DEMOCRAZY.ID - PT Wijaya Karya Tbk menyatakan proyek Kereta Cepat Jakarta- Bandung atau KCJB berkontribusi dalam kerugian perseroan yang mencapai Rp 7,12 triliun pada tahun lalu.
Sebab, emiten konstruksi berkode WIKA ini harus menerbitkan obligasi senilai Rp 12 triliun untuk memenuhi penyertaan modal proyek tersebut.
Direktur Utama WIKA Agung Budi Waskito mengatakan WIKA mendapatkan penugasan untuk menjadi bagian proyek kereta cepat melalui PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia atau PSBI.
Saat itu, WIKA ditunjuk untuk memimpin proyek tersebut yang akhirnya harus menyertakan modal ke PSBI senilai Rp 6,1 triliun.
"Selain itu, kami memiliki utang yang belum dibayar senilai Rp 5,5 triliun. Jadi, untuk mendapatkan uang hampir Rp 12 triliun ini harus menerbitkan obligasi senilai Rp 11 triliun," kata Agung dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VI DPR, Senin (8/7).
Agung mengatakan total utang pada tahun lalu mencapai Rp 56 triliun secara konsolidasi.
Hal tersebut diperburuk dengan total beban pencadangan piutang yang bermasalah maupun ditangguhkan.
Namun ia tidak menjelaskan total nilai piutang yang ditangguhkan dan bermasalah tersebut.
Ia mengatakan sumber kerugian WIKA pada tahun lalu adalah beban bunga tinggi dan beban lain-lain.
Menurutnya, penyertaan modal pada PSBI menjadi bagian dari beban lain-lain lantaran KCJB mencatatkan kerugian yang cukup besar setiap tahunnya.
Pada 2021, PT Kereta Api Indonesia menggantikan WIKA sebagai pemimpin konsorsium PSBI.
Namun Agung mengatakan WIKA tetap menjadi pemegang saham mayoritas di PSBI sebesar 38%.
Nilai proyek KCJB membengkak senilai US$ 1,2 miliar atau sekitar Rp 18 triliun selama masa konstruksi. Sebagian pembayaran cost overrun tersebut direncanakan menggunakan anggaran negara.
Awalnya, Cina mengajukan biaya pembangunan proyek KCJB senilai US$ 5,5 miliar atau sekitar Rp 83,6 triliun.
Namun dalam perjalanannya, biaya proyek KCJB tersebut membengkak menjadi US$ 7,5 miliar atau Rp 114,1 triliun per November 2022.
Adapun, sebagian dana cost overrun tersebut berasal dari China Development Bank senilai US$ 550 juta.
Pada Februari 2024, KAI telah menandatangani perjanjian fasilitas dengan Cina Development Bank untuk menambal biaya konstruksi tersebut dari Cina Development Bank.
Pencairan pinjaman ini terdapat dua fasilitas. Fasilitas A yaitu US$ 230,99 juta, setara dengan Rp 3,6 triliun, dengan asumsi kurs Rp 15.603 per dolar Amerika Serikat.
Sementara untuk fasilitas B yaitu US$ 217,08 juta. Jika dikonversikan dari fasilitas B yaitu Rp 3,3 triliun.
"Pencairan tersebut langsung diteruskan ke PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia pada 7 Februari 2024," kata Executive Vice President of Corporate Secretary KAI Raden Agus Dwinanto Budiadji dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia atau BEI, Selasa (13/2).
Sumber: KataData