'Beringin Dalam Genggaman Jokowi'
Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia
“De facto”, Partai Golkar sudah dalam genggaman Presiden Jokowi. “De jure”, masih menunggu musyawarah nasional, 20 Agustus mendatang.
Ya, partai Beringin sudah “dikuasai” Jokowi pasca-Airlangga Hartarto undur diri dari jabatan Ketua Umum Partai Golkar, Sabtu (10/8/2024).
Agus Gumiwang Kartasasmita, Menteri Perindustrian, kemudian terpilih menjadi Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum Partai Golkar dalam rapat pleno, Selasa (13/8/2024) malam. Tugasnya: melaksanakan munas 20 Agustus nanti.
Usai ditetapkan sebagai plt, secara tegas putra Ginandjar Kartasasmita itu menyatakan tidak akan maju sebagai calon ketua umum.
Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), nyaris dapat dipastikan akan terpilih sebagai ketua umum definitif.
Idrus Marham, mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar yang kini menjabat Ketua Dewan Pembina Badan Pemenangan Pemilu Partai Golkar mengklaim, Bahlil sudah didukung 34 Dewan Pimpinan Daerah (DPD) I Partai Golkar di seluruh Indonesia.
Empat DPD I lainnya sedang dalam proses untuk mendukung. Bahlil diprediksi akan terpilih secara aklamasi.
Apakah Bahlil yang belum pernah menjadi Ketua DPP atau Ketua DPD bisa menjadi ketua umum? Idrus yang tampaknya memosisikan diri sebagai tim sukses Bahlil itu mengklaim bisa.
Pasalnya, semasa Golkar diketuai Aburizal Bakrie (2009-2014), dirinya selaku sekjen menandatangani surat keputusan Bahlil sebagai Bendahara DPD I Partai Golkar Papua.
Agus dan Bahlil adalah anak buah atau orang-orang dekat Jokowi di kabinet. Melalui dua orang itu, Jokowi bisa “menguasai” Golkar.
Mungkin Jokowi akan menjadi Ketua Dewan Pembina Partai Golkar. Bahkan bisa saja menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Kemungkinan ke arah itu tentu saja ada. Soal syarat dan prosedur, munas bisa mengaturnya.
Dengan ilmu “utak atik gathuk”, Ridwan Hisjam, yang sudah lama hendak mendongkel Airlangga dari kursi panasnya, itu menyebut Jokowi pantas menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Pasalnya, sudah sejak 1997 Jokowi menjadi “kader” Golkar.
Kedua, katanya, jargon pemerintahan Jokowi, “kerja kerja kerja” sangat cocok dengan ideologi Golkar, yakni karya-kekaryaan.
Jika nanti benar Jokowi menjadi Ketua Dewan Pembina atau bahkan Ketua Umum Partai Golkar, maka sempurnalah sudah Jokowi menggenggam Beringin: tidak hanya “de facto”, tapi juga de jure”.
Bahkan kalaupun Jokowi tidak menjadi apa pun di Golkar, ia tetap bisa mengendalikan parpol yang eksis sejak awal Orde Baru itu karena ada Bahlil di kursi Beringin-1.
Ada pula “kuda hitam” yang bisa saja akan menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Dia adalah Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi yang merupakan calon wakil presiden terpilih Pemilihan Presiden 2024.
Sebelumnya, Gibran memang bukan kader Golkar. Tapi semenjak maju sebagai cawapres, bekas Walikota Surakarta, Jawa Tengah, ini diklaim Golkar sebagai kader atau representasinya.
Apakah Gibran memenuhi syarat menjadi ketua umum? Munas sebagai forum tertinggi partai bisa mengaturnya.
Apalagi ada kecenderungan orang yang dekat dengan kekuasaan akan diakomodasi Golkar. Contohnya Bahlil.
Contohnya lainnya Jusuf Kalla. Usai terpilih menjadi wapres pendamping Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Pilpres 2004, JK langsung bisa mengambil alih kursi Ketua Umum Partai Golkar dari tangan Akbar Tandjung yang dalam pilpres tersebut mendukung pasangan capres-cawapres, Megawati Soekarnoputri-KH Hasyim Muzadi.
Jika benar Gibran terpilih menjadi Ketua Umum Partai Golkar, maka itu sama artinya dengan Jokowi menggenggam Beringin pula.
Jokowi memang membutuhkan semacam “jimat” supaya usai lengser 20 Oktober nanti tidak “dikuya-kuya”, akibat “loss power” (kehilangan kekuasaan) dan “post power syndrome” seperti Soeharto yang ibarat “lame duck” (bebek lumpuh).
Dan jimat itu adalah Golkar, partai terbesar kedua di Indonesia setelah PDI Perjuangan, dengan kepemilikan 102 kursi di DPR RI.
Dengan menggenggam Beringin, Jokowi masih bisa melakukan peran penting dalam percaturan politik nasional, bahkan mengamankan dirinya supaya tidak “dikuya-kuya”, diperiksa Kejaksaan Agung atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan korupsi dirinya dan keluarganya.
Dengan menggenggam Beringin, Jokowi batal “dikuya-kuya”. ***