POLITIK

[ANALISIS] Panas Dingin Hubungan Jokowi-Megawati, Mungkinkah Mereda?

DEMOCRAZY.ID
Agustus 08, 2024
0 Komentar
Beranda
POLITIK
[ANALISIS] Panas Dingin Hubungan Jokowi-Megawati, Mungkinkah Mereda?



DEMOCRAZY.ID - Relasi antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri kembali jadi perhatian belakangan ini. 


Pada awal pekan ini, saat memberikan sambutan di sebuah acara, Mega mengatakan hubungannya dengan Jokowi baik-baik saja.


Mega menyebut dirinya hanya menolak wacana perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode. 


Ia menegaskan hal itu bertentangan dengan konstitusi, karena masa jabatan presiden telah dibatasi sejak reformasi berakhir.


"Saya sama Presiden baik-baik saja. Memangnya kenapa? Hanya karena saya dikatakan, karena saya tidak mau ketika diminta tiga periode. Atau karena saya katanya tidak mau memperpanjang? Lho, saya tahu hukum kok," kata Megawati.


Menanggapi pernyataan Mega, pihak Istana pun mengatakan Jokowi tetap menjaga komunikasi dan silaturahmi dengan siapapun. 


Tak terkecuali dengan Mega. Namun, tak ada kejelasan apakah Jokowi mau bertemu Megawati dalam waktu dekat.


Hubungan keduanya memang tampak merenggang sejak tahapan Pilpres 2024 dimulai. 


Apalagi setelah putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka berpasangan dengan Prabowo Subianto.


Padahal, PDIP juga punya pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusung bersama Perindo dan Hanura. Koalisi partai ini mengusung Ganjar Pranowo-Mahfud MD.


Jokowi tidak lagi terlihat menghadiri acara PDIP belakangan ini. Di momen Idul Fitri tahun ini, kedua tokoh itu juga tak bertemu.


Pengamat politik Universitas Padjadjaran (Unpad) Kunto Adi Wibowo berpandangan ketegangan hubungan Jokowi dan Mega karena keduanya merasa saling tersinggung dan terkhianati.


Jokowi, menurut dia, mungkin saja tersinggung dengan pernyataan-pernyataan Megawati di acara PDIP.


"Pak Jokowi merasa bahwa setiap kali acara PDIP, ultah, kongres, munas, selalu disebut-sebut sebagai petugas partai. Bahwa dia itu Presiden Indonesia, kepala negara, dua periode, tapi seakan-akan tidak dihargai di dalam partainya sendiri," kata Kunto saat dihubungi, Rabu (7/8) malam.


Ia berpendapat rasa tersinggung atau sakit hati itu bisa jadi alasan Jokowi mengambil sikap yang akhirnya membuat Megawati kecewa. Misalnya, dengan mendorong putranya sendiri maju di Pilpres 2024.


Dengan sikap Jokowi itu, Mega pun merasa terkhianati dengan kader partainya sendiri. Bahkan, Jokowi diduga dengan berbagai cara 'menggembosi' kantong-kantong suara PDIP.


"Bu Mega merasa terkhianati, karena kadernya, kader yang dia pilih untuk jadi presiden, yang dia bela selama 10 tahun, yang disiapkan kendaraan partainya untuk kader terbaik, ternyata di akhir-akhir justru mendukung calon presiden partai lain, dan menggembosi beberapa kantong PDIP," kata Kunto.


Menurut Kunto, saat Pilpres 2024, ada harapan dari PDIP bahwa Jokowi akan kembali ke sisi mereka. 


Karena itu, tak pernah ada sikap atau pernyataan tegas dari partai ke Jokowi. Sementara itu, jika sikap tegas partai diputuskan sekarang sudah percuma.


"Kan sampai sekarang tidak terjadi. Menurut saya ,juga agak percuma kalau sekarang PDIP memecat Pak Jokowi sebagai anggota, ngapain juga. Malahan merugikan dalam peta politik nasional hari ini," tuturnya.


Pengamat politik Universitas Andalas Asrinaldi berpandangan senada. Secara kelembagaan partai, Jokowi memang berada di bawah Megawati. Namun, Jokowi juga seorang presiden yang tidak lagi milik partai politik tertentu.


Asrinaldi menilai sikap Mega yang kerap menyebut-nyebut Jokowi sebagai 'petugas partai' bisa jadi menimbulkan hal yang kurang mengenakkan.


Bertalian dengan Pilpres 2024, ia pun berpendapat Jokowi lebih ingin mencari sosok yang bisa melanjutkan gagasan dan programnya. Sementara Megawati sebagai ketua umum partai, ingin menempatkan kader terbaiknya.


Perbedaan sikap ini yang kemudian memperuncing situasi. Gibran dipasangkan dengan Prabowo yang merupakan rival Jokowi di dua pilpres berturut-turut.


"Barangkali ada yang tidak ketemu. Kemudian Pak Jokowi punya sikap tidak ikut. Ketika dia tidak ikut, Pak Jokowi ingin mencari orang yang bisa dianggap melanjutkan gagasan kerja dia, sehingga pilihan Prabowo, PDIP ke Ganjar, ini yang membuat semakin meruncing," katanya.


Masalah personal dengan Jokowi


Peneliti dari lembaga Charta Politika Indonesia Ardha Ranadireksa menilai pernyataan terbaru dari Megawati menunjukkan bahwa sebenarnya putri Soekarno itu tak punya masalah personal dengan Jokowi.


Menurutnya, persoalan antara Mega dan Jokowi lebih pada hal-hal yang bersifat kelembagaan dan konstitusi. 


Karena itu, kata dia, harus bisa dipisahkan antara Jokowi sebagai personal dan Jokowi sebagai presiden.


"Beliau (Mega) tekankan lagi menolak tiga periode, artinya apa? Mau siapapun presidennya, tentu wacana itu akan ditolak oleh Megawati. Saya lebih melihat Megawati menilai tidak pantas ketika misalnya secara konstitusi tidak diperbolehkan tiga periode," kata Ardha.


Hal yang sama terlihat pada majunya Gibran. Ardha menilai yang ditolak Mega bukan pencalonan Gibran. Namun, adanya dugaan intervensi kekuasaan untuk mengubah aturan.


"Bagaimana aturan via MK diubah, kemudian presiden yang anaknya sedang maju, kemudian cawe-cawe. Sebenarnya di situ, siapapun yang melakukan itu yang ditolak," ucap Ardha.


"Memang harus dipisahkan Jokowi secara personal dan Jokowi sebagai presiden," imbuhnya.


Hubungan Mega-Jokowi bakal seperti Mega-SBY?


Asrinaldi menilai kurang baiknya hubungan Megawati dan Jokowi hingga saat ini karena belum adanya kesamaan kepentingan.


Hal itu, kata dia, juga terjadi pada hubungan Megawati-Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Hubungan kedua tokoh ini panas sejak Pemilu 2004.


"Pak SBY dan Bu Mega belum bertemu, karena kepentingannya belum bertemu, kalau seandainya ada kepentingan bertemu, saya pikir tidak ada persoalan," katanya.


Asrinaldi menyinggung soal PDIP yang selama ini kerap berseberangan dengan Anies Baswedan. Namun, di momen Pilkada 2024, komunikasi antara Anies dan PDIP berjalan.


"Bisa saja sekarang (Bu Mega) tidak bertemu dengan Pak Jokowi, tapi ketika ada musuh bersama yang bisa dihadapi, punya sumber daya yang bisa dikerjasamakan, saya pikir bertemu itu, yang lama-lama dilupakan," katanya.


Sementara itu, Kunto berpendapat Jokowi akan diabaikan Megawati setelah tak lagi menjabat sebagai presiden. 


Ia mengatakan Jokowi berbeda dengan SBY yang punya kekuatan politik di partai, sehingga tak 'layak' untuk dimusuhi berlarut-larut.


"Dia (Jokowi) enggak punya kekuatan politik kayak SBY, sehinggga masih bisa agak dimusuhi. Kalau enggak selevel buat apa dimusuhi? Menurut saya, Bu Mega akan mulai mencueki Jokowi ketika Jokowi sudah lengser dari presiden," katanya.


Sumber: CNN

Penulis blog