Anak Mantu Presiden “Bak Ikan Busuk Hanyut Bersama Arus Kekuasaan”
Gibran Rakabuming, Bobby Nasution, dan Kaesang Pangarep. Nama-nama yang tiba-tiba melesat dalam kancah politik Indonesia.
Mereka menduduki posisi strategis, seakan melangkahi anak tangga yang harusnya dilewati. Tanpa nama belakang Jokowi, apa mungkin mereka bisa melesat secepat ini?
Politik Dinasti yang Busuk
Jika bukan karena status mereka sebagai anak dan menantu Presiden, peluang mereka menjadi pejabat publik hampir mustahil. Dari segi pengalaman, kinerja, dan kapasitas, mereka masih jauh dari kata layak.
Bahkan, untuk menjadi kepala daerah atau pemimpin partai, mereka butuh lompatan yang sangat tinggi, yang tak mungkin terwujud tanpa embel-embel nama besar di belakangnya.
Kenyataannya, posisi mereka tidak didapat dari perjuangan panjang atau prestasi gemilang, melainkan dari aliran kekuasaan.
Mereka tidak menghadapi rintangan yang biasa dialami oleh politisi lainnya. Semua seperti diatur, semua seperti dijalankan atas nama dinasti.
Istilah yang tepat untuk ini? “Even the dead fish can go with the flow.” Mereka hanyut dalam arus kekuasaan, seperti ikan mati yang mengikuti aliran.
Tak Ada Kompetensi, Hanya Nama Besar
Lihat saja sepak terjang Gibran di Solo. Ada kritik di sana-sini, terutama soal proyek-proyek yang terindikasi menguntungkan kelompoknya sendiri. Lalu Bobby Nasution di Medan, yang sempat dikritik karena tata kelola yang masih amburadul.
Kaesang, dengan PSI-nya, apakah bisa membawa perubahan atau sekadar jadi boneka kekuasaan? Dari semua aspek, mereka tidak lebih dari produk dinasti yang diciptakan Jokowi.
Politik dinasti bukan hal baru di Indonesia, tapi ketika praktik ini kian mencolok, kita harus bertanya: Apakah ini yang kita mau?
Apakah Indonesia kekurangan pemimpin potensial hingga harus mengandalkan keluarga Presiden? Tentu saja tidak.
Posisi Publik Bukan Warisan Keluarga
Jabatan publik bukanlah hak waris, bukan pula posisi yang bisa diberikan begitu saja karena hubungan darah.
Pemimpin lahir dari kerja keras, pengalaman, dan pengabdian, bukan sekadar dari garis keturunan. Sayangnya, itulah yang terjadi sekarang.
Keluarga Presiden, dengan mudahnya, duduk di kursi-kursi penting, sementara banyak talenta muda lain tersingkir hanya karena tidak memiliki privilese yang sama.
Kritik Keras untuk Rakyat yang Masih Diam
Diamnya rakyat atas fenomena ini adalah tanda bahaya. Kita seakan membiarkan praktik buruk ini berlangsung tanpa perlawanan.
Jangan biarkan politik dinasti ini menjadi norma. Jangan biarkan mereka menganggap bahwa ini adalah hal yang biasa.
Kita butuh pemimpin yang memang layak, bukan yang hanya sekadar ikut arus. Sebab, seperti pepatah mengatakan, bahkan ikan busuk pun bisa mengapung di air tenang.
Indonesia layak mendapatkan lebih dari sekadar anak dan menantu Presiden yang tanpa kapasitas memadai.
Sudah saatnya kita memilih pemimpin yang benar-benar mampu, bukan yang hanya bisa berenang mengikuti arus kekuasaan. Kita tak butuh ikan mati.
Kita butuh ikan yang benar-benar hidup, yang bisa melawan arus, yang bisa membawa perubahan nyata untuk bangsa ini. ***