DEMOCRAZY.ID - Pengamat Ekonomi dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menanggapi ucapan Menteri Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono ihwal anggaran ganti rugi lahan yang terdampak proyek Ibu Kota Nusantara (IKN).
Besaran dana yang disiapkan pemerintah untuk membayar ganti rugi lahan seluas 2.086 hektare itu disebut sebesar Rp 140 miliar.
Jika dirinci, dengan anggaran Rp 140 miliar untuk 2.086 hektare, harga ganti rugi diperkirakan sebesar Rp 6.715 per meter persegi.
Menanggapi hal tersebut, Achmad menilai kebijakan ini tidak berpihak kepada kepentingan dan hak rakyat.
“Jika harga ganti rugi yang hanya sekitar Rp 6.715 per meter persegi itu benar, maka jelas terlihat bahwa kebijakan ini sangat tidak berpihak kepada masyarakat lokal yang terdampak,” ujar Achmad kepada Tempo ketika dihubungi pada Selasa sore, 27 Agustus 2024.
Achmad mengatakan, ini menimbulkan kesan bahwa proyek IKN lebih difokuskan untuk kepentingan kelompok elite, seperti pegawai negeri sipil (PNS) dan para pejabat di Jakarta, daripada untuk masyarakat setempat yang justru seharusnya mendapatkan manfaat langsung dari pembangunan IKN.
Seperti diketahui, saat ini proyek pembangunan IKN masih terus berlanjut. Pemerintah memperkirakan dana yang dibutuhkan untuk membangun IKN mencapai Rp 466 triliun. Sebagian dana tersebut akan diambil dari APBN, sebagian lainnya dari investasi.
Jika dikontraskan, Achmad menilai angka ganti rugi untuk warga sebesar Rp 140 miliar terlihat kecil dibandingkan total anggaran pembangunan IKN yang menembus Rp 466 triliun itu.
Terlebih, pemerintah juga menggelontorkan dana sebesar Rp 87 miliar untuk perayaan HUT RI ke-79 di IKN pada pertengahan Agustus lalu.
Dana yang dikeluarkan untuk acara yang hanya berlangsung satu hari itu lebih besar daripada anggaran perayaan rutin tiap 17 Agustus di Jakarta sebesar Rp 53 miliar.
Anggaran ini utamanya dialokasikan untuk pengadaan alat-alat upacara, sarana dan prasarana fisik, serta jamuan untuk tamu dan peserta upacara.
Achmad mengatakan, besaran anggaran ganti rugi ini berpotensi menciptakan ketidakpuasan dan perasaan ketidakadilan di kalangan masyarakat adat dan penduduk sekitar.
“Mereka bisa merasa bahwa mereka menjadi korban dari sebuah proyek besar yang seharusnya membawa perubahan positif bagi mereka, tetapi malah menempatkan mereka dalam posisi yang dirugikan,” ujarnya.
Sebelumnya, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono menyatakan pihaknya menyiapkan Rp 140 miliar untuk mengganti rugi warga terdampak.
Ganti rugi itu disiapkan untuk warga yang lahannya bakal digunakan untuk proyek tol seksi 6a dan 6b, pengendali banjir Sepaku, serta Masjid IKN.
Ia menjelaskan, pembayaran ganti rugi ini mengacu pada Perpres Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan IKN.
Lebih lanjut, Achmad juga menyoroti pola pengambilalihan tanah masyarakat oleh negara untuk mengebut proyek pembangunan IKN ini.
“Dalam konteks ini, memang ada kemiripan dengan pola kolonialisme, di mana sumber daya lokal diambilalih oleh kekuatan yang lebih besar dengan imbalan yang minim untuk penduduk asli,” katanya.
“Katanya Presiden Jokowi merasa IKN adalah ibukota (yang) terbebas dari rasa kolonialisme, namun ternyata bagi masyarakat setempat bisa jadi IKN adalah kolonialisme karena mereka hanya dijadikan objek penderita daripada mendapatkan banyak manfaat,” tutur dia.
Achmad mengingatkan pemerintah untuk bersikap adil. Menurut dia, apabila masyarakat adat dan lokal merasa bahwa mereka hanya mendapatkan sedikit manfaat dari pembangunan ini, maka bisa saja muncul perlawanan sosial yang serius.
“Perasaan bahwa tanah mereka diambil alih tanpa kompensasi yang adil dapat memicu konflik, protes, dan ketidakstabilan sosial,” jelas Achmad.
Pihak pemerintah, tutur Achmad, perlu meninjau ulang kebijakan terkait anggaran ganti rugi ini dan memastikan bahwa proses pembayaran dilakukan secara adil dan transparan.
Terutama dengan mempertimbangkan hak dan kepentingan masyarakat setempat.
Pemerintah perlu memastikan masyarakat mendapat bagian dari hasil pembangunan megaproyek Rp 466 triliun itu, baik berupa kompensasi yang layak, kesempatan kerja, maupun akses terhadap fasilitas dan infrastruktur yang dibangun.
Sumber: Tempo