EKBIS POLITIK

10 Tahun Pemerintahan Jokowi: Utang Negara Naik Terus!

DEMOCRAZY.ID
Agustus 01, 2024
0 Komentar
Beranda
EKBIS
POLITIK
10 Tahun Pemerintahan Jokowi: Utang Negara Naik Terus!



DEMOCRAZY.ID - Selama sepuluh tahun pemerintahan Joko Widodo, utang negara Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan. 


Dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2025 (KEM-PPKF) yang dirilis oleh Kementerian Keuangan mengungkapkan bahwa rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) meningkat secara signifikan.


Dalam periode 2014-2019, rasio utang meningkat dengan laju moderat. Namun, sejak 2020, rasio utang melonjak tajam, akibat pembiayaan untuk penanganan pandemi COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional.


Utang Terus Bertambah


Dokumen KEM-PPKF menunjukkan bahwa nilai utang negara Indonesia meningkat dari Rp 3.113 triliun pada 2015 menjadi Rp 4.800 triliun pada 2019. 


Lonjakan besar terjadi pada 2020, ketika nilai utang melonjak menjadi Rp 6.102 triliun, meningkat sebesar 27,13 persen dibandingkan tahun sebelumnya.


Dikutip dari Majalah Tempo Edisi 28 Juli 2024, utang negara bertambah lagi menjadi Rp 7.822 triliun pada 2022. 


Hal ini menyebabkan rasio utang terhadap PDB menggelembung dari 27,42 persen pada 2014 menjadi 38,64 persen pada April 2024.


Peningkatan utang ini sebagian besar dipicu oleh kebutuhan pembiayaan untuk berbagai program pemerintah, termasuk penanganan pandemi dan belanja infrastruktur. 


Menurut laporan dari Kementerian Keuangan, pada 2020, rasio utang terhadap PDB meningkat sebanyak 9,14 poin persen sebagai dampak dari kebutuhan pembiayaan besar-besaran untuk program penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi.


"Pada tahun 2020, rasio utang terhadap PDB mengalami kenaikan signifikan sebanyak 9,14 poin persen akibat tingginya kebutuhan pembiayaan yang sangat besar untuk penanganan pandemi COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional," tulis Kementerian Keuangan dalam laporan tersebut.


Sementara itu, kinerja perpajakan selama sepuluh tahun terakhir mengalami fluktuasi, dengan rasio perpajakan menurun dari 10,85 persen pada 2014 menjadi 8,32 persen pada 2020, dan baru mulai naik pada periode 2021-2023 dipengaruhi oleh harga komoditas yang meningkat.


Ekonom senior Faisal Basri mengungkapkan bahwa angka tersebut hanya mencakup utang dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) dan pinjaman luar negeri. 


Ia menambahkan bahwa masih ada utang-utang lainnya yang belum terhitung, seperti utang pemerintah untuk membayar pensiun dan utang kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang belum dilunasi.


“Utang-utang lain masih ada, misalnya utang pemerintah untuk bayar pensiun, utang ke BUMN yang belum dibayar, kalau dijumlah itu sudah 45 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto),” ujar Faisal Basri ditemui di Jakarta, Jumat, 26 Juli 2024.


Menjelang Akhir Periode


Menjelang akhir masa jabatan Presiden Jokowi, utang negara dan beban pembayaran bunga utang menjadi isu utama. 


Pada rapat kerja Komisi XI DPR pada Juni 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bahwa utang jatuh tempo pada 2025 akan mencapai Rp 800,33 triliun, yang terdiri dari surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 705,5 triliun dan pinjaman sebesar Rp 94,83 triliun.


Dalam APBN 2024, beban pembayaran bunga utang mencapai Rp 497,3 triliun, setara dengan 14,9 persen dari total pendapatan negara. Rasio pembayaran bunga utang terhadap pendapatan pajak mencapai 21,54 persen.


Peningkatan utang ini sebagian besar digunakan untuk belanja persenjataan dan proyek-proyek infrastruktur. 


Misalnya, belanja alat utama sistem persenjataan (alutsista) pada 2022 dan 2023 masing-masing mencapai Rp 150,4 triliun dan Rp 144,3 triliun.


Memang ada peningkatan signifikan dalam pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol, moda raya terpadu (MRT), dan kereta cepat. 


Namun beberapa proyek mengalami kesulitan, seperti Bandar Udara Kertajati yang sepi penumpang dan kereta cepat Jakarta-Bandung yang memerlukan tambahan anggaran. 


Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya besar dalam pembangunan infrastruktur, dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi tidak selalu sesuai harapan.


Tantangan besar akan dihadapi oleh presiden yang akan datang, Prabowo Subianto, dalam mengelola utang dan defisit APBN. 


Penarikan utang baru tidak hanya untuk membayar tagihan jatuh tempo, tetapi juga untuk menutup defisit anggaran dan pembiayaan non-utang.


“Perlu mitigasi, seberapa kuat (SBN) akan dibeli oleh investor domestik dan asing,” tutur Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro dalam diskusi di Gedung Tempo, Jakarta, Rabu, 17 Juli 2024.


Sumber: Tempo

Penulis blog