsonannya maka harus dibubuhi tanda baca “pangkon”. Makna filosofisnya, orang Jawa kalau dipangku “mati” alias menjadi penurut.
Raja Jawa juga identik dengan karakter bengis namun ramah dan murah senyum. Sebab itu, senjata Raja Jawa dan bangsawan Jawa pada umumnya adalah Keris yang diselipkan di pinggang bagian belakang atau punggung.
Untuk membunuh lawan, maka lawan tersebut akan dipeluk atau dirangkul terlebih dulu lalu ditusuk dengan Keris yang dihunus dari warangkanya yang terselip di punggung.
Sekalian karakter Raja Jawa tersebut sepertinya relevan jika dihubungkan dengan karakter Presiden Jokowi yang suka bagi-bagi jabatan untuk menarik dukungan demi melanggengkan kekuasaan, ramah dan murah senyum di permukaan, namun sesungguhnya “raja tega”.
Karakter Jokowi tersebut relevan dengan ungkapan Raja Jawa yang dilontarkan Bahlil Lahadalia.
Simak pula apa kata Basuki Tjahaja Purnama, sahabat dekat Jokowi, tentang karakter Wong Solo itu.
Kata Ahok, Jokowi menerapkan teori membunuh kodok. Kalau mau membunuh kodok, Jokowi terlebih dulu melempar kodoknya ke air dingin di wajan di atas kompor, yang membuat kodok itu berenang dan diam.
Lalu kompor dipanaskan pelan-pelan. Jadi, sampai mati kodok itu tidak akan loncat karena tidak merasa dibunuh.
Apa yang diungkapkan Ahok ini selaras dengan ungkapan Bahlil ihwal Raja Jawa tersebut.
Pun korelatif dengan fenomena mundurnya Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto dari kursi Ketua Umum Partai Golkar yang kemudian digantikan oleh Bahlil Lahadalia.
“Raja Jawa ini kalau kita main-main, celaka kita. Jangan coba main-main, ngeri-ngeri sedap barang ini,” kata Bahlil.
Namun, setelah memicu polemik, Bahlil kemudian menyatakan ihwal Raja Jawa itu sekadar candaan politik, bukan pernyataan politik. Mungkin Bahlil ngeri-ngeri sedap pula.
Sumber: JPNN