'Kemenangan Rakyat Melawan Penjegalan Konstitusi'
Para politikus di DPR dan pemerintah dianggap ugal-ugalan merevisi UU Pilkada dengan membangkang putusan MK. Ini memicu kemarahan rakyat.
Pandangan Verrel Uziel mulai mengabur. Napasnya sesak karena gas air mata yang memenuhi area sekitar gedung DPR RI menjejal di paru-paru.
Petang itu ia menyisir lokasi demonstrasi untuk membantu kawan-kawannya yang dipukul mundur aparat keamanan pada Kamis, 22 Agustus 2024.
Namun, di berbagai penjuru, jalan-jalan dikepung water cannon—juga anggota Brimob yang tengah bersiaga. Tak ada pilihan lain, untuk pulang ke rumah, Verrel dan kawan-kawannya mesti meloncati pagar pembatas tol. Nahasnya, ketika ia berhasil menapakkan kaki ke aspal, tangannya tergores pagar, mengucurkan darah, meninggalkan luka robek yang berakhir mendapat 11 jahitan.
Pada hari yang sama, kala demo mengawal putusan MK di DPR RI terjadi, Presiden Jokowi menemui jajaran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Istana Kepresidenan membahas ihwal izin tambang dan investasi di Ibu Kota Nusantara (IKN). Hari itu Verrel menyatakan akan terus mengawal putusan MK sampai menang hingga semua proses resmi dilakukan, tidak hanya melalui press conference atau bicara saja.
Kini, diterapkannya putusan MK sampai pada peraturan KPU (PKPU) dengan semestinya, menurutnya, adalah hasil kemenangan rakyat yang menyuarakan kemarahannya.
“Jadi saya berpesan kepada anggota DPR, tunjukkan iktikad baik (selalu) kepada rakyat karena, jika sekali-kali lagi kalian berani membohongi rakyat, berani menghina konstitusi, jangan salahkan kami kalau pada akhirnya kamilah yang menyeret teman-teman Dewan Perwakilan Rakyat dari gedung tersebut. Kami sudah kecewa, kami marah, sehingga semoga hal-hal bisa dilihat dengan bijak,” ungkap Verrel kepada detikX.
“Kali ini rakyat menang. Dan sampai kapan pun akan demikian. Setidaknya kemenangan kemarin bisa kami jadikan bahan bakar ke depannya,” lanjut Verrel.
Demonstrasi penolakan revisi UU Pilkada, yang mengingkari hasil amar Putusan MK Nomor 60 dan 70/PUU-XXII/2024, terjadi di berbagai titik, hampir lebih dari 40 provinsi, kabupaten, dan kota di seluruh Indonesia, yang berlangsung mulai 22 Agustus 2024 hingga hari ini. Beberapa di antaranya di DKI Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Bandung, Makassar, Medan, dan Bandar Lampung.
Korban luka berjatuhan di berbagai daerah hingga para demonstran harus dirawat di rumah sakit. Di Semarang, misalnya, tercatat 26 mahasiswa terluka, setengahnya masuk rumah sakit. Sedangkan di Jakarta, lebih dari 300 orang ditangkap polisi atas dasar mengganggu ketertiban dan perusakan.
Memuncaknya kemarahan publik tak lain dikarenakan adanya indikasi untuk tidak mengakomodasi final Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024. Putusan itu merupakan hasil pengabulan sebagian gugatan yang dilakukan Partai Buruh dan Partai Gelora, menyoal ambang batas pencalonan kepala daerah.
Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan kini partai maupun gabungan partai tak harus memenuhi ambang batas 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah untuk mencalonkan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Bergantung pada jumlah daftar pemilih tetap (DPT) di berbagai wilayah, ambang batas pencalonan berubah di rentang 6,5 persen hingga 10 persen.
Adapun putusan lain MK yang diumumkan pada hari yang sama, Selasa, 20 Agustus 2024, yaitu menolak permohonan Perkara Nomor 70/PUU-XXII/2024 menyoal pengujian ketentuan persyaratan batas usia minimal calon kepala daerah yang diatur dalam Pasal 7 Ayat (2) huruf e Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada).
Berdasarkan hasil putusan MK itu, usia calon gubernur dan wakil gubernur minimal 30 tahun terhitung saat penetapan calon kepala daerah. Bukan saat pelantikan seperti putusan Mahkamah Agung (MA). Itu artinya, putra Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, tidak bisa maju sebagai kandidat gubernur/wakil gubernur. Seperti diketahui, pada hari yang sama dengan putusan MK itu, Kaesang sempat mengurus tiga surat sekaligus untuk menjadi bakal calon Wakil Gubernur Provinsi Jawa Tengah ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Tak lama dari dua putusan MK itu, Presiden Jokowi memanggil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Supratman Andi Agtas ke Istana Kepresidenan. Supratman adalah politikus Partai Gerindra yang sebelumnya menjabat Ketua Badan Legislasi DPR.
"Beliau (Jokowi) hanya membicarakan itu terkait pokoknya terkait undang-undang karena kebetulan saya latar belakang di Badan Legislasi, kemudian beliau juga menyarankan dilakukan harmonisasi supaya undang-undang tidak tumpang tindih satu sama yang lain," kata Supratman.
Belum sampai 24 setelah dua putusan tersebut, keesokan harinya pada Rabu (21/8/2024), DPR menggelar rapat Baleg dan rapat kerja dengan pemerintah, menghasilkan revisi UU Pilkada yang berbeda dengan hasil amar putusan MK.
Hanya PDI Perjuangan yang menyatakan tidak sepakat dari sembilan fraksi yang hadir di rapat tersebut. Namun rapat tersebut tetap menyetujui hasil revisi untuk dilanjutkan dibawa ke sidang paripurna DPR pada Kamis, 23 Agustus 2024.
Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Pemenangan Pemilu Eksekutif Deddy Sitorus mengungkapkan kekecewaannya terhadap proses ganjil yang mengarah pada pembangkangan konstitusi hari itu.
“Dalam hitungan jam setelah pengumuman Mahkamah Konstitusi, mereka (DPR) sudah langsung melakukan Bamus dan menetapkan untuk dibahas oleh Baleg. Ini belum pernah kejadian. Ini kan menggunakan lembaga legislatif untuk membangkang terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi. Ini kejahatan konstitusional. Karena, kalau seperti ini caranya, tidak perlu ada proses legislasi, tinggal tunggu perintah yang order saja siapa mau undang-undang,” kata Deddy ketika ditemui detikX di DPP PDI Perjuangan, Menteng, Jakarta Pusat.
Presiden Jokowi juga menanggapi putusan MK terkait ambang batas pencalonan dan usia calon gubernur dan wakil gubernur. Menurutnya, adanya dinamika antar-lembaga negara (MK dan DPR) dalam mengambil keputusan merupakan hal yang biasa terjadi dan harus dihormati.
"Itu proses konstitusional yang biasa terjadi di lembaga-lembaga negara yang kita miliki," kata Jokowi. Ini berbeda dengan pernyataan Jokowi sebelumnya pada Kamis, 27 Juni 2019, dan Selasa, 23 April 2024, yang menyatakan putusan MK bersifat final dan mengikat.
Demi Masa Depan Partai
PKB, yang kini masuk dalam Koalisi Indonesia Maju, turut bersepakat untuk merevisi UU Pilkada. Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luluk Nur Hamidah mengatakan PKB awalnya berusaha menghormati putusan final MK terkait Pilkada. Namun, menjelang rapat Baleg dan rapat kerja di DPR, terlalu sempit waktu untuk saling berkoordinasi di lingkup internal PKB.
Luluk mengatakan kala itu terdapat keputusan yang harus diambil secara cepat oleh PKB yang menyangkut nasib partai masa mendatang. Bahkan hal tersebut belum sempat diinformasikan kepada Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, yang mestinya turut mengambil keputusan.
“Saya tidak tahu ya alasannya apa, tetapi barangkali menurut saya teman-teman ini berpikir pasti ada yang kemudian harus dijaga, yang ini menyangkut masa depan partai-lah,” jelas Luluk kepada detikX.
“Itu sebuah keputusan yang diambil tidak dengan sukacita, kira-kira seperti itu. Dalam tanda kutip penting bisa semua keputusan yang diambil dalam kondisi, di mana PKB sendiri itu sudah akan Muktamar dan kita tidak menginginkan hal yang tidak baik itu menjadi gangguan bagi Muktamar dan hasilnya,” lanjutnya.
Luluk berusaha membuka komunikasi dengan Ketua Umum untuk mempertegas posisi bahwa PKB juga turut berusaha mengawal putusan Mahkamah Konstitusi. Keesokan harinya, PKB menyatakan sikapnya dengan tidak hadir dalam rapat paripurna DPR RI pada Kamis (22/8/2024). Mereka menolak RUU Pilkada yang hendak disahkan karena menilai pembahasannya dilakukan secara kilat.
Begitu juga dengan salah satu partai lain di KIM yang detikX mintai konfirmasi. Partai tersebut merasa revisi UU Pilkada yang menganulir putusan MK itu tak tepat. Namun partainya tak bisa mengingkari keinginan partai-partai yang tergabung dalam KIM.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman sempat menemui massa di tengah demonstrasi pada Kamis, 22 Agustus 2024. Siang itu ia menyatakan tidak ada pengesahan RUU Pilkada.
"Hari ini kami menyampaikan, tidak ada pengesahan RUU Pilkada," kata Habiburokhman dari atas mobil komando Partai Buruh. Massa aksi melemparkan botol-botol plastik mineral ke arahnya. Para demonstran juga memakinya.
Sebelumnya, mewakili Fraksi Partai Gerindra dalam rapat Badan Legislatif untuk merevisi UU Pilkada, Habiburokhman sepakat dan mengatakan revisi tersebut merupakan bagian dari angin segar demokrasi. Setelah batalnya revisi UU Pilkada, kini Partai Gerindra menyatakan menghormati keputusan dan menjalankan putusan akhir MK terkait Pilkada 2024.
“Tentu kami mengacu pada Undang-Undang Pilkada terakhir yang sudah diubah oleh putusan Mahkamah Konstitusi. Jadi, sebelum undang-undang itu diubah, yang berlaku adalah yang terakhir. Jadi itu yang akan menjadi acuan bagi kami dan tentu itu juga akan menjadi acuan bagi KPU sebagai penyelenggara pilkada di seluruh Indonesia,” kata Habiburokhman kepada detikX.
Adapun Partai Demokrat, yang sebelumnya bersepakat dalam Bamus revisi UU Pilkada, kini mendukung pelaksanaan pilkada sesuai putusan MK. "Kami mendorong agar KPU RI dapat segera menyusun peraturan KPU yang sejalan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi," kata Waketum Partai Demokrat Benny K Harman dalam pernyataan resminya yang diterima detikX pada Sabtu, 24 Agustus 2024.
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan ini merupakan kemenangan bagi rakyat. Ke depannya, ia berharap masyarakat terus mengawal UU lainnya, seperti revisi UU TNI, UU Polri, dan UU MK. Menurutnya, ini harus menjadi pembelajaran bagi DPR supaya tidak mengulang "penjegalan" konstitusi dan tidak menyalahgunakan wewenangnya untuk demokrasi.
“DPR mestinya belajar dari sini. Ini akibat dari mereka bikin UU ugal-ugalan, tidak ada partisipasi bermakna. Artinya, kalau mereka tidak mau begini lagi, ya mereka harus benar-benar demokratis ke depannya,” kata Bivitri kepada detikX.
Bivitri juga menegaskan kini putusan MK sudah benar-benar tidak bisa dianulir dan harus dilaksanakan. “Tidak ada paripurna untuk putusan ini. Jadi, kalau masih ada yang bingung dan bertanya apa masih ada celah, rapat konsultasi ke DPR hasilnya tidak mengikat KPU. KPU saja yang tidak independen dan terlalu menunduk ke DPR,” tandas Bivitri.
Sumber: DetikX