'Legenda Aji Saka di Balik Perseteruan Cak Imin vs Gus Yahya'
Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Analis Politik KSI
Masih ingatkah kita akan legenda Aji Saka? Jika tidak, maka cermatilah perseteruan antara Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar alias Cak Imin versus Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya.
Dari perseteruan kedua “santri” KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur itulah maka kita akan menjadi ingat akan legenda Aji Saka.
Legenda tentang terbentuknya aksara Jawa itu menceritakan, Aji Saka yang kelak menjadi Raja Madang Kamulan setelah berhasil mengalahkan Dewatacengkar punya dua abdi setia dan sakti: Dora dan Sembada.
Suatu ketika Aji Saka pergi mengembara dikawal Dora, sementara Sembada ditugasi menjaga pusaka Aji Saka di padepokannya. Pesan Aji Saka kepada Sembada: jangan serahkan kepada siapa pun pusaka itu kecuali kepada dirinya.
Ternyata, di tengah perjalanan Aji Saka membutuhkan pusaka itu. Lalu diutuslah Dora untuk mengambilnya dari Sembada.
Demi melaksanakan amanah tuannya yang melarang Sembada menyerahkan pusaka itu kepada siapa pun kecuali Aji Saka, maka ia pertahankan mati-matian, termasuk ketika pusaka itu diminta Dora atas perintah Aji Saka.
Dora pun demikian. Demi melaksanakan perintah tuannya, maka sekuat tenaga ia berusaha merebut pusaka itu dari tangan Sembada.
Akhirnya terjadilah perkelahian hebat. Karena Dora dan Sembada sama-sama sakti maka keduanya sama-sama mati dalam perkelahian itu alias “sampyuh”.
Aji Saka pun berduka mendapati kedua abdi setianya itu mati sampyuh. Untuk mengenang Dora dan Sembada maka Aji Saka kemudian menciptakan aksara Jawa yang terdiri atas 20 huruf, yakni “ha na ca ra ka da ta sa wa la pa da ja ya nya ma ga ba tha nga” yang menceritakan proses kematian kedua abdinya itu.
Mati Sampyuh
Kini, Dora dan Sembada menjelma dalam diri Cak Imin dan Gus Yahya. Kedua “santri’ (murid) Gus Dur itu berseteru bahkan menjadi musuh bebuyutan.
Selaku Wakil Ketua DPR sekaligus Ketua Tim Pengawas Haji, Cak Imin menginisiasi pembentukan Panitia Khusus Hak Angket Haji untuk menyelidiki dugaan penyimpangan penyelenggaraan haji tahun 2024 yang dilaksanakan Kementerian Agama. Pansus Haji kemudian disahkan dalam Rapat Paripurna DPR yang dipimpin Cak Imin, Selasa (9/7/2024).
Isu yang paling menonjol sebagai latar pembentukan Pansus Haji adalah soal pergeseran atau pembagian kuota haji 2024 sebanyak 241.000 orang (setelah ada tambahan kuota 20.000) untuk haji reguler dan khusus.
Sebelumnya, Rapat Panitia Kerja (Panja) dengan Kemenag terkait penetapan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 1445 H/2024 M pada 27 November 2023 menyepakati kuota haji reguler sebanyak 221.720 orang dan jemaah haji khusus 19.280 orang. Namun dalam realisasinya hanya 213.320 jemaah haji reguler, dan sisanya 27.680 untuk jemaah haji khusus.
Pergeseran ini menurut Pengawas Haji DPR tidak memperhatikan undang-undang dan aturan yang berlaku, yakni UU No 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh (PHU) serta Keputusan Presiden (Keppres) No 6 Tahun 2024 tentang BPIH 1445 H/2024 M. Akhirnya dibentuklah Pansus Haji itu.
Meski demikian, Gus Yahya menuding Pansus Haji itu bertendensi pribadi Cak Imin untuk menyerang dirinya melalui sang adik, Yaqut Cholil Qoumas alias Gus Yaqut yang kebetulan menjadi Menteri Agama.
Tak mau diam, Gus Yahya pun menginisiasi pembentukan Tim Lima PBNU, yang kemudian dikenal sebagai Pansus PKB untuk menyelidiki dan mengevaluasi hubungan PKB dengan PBNU.
Tim Lima pernah dibentuk PBNU yang saat itu diketuai Gus Dur untuk melahirkan PKB pada 1998 lalu.
Pansus PKB sudah memanggil mantan Sekretaris Jenderal PKB Lukman Edy untuk diperiksa. Berikutnya, Pansus PKB memanggil Sekjen PKB saat ini Hasanuddin untuk diperiksa, Senin (5/7/2024) depan.
Sekjen PBNU Saifullah Yusuf alias Gus Ipul, Jumat (26/7/2024), mengklaim PKB saat ini sudah melenceng dari PBNU yang merupakan organisasi pembentuknya. Akhirnya dibentuklah Pansus PKB itu.
Memang, sejak Gus Yahya menduduki kursi Ketua Umum PBNU pada 24 Desember 2021, sejak itulah selalu terjadi perselisihan antara PBNU dan PKB. Hal ini tak terlepas dari residu konflik di masa lalu.
Gus Yahya adalah orang dekat Gus Dur bahkan bisa dikatakan sebagai santrinya. Semasa menjabat Presiden, Gus Dur mengangkat Gus Yahya sebagai salah seorang juru bicaranya.
Gus Yahya adalah keponakan KH Mustofa Bisri alias Gus Mus, sahabat dekat Gus Dur sekaligus kiai besar dan berpengaruh di NU. Gus Yahya adalah anak dari KH Cholil Bisri, kakak kandung Gus Mus.
Adapun Cak Imin adalah keponakan jauh Gus Dur karena merupakan cicit dari KH Bisri Syansuri yang menjadi besan kakek Gus Dur, yakni KH Hasyim Asy’ari. Kiai Bisri Syansuri dan Hasyim Asy’ari adalah pendiri NU.
Dalam perjalanannya, Cak Imin kemudian melawan Gus Dur yang merupakan pamannya sendiri. Sebagai Ketua Umum PKB, Cak Imin mendepak Gus Dur dari jabatan Ketua Dewan Syura PKB.
Lalu terjadilah dualisme kepengurusan PKB antara yang dipimpin Zannuba Arifah Chafsoh alias Yenny Wahid, putri Gus Dur, dan yang dipimpin Cak Imin. Pengadilan kemudian memenangkan kubu Cak Imin.
Nah, saat terjadi dualisme PKB itulah Gus Yahya bersama Gus Ipul berada di kubu Yenny Wahid melawan Cak Imin.
Maka begitu terpilih menjadi Ketua Umum PBNU, Gus Yahya langsung intens menyerang PKB dan Cak Imin.
Menjelang Pemilu 2024 lalu, misalnya, Gus Yahya menyatakan PKB bukan representasi NU meskipun lahir dari rahim PBNU.
Cak Imin yang maju bersama Anies Baswedan sebagai calon wakil presiden dan calon presiden di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 akhirnya kalah dari Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Namun, perolehan suara PKB di Pemilu 2024 justru naik.
Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid kemudian menuduh Gus Yahya kerap menggembosi PKB.
Konflik personal antara Cak Imin dan Gus Yahya kemudian menjelma menjadi konflik institusional antara PKB dan PBNU. Sampai kapan konflik ini akan berakhir? Hanya keduanya yang tahu.
Yang jelas, antara Cak Imin dan Gus Yahya berasal dari “nasab” yang sama, yakni Gus Dur, NU dan PKB. Gus Yahya pun pernah menjadi pengurus pusat PKB sebelum terjadi dualisme.
Dengan Gus Yaqut pun Cak Imin masih satu nasab, yakni Gus Dur, NU dan PKB. Duduknya Gus Yaqut di kursi Menag juga representasi dari PKB. Apalagi Gus Yaqut juga pernah menjadi Ketua Umum Gerakan Pemuda (GP) Ansor.
Akan tetapi, konflik satu nasab atau perang saudara biasanya lebih dahsyat dan tragis.
Akankah nasib Cak Imin dan Gus Yahya akan seperti Dora dan Sembada yang sampyuh atau mati bersama?
Kita tunggu saja “ending”-nya, apakah akan “sad ending” (berakhir sedih) bagi satu pihak dan “happy ending” (berakhir bahagia) bagi pihak lain, ataukah keduanya akan sama-sama “sad ending” atau justru sama-sama “happy ending”?
Kita tunggu saja. Yang jelas, Gus Yahya dan PBNU sudah mendapat sekerat “daging” berupa konsesi tambang batu bara di Kalimantan Timur sana berkat dukungannya kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo dan dukungan diam-diamnya kepada Prabowo-Gibran.
Lalu Cak Imin dapat apa? Dapat banyak dari Gus Dur pamannya. Cak Imin adalah pencetak rekor sebagai wakil ketua DPR termuda pada 1999-2004. Cak Imin kemudian juga jadi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Kini, Cak Imin menjadi wakil ketua DPR lagi. Jangan lupa, Cak Imin juga menjadi Ketua Umum PKB lebih dari 20 tahun lamanya. Semua itu bermula dari tangan dingin Gus Dur yang mengorbitkannya.
Cak Imin juga sudah mendapat sekerat “daging” dari Jokowi, yakni kursi Menteri Desa yang diduduki kakak kandungnya, Halim Iskandar.
Jadi, perseteruan antara Cak Imin dan Gus Yahya bukan ibarat “rebut balung tanpa isi”, melainkan “rebut balung isi” (berebut tulang yang berisi). Itulah! ***