'Lawan Politik Dinasti Jokowi Yang Berlanjut ke Prabowo!'
Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Hanya ada satu kata: lawan!
Ungkapan bernada heroik yang mengutip puisi “Peringatan” (1996) karya Widji Thukul (1963-1998) ini bergema dalam diskusi publik bertajuk, “Dinasti Politik Jokowi: Sebuah Penghancuran Sistem Demokrasi dan Penegakan Hukum” dalam rangka Refleksi 28 Tahun Reformasi 1998 di Batik Kuring SCBD Park, Semanggi, Jakarta Selatan, Rabu (31/7/2024).
Tampil sebagai pembicara dalam diskusi yang dihadiri ratusan relawan dan aktivis lintas angkatan dan lintas partai politik itu adalah Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus SH, budayawan Erros Djarot, pakar hukum tata negara Refly Harun, anggota DPR RI dari PDI Perjuangan Deddy Sitorus, pengamat politik dari Universitas Airlangga Surabaya Airlangga Pribadi Kusman, dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2015-2019 Saut Situmorang, serta dimoderatori wartawan senior Kompas Tri Agung Kristanto.
Diskusi publik tersebut juga dihadiri sejumlah advokat dari TPDI, yakni Erick S Paat, Jemmy S Mokolensang dan Ricky D Moningka, serta aktivis senior berusia 80 tahun Andi Sahrandi yang juga memberikan “closing statment” (pernyataan penutup).
Sebelum diskusi dimulai, kepada wartawan Petrus Selestinus mengungkapkan, selama hampir 10 tahun Presiden Joko Widodo memimpin Indonesia, telah terjadi penghancuran sistem demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia, sehingga ia mengajak para relawan dan aktivis terus mengkritisi pemerintahan Jokowi, bahkan melakukan perlawanan, baik melalui jalur politik di DPR RI maupun jalur hukum di pengadilan.
“Yang penting perlawanan itu dilakukan secara konstitusional, jangan anarkis,” kata Petrus yang kerap menggugat kebijakan-kebijakan pemerintah yang melawan akal sehat.
Segala kehancuran yang terjadi di masa pemerintahan Jokowi yang tersisa kurang dari tiga bulan lagi, baik di aspek demokrasi maupun hukum, kata Petrus, akan berlanjut di era pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang merupakan kelanjutan pemerintahan Jokowi.
“Bahkan pemerintahan Prabowo-Gibran nanti adalah pemerintahan Jokowi jilid 3, karena Gibran merupakan anak sulung Jokowi, dan Prabowo pun sudah berkomitmen untuk melanjutkan program-program kerja Jokowi,” jelas Petrus.
Sementara itu, Erros Djarot saat menjadi narasumber menyatakan, secara normatif pemerintahan Jokowi akan selesai dengan sendirinya pada 20 Oktober mendatang.
“Yang perlu dipikirkan adalah pemerintahan berikutnya, bagaimana cara melawan mereka,” kata pencipta lagu masterpiece “Badai Pasti Berlalu” ini.
Saut Situmorang menambahkan, Presiden Jokowi juga telah menghancurkan KPK melalui revisi Undang-Undang KPK, dari UU No 30 Tahun 2002 menjadi UU No 19 Tahun 2019.
“Saat UU KPK diganti tahun 2019, sebenarnya saya berpikir saat itulah Jokowi di-impeach (digulingkan),” kata Saut yang berlatar intelijen itu.
Adapun Deddy Sitorus menyoroti kerusakan yang tidak hanya terjadi di pemerintahan, tetapi juga di DPR.
“DPR periode ini lebih rusak dari sebelumnya. Salah satu contohnya adalah dalam pembahasan undang-undang yang hanya dilakukan di Badan Legislasi (Baleg}, dan di rapat paripurna tingal minta persetujuan,” ujarnya.
Deddy kemudian menyebut contoh undang-undang yang sedang dibahas di Baleg DPR, seperti revisi UU Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres), revisi UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri, dan UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI yang menuai banyak kritikan.
Senada, Refly Harun menambahkan, revisi UU Polri dan UU TNI akan memperkuat langkah pemerintah mengembalikan dwifungsi Polri-TNI.
“Dwifungsi Polri dan TNI itu sudah terjadi. Banyak perwira tinggi Polri dan TNI yang ditugaskan di kementerian/lembaga bahkan menjadi penjabat gubernur. Nah, dengan revisi UU Polri dan UU TNI maka dwifungsi itu akan diperkuat,” sesalnya.
Sedangkan Airlangga Pribadi Kusman lebih menyoroti gaya kepemimpinan Jokowi yang feodal, sehingga Indonesia yang merupakan negara republik menjadi republik dengan citarasa kerajaan.
“Usai dilantik menjadi Presiden pada periode pertama tahun 2014, Jokowi keluar dari MPR menuju Istana naik andong. Ternyata bayangan di otak dia adalah naik kereta kencana seperti raja,” katanya.