POLITIK

Bocor! Katanya Prabowo Subianto 'Marah Besar' Soal Revisi Undang-Undang

DEMOCRAZY.ID
Agustus 24, 2024
0 Komentar
Beranda
POLITIK
Bocor! Katanya Prabowo Subianto 'Marah Besar' Soal Revisi Undang-Undang



DEMOCRAZY.ID - Presiden RI terpilih Prabowo Subianto dikabarkan sangat marah atas adanya manuver revisi Undang-Undang Pilkada setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK).


Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) era Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Hamid Awaluddin membongkar dalam program Gaspol! di Youtube Kompas.com, Jumat (23/8/2024).


Hamid mengaku mendapat kabar jika Prabowo sangat marah dengan adanya gerakan revisi UU Pilkada di DPR RI. Namun, ia tak bisa membenarkan akan kabar tersebut.


“Saya dengar, pagi ini (Jumat) Pak Prabowo itu marah luar biasa karena kenapa tiba-tiba ada gerakan untuk merevisi undang-undang (UU Pilkada). Saya tidak tahu kebenarannya. Saya dengar,” ungkap Hamid.


Meski tak bisa memastikan kebenaran akan kabar tersebut, Hamid meyakini bahwa Prabowo betul-betul marah.


Keyakinan itu merujuk dari sikap Wakil Ketua DPR sekaligus elite Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad yang tiba-tiba balik badan mengumumkan pengesahan revisi UU Pilkada dibatalkan.


“Makanya Dasco sebagai orang Gerindra tiba-tiba balik badan kan, tiada hujan, tiada guntur, tiba-tiba balik (badan),” kata Hamid.


Hamid mengatakan, kemarahan itu benar adanya, hal itu merupakan respons yang wajar dari Prabowo.


Hamid yakin bahwa Prabowo juga tak ingin kontroversi UU Pilkada hasil revisi akan menjadi beban dirinya yang segera dilantik menjadi Presiden tak kurang dari dua bulan lagi.


Lebih dari itu, jika revisi UU Pilkada tetap dipaksakan, Hamid melanjutkan, tidak menutup kemungkinan protes masyarakat akan terus berlanjut hingga masa kepemimpinannya.


“Tentu Anda bertanya? Kenapa ya? Kalau memang cerita itu benar, Pak Prabowo bisa marah begitu. Ya dia tidak mau (revisi UU Pilkada) jadi beban ke depan,” ujar Hamid.


“Dia dilantik kurang dari dua bulan. Ini beban ke depan dia. Gelombang protes pasti berlangsung kalau memang dipaksakan. Tidak akan berhenti,” katanya. 



Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menegaskan, tak akan ada sidang paripurna pada hari-hari mendatang jelang dibatalkannya pengesahan Revisi Undang-Undang (RUU) Pilkada.


Kata Dasco, tidak akan digelarnya sidang paripurna mendatang karena sudah terbatas waktu.


Dimana, DPR RI memiliki aturan kalau sidang paripurna digelar hanya pada hari Selasa dan Kamis. Sementara, hari Selasa mendatang yakni pada tanggal 27 Agustus 2024 sudah masuk pada masa pendaftaran calon kepala daerah ke KPU.


"Enggak ada. Karena hari Paripurna kan Selasa dan Kamis. Selasa sudah pendaftaran (Calon Kepala Daerah). Masa kita paripurna kan pada saat pendaftaran? Malah bikin chaos dong," kata Dasco saat dimintai tanggapannya kepada awak media, Kamis (22/8/2024).


Saat disinggung soal kemungkinan DPR RI mengesahkan RUU Pilkada malam ini atau tidak, Dasco membantahnya. 


Ketua Harian DPP Partai Gerindra itu menjamin tidak akan ada lagi sidang paripurna setelah dibatalkan pada siang tadi. 


"Enggak ada, saya jamin enggak ada," kata dia.


Dengan begitu, maka kata Dasco, Pilkada tahun ini aturannya akan merujuk pada putusan gugatan uji materi oleh Mahkamah Konstitusi RI (MK). 


Dirinya lantas menyatakan kalau isu yang membuat polemik di masyarakat jelang Pilkada ini sudah selesai.


"Maka yang berlaku pada saat pendaftar pada tanggal 27 Agustus, adalah hasil keputusan JR MK yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora, udah selesai dong," tandas dia.


Badan Legislasi (Baleg) DPR RI sebelumnya sepakat akan membawa draf Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ke Rapat Paripurna yang rencananya akan digelar Kamis (22/8/2024). 


Dengan begitu RUU yang pembahasannya dikebut hanya dalam rapat panja satu hari ini berpotensi akan menjadi Undang-Undang.


Kesepakatan membawa draf RUU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada ke Rapat Paripurna itu diambil dalam rapat pandangan mini fraksi yang digelar setelah Rapat Panja RUU Pilkada pada Rabu (21/8/2024).


Sebanyak delapan dari sembilan fraksi partai politik, seperti Gerindra, Demokrat, Golkar, PKS, NasDem, PAN, PKB, dan PPP setuju. 


Sementara yang menyatakan tidak sepakat dengan RUU itu dibawa ke Paripurna hanya Fraksi PDIP.


Dengan batalnya pelaksanaan rapat paripurna DPR, maka RUU Pilkada kembali kepada putusan MK pada Selasa (20/8) dengan mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah sebagaimana yang dimohonkan oleh Partai Buruh dan Gelora.


MK juga menegaskan penghitungan syarat usia minimal calon kepala daerah dilakukan sejak Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pasangan calon, bukan sejak pelantikan calon terpilih.


Putusan MK (20 Agustus 2024) mengubah ambang batas pencalonan didasarkan pada jumlah penduduk. 


Artinya, pencalonan kepala daerah dari partai politik disamakan dengan threshold pencalonan kepala daerah jalur independen/perseorangan/nonpartai.


Mengenai batas usia, menurut UU No. 10/2016 tentang Pilkada, batas usia paling rendah calon Gubernur adalah 30 tahun. 


Menurut putusan MK, batas usia minimum calon Gubernur tetap 30 tahun, namun itu saat ditetapkan oleh KPU sebagai calon, bukan saat dilantik. 


Sementara keputusan Baleg DPR menyatakan batas usia paling rendah calon Gubernur adalah 30 tahun, saat dilantik.


Terpisah, Istana melalui Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi mengatakan bahwa pemerintah sama seperti DPR, akan mengikuti aturan terakhir mengenai syarat pencalonan dalam Pilkada serentak 2024, apabila  pengesahan Revisi Undang-Undang Pilkada tidak kunjung dilakukan.


"Jika sampai tanggal 27 Agustus ini tidak ada pengesahan Undang-Undang Pilkada artinya DPR akan mengikuti aturan yang terakhir. Begitu pernyataan dari DPR tadi. Wakil ketua DPR tadi menyatakan itu, akan mengikuti aturan terakhir yaitu putusan MK," kata Hasan di Istana Kepresidenan, Jakarta.


"Nah, pemerintah juga berada pada posisi yang sama seperti sebelumnya, Yaitu mengikuti aturan yang berlaku. Jadi selama tidak ada aturan yang baru, maka pemerintah akan ikut menjalankan aturan-aturan yang saat ini masih berlaku. Jadi begitu posisi pemerintah," tambahnya.


Menurut Hasan, sikap pemerintah dibatasi. Dalam menyikapi polemik aturan tersebut, pemerintah harus mengikuti undang-undang atau aturan yang baru. 


"Jadi maksudnya, tidak bisa belok-belok. Sudah ada relnya nih. Ini sudah kayak kereta ini. Sudah kita ada di relnya. Jadi itu pada prinsip pemerintah seperti itu. Jadi, tidak bisa ditafsirkan lain," pungkasnya.


Sumber: Tribun

Penulis blog