'Airlangga Hartarto dan Dua Sisi Lelucon Kursi'
Saat sesi konferensi pers RAPBN 2025, 16 Agustus 2024, seorang wartawan hendak berdiri mengajukan pertanyaan. Namun, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mencegahnya.
“Pak, duduk saja (kalau ingin bertanya), jangan berdiri. Bahaya, kalau berdiri kursi bisa hilang,” katanya.
Kejadian yang cukup sukses mencairkan suasana di ruangan tersebut tak terpaut lama dari momen politikus 61 tahun itu membercandai Bahlil Lahadalia.
Ceritanya, saat para menteri hendak berfoto bersama di sela Sidang Kabinet Paripurna di Ibu Kota Negara (IKN), para wartawan meminta Bahlil untuk duduk di kursi seperti pejabat lainnya agar bagus di kamera.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tersebut pun mengambil kursi yang sempat dibawa Kapolri Listyo Sigit (12/8/24).
Sejurus kemudian, terdengar celetukan Airlangga, “Kursinya pak Kapolri aja diambil sama Pak Bahlil!"
Sederet petinggi Kabinet Indonesia Maju pun menyambar dengan tawa. Bahlil sendiri menjawab, “Masuk barang itu!”
Dua humor seputar kursi itu tak bisa lepas dari konteks ‘seriusnya’, yakni mundur mendadaknya Airlangga Hartarto dari pucuk pimpinan Partai Golkar (11/8/24). 10 hari berselang, Bahlil Lahadalia resmi menguasai kursi yang diduduki Airlangga sejak 2017 itu (21/8/24).
Konsep psikoanalisis Sigmund Freud seolah membuka kemungkinan, bahwa ‘duka bisa bersembunyi di balik tawa’.
Dua humor Airlangga yang setema dan dilontarkan dalam waktu yang berdekatan tadi ibarat jendela untuk mendalaminya secara psikologis. Benarkah ada duka yang ia simpan dari tragedi ‘kudeta’?
Mari berangkat dari teori Kübler-Ross, 5 Stages of Grief. Psikiater asal Amerika itu menjelaskan bahwa ketika mengalami kedukaan, manusia melalui lima fase hingga bisa menerimanya.
Kelima fase tersebut yakni, Denial (menyangkal), Anger (marah), Depression (depresi), Bargaining (tawar-menawar), hingga sampai pada Acceptance (penerimaan diri).
Meskipun memiliki relativitas yang cukup tinggi (setiap orang memiliki rentang waktu dan liku perjalanan yang berbeda), teori ini menggambarkan betapa panjangnya proses yang perlu dilalui individu yang mengalami kedukaan akibat situasi buruk yang terjadi pada dirinya.
Dalam konteks ini, secara kasat terlihat Airlangga telah menunjukkan beberapa indikator perilaku yang memvalidasi penerimaan dirinya.
Pertama, tampak dari ketenangannya dalam memberikan reaksi. Kedua, dari inisiatifnya mengolah situasi sulit itu menjadi suatu hal yang positif, yakni lelucon.
Tapi di sisi lain, kita juga perlu curiga dengan cara Airlangga memosisikan dirinya sebagai korban di kedua joke tersebut.
Bagaimanapun, ia tetaplah seorang politikus berpengalaman. Citra dan empati masyarakat ibarat kebutuhan pokok baginya.
Lebih-lebih, dua lelucon tadi ia sampaikan dalam kurun waktu tujuh hari saja. Ada kemungkinan, lelucon Airlangga bukan mencerminkan ekspresi penerimaan diri, tapi sekadar bentuk ego defense mechanism. Tujuannya, agar citranya tak ternodai pasca lengser dari kursi kehormatan partai beringin.
Secara konseptual, mekanisme pertahanan ego (ego defense mechanism) merupakan turunan dari konsep psikoanalisis.
Strategi pertahanan diri ini secara tidak sadar dilakukan individu ketika citra positifnya terancam. Tentu dengan niatan meminimalisir egonya yang tergores di situasi yang tidak diharapkan.
Putri dari Bapak Psikoanalisis, Anna Freud dalam bukunya The Ego and The Mechanism of Defense (1936) menjabarkan bahwa manusia memiliki beragam strategi untuk mempertahankan ‘martabat’ egonya, mulai dari represi, denial, proyeksi, pengalihan (displacement), formasi reaksi, pembalikan (reversal), regresi, agresi, rasionalisasi, hingga sublimasi.
Dalam konteks ini, Airlangga Hartarto tampak menggunakan metode ‘sublimasi’, yakni mengubah impuls negatif menjadi positif melalui aktivitas yang berkaitan dengan kreativitas. Kreativitas dalam konteks ini adalah humor sederhana yang disampaikan pada sebuah forum.
Konsep ego defense mechanism sangat erat kaitannya dengan teori psikoanalisis dari Freud: ‘unconscious’ atau alam bawah sadarnya.
Sebagai seorang tokoh politik ternama, ada kans reaksi tersebut merupakan output dari proses yang terjadi di alam bawah sadar Airlangga untuk mempertahankan harga dirinya.
Lagi-lagi, jangan terlena! Airlangga merupakan seorang politisi ulung. Ia terlatih untuk bersilat lidah, beretorika, hingga terkadang bikin kita bingung mana ‘persona’ dan mana wajah aslinya.
Jangan-jangan, kelakar di atas merupakan sebuah strategi politik yang terkonsep. Lelucon yang keluar dalam situasi yang ‘mestinya’ penuh tekanan bagi Airlangga, lantas dicairkan dengan sengaja demi meraup empati, pundi-pundi suara, hingga lompatan ke sasaran ‘kursi’ berikutnya.
Semakin mempelajari psikologi, agaknya kita sepakat bahwa manusia begitu kompleks untuk dianalisis dari satu sudut pandang. Di sisi lain, politik itu sendiri juga merupakan bidang yang identik dengan kerumitan, bukan?
Nah, apalagi, ini manusia yang masuk ke ranah politik, di negeri +62 lagi. Alamak.
Terlalu banyak kemungkinan yang bisa terjadi, khususnya di negeri yang dipimpin oleh orang-orang ‘humoris’ ini.
Sumber: Suara