DEMOCRAZY.ID - Presiden (waktu itu) Bacharuddin Jusuf Habibie mencopot Letjen Prabowo Subianto dari jabatannya sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) sehari setelah Presiden Soeharto lengser pada 21 Mei 1998.
Keputusan tersebut diambil Habibie usai menerima laporan dari Panglima ABRI (Pangab), Jenderal Wiranto ihwal pergerakan pasukan Kostrad dari luar kota menuju Jakarta. Laporan itu disampaikan Wiranto melalui telepon pada 22 Mei 1998 pukul 06.10 WIB.
Setelah Prabowo dicopot, Asisten Operasi Pangab, Letjen Johny Lumintang ditunjuk sebagai Pangkostrad sementara dengan tanggung jawab memulangkan semua pasukan ke markas sebelum matahari terbenam.
Keesokan harinya, 23 Mei 1998 Panglima Divisi Siliwangi, Mayjen Djamari Chaniago ditunjuk sebagai Pangkostrad baru.
Terjadi debat panas antara Prabowo dan Habibie sebelum Mayjen Djamari Chaniago dilantik jadi Pangkostrad.
Perdebatan keduanya dibeberkan Habibie dalam buku “Detik-Detik yang Menentukan-Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi” penerbit THC Mandiri (2006).
Dialog Prabowo dan Habibie 26 tahun silam itu terangkum di halaman 102-103 buku setebal 549 halaman tersebut. Habibie menyebut kala itu ia dan Prabowo berdebat dengan bahasa Inggris.
“Ini suatu penghinaan bagi keluarga saya dan keluarga mertua saya Presiden Soeharto, Anda telah memecat saya sebagai Pangkostrad,” demikian yang dikatakan Prabowo kepada Habibie kala itu.
Habibie menjawab, Prabowo tidak dipecat melainkan ditugaskan ke posisi lain sebagai Komandan Sekolah Staf dan Komando ABRI.
“Mengapa?” tanya Prabowo.
“Saya mendapat laporan dari Pangab (Jenderal Wiranto), bahwa ada gerakan pasukan Kostrad menuju Jakarta, yakni Kuningan (tempat tinggal Habibie) dan Istana Merdeka,” jawab Habibie.
Prabowo mengatakan, pergerakan sejumlah pasukan Kostrad itu bertujuan untuk mengamankan presiden. Namun, pernyataan itu langsung ditepis Habibie.
“Itu (mengamankan presiden) tugas Pasukan Pengaman Presiden yang bertanggungjawab langsung pada Pangab dan bukan tugas Anda,” demikian kata Habibie.
“Presiden apa Anda? Anda naif,” sahut Prabowo dengan nada marah.
“Masa bodoh, saya Presiden dan harus membereskan keadaan bangsa dan negara yang sangat memprihatinkan, jawab saya,” kata Habibie lagi.
Atas nama ayahnya, Profesor Soemitro Djojohadikusumo dan ayah mertuanya Presiden Soeharto, Prabowo memohon pada Habibie agar diberi waktu tiga bulan untuk menjadi Pangkostrad. Namun, permintaannya langsung ditolak Habibie.
“Saya menjawab dengan nada tegas, tidak. Sampai matahari terbenam Anda sudah harus menyerahkan semua pasukan kepada Pangkostrad yang baru,” kata Habibie.
Prabowo kemudian minta waktu tiga minggu hingga tiga hari untuk tetap menempati posisi sebagai Pangkostrad. Lagi-lagi permohonan itu ditolak Habibie.
“Saya langsung menjawab, tidak. Sebelum matahari terbenam semua pasukan sudah harus diserahkan kepada Pangkostrad yang baru. Saya bersedia mengangkat Anda menjadi duta besar di mana saja,” begitu kata Habibie.
Di tengah perdebatan, Sintong Panjaitan masuk dan meminta Prabowo keluar. Namun, Habibie meminta Sintong memberi sedikit waktu kepada Prabowo.
Prabowo kemudian meminta izin Habibie untuk menghubungi Wiranto melalui telepon.
Habibie lantas meminta ajudannya menghubungi Wiranto. Namun, Pangab tidak bisa dihubungi saat itu.
Sintong Panjaitan pun kembali meminta Prabowo pergi karena ada tamu lain yang menunggu, Gubernur Bank Indonesia waktu itu sudah menunggu untuk jumpa Habibie.
Sebelum berpisah, Habibie sempat memeluk Prabowo.
“Saya masih sempat memeluk Prabowo dan menyampaikan salam hormat saya untuk ayah kandung dan ayah mertua Prabowo," ungkap Habibie.
Dalam bukunya itu, Habibie penuh pertimbangan untuk dapat menerima Prabowo di Wisma Negara.
Kala itu Prabowo dipandang oleh Habibie sebagai sahabatnya dan menantu soeharto.
“Karena Prabowo adalah menantu Presiden Soeharto di mana budaya feodal masih subur, maka dalam Gerakan dan tindakannya sering terjadi konflik antara disiplin militer dan disiplin sipil. Apa pun yang dilakukan (Prabowo) akan ditolerir dan tidak pernah mendapat teguran dari atasannya. Kebiasaan pemberian ‘eksklusivitas’ kepada Prabowo adalah mungkin salah satu penyebab gerakan pasukan Kostrad tanpa konsultasi, koordinasi dan sepengetahuan Pangab terjadi,” tulis Haibie (halaman 101).
Namun, pada akhirnya Prabowo diizinkan menemui Habibie dengan syarat mematuhi peraturan, yakni tanpa membawa senjata.
Sumber: VIVA