DEMOCRAZY.ID - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menyatakan waktu pelantikan kepala daerah hasil Pilkada 2024 di tanggal 1 Januari 2025.
Keputusan tersebut diambil KPU dengan mempertimbangkan putusan Mahkamah Agung (MA) nomor: 23 P/HUM/2024; ketentuan tentang akhir masa jabatan (AMJ) kepala daerah hasil Pilkada 2020; dan ketentuan tentang pelantikan serentak dalam UU Pilkada.
"Berdasarkan kerangka hukum dan analisis tersebut, disimpulkan bahwa: keterpenuhan syarat usia calon harus telah genap berusia 25 tahun bagi calon bupati/wali kota dan wakil bupati/wakil wali kota, dan harus sudah genap berusia 30 tahun bagi calon gubernur dan wakil gubernur pada tanggal 1 Januari 2025," ujar Ketua KPU Hasyim Asy'ari melalui keterangan tertulis, Selasa (2/7).
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menilai KPU telah melampaui kewenangan karena penentuan waktu pelantikan kepala daerah merupakan wewenang pemerintah.
Dedi menilai apa yang disampaikan oleh KPU tersebut di atas merupakan wujud keberpihakan kepada keluarga Presiden RI Joko Widodo.
"Cukup banyak realitas politik elektoral yang seolah membenarkan adanya sokongan kekuasaan untuk keluarga Presiden Jokowi. KPU secara jelas memihak bahkan mendahului kewenangan pemerintah dengan menentukan hari pelantikan," ujar Dedi melalui pesan tertulis, Selasa (2/7).
Jika pelantikan pada 1 Januari 2025, Kaesang yang lahir pada 25 Desember 1994 ini sudah genap berusia 30 tahun, memungkinkan untuk ikut dalam Pilgub 2024 dan dilantik apabila menang kontestasi.
Adapun pendaftaran pasangan calon Pilkada dimulai pada 27-29 Agustus 2024 serta diakhiri dengan penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara pada 27 November hingga 16 Desember 2024.
"KPU seharusnya menyadari jika sikap dan keputusan mereka sudah cukup banyak mencederai konstitusi, mulai dari sanksi berat yang diterima Ketua KPU hingga persoalan-persoalan semacam ini. Dengan situasi yang demikian, akan membuat KPU semakin tidak dipercaya publik," ucap Dedi.
Karpet merah terhadap Kaesang tersebut bermula dari putusan MA nomor: 23 P/HUM/2024 yang menilai ketentuan Pasal 4 ayat 1 huruf d PKPU 9/2020 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "berusia paling rendah 30 tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak pelantikan pasangan Calon terpilih."
Perkara itu diadili oleh Ketua Majelis Yulius dengan hakim anggota I Cerah Bangun dan hakim anggota II Yodi Martono Wahyunadi. Cerah Bangun menyampaikan perbedaan pendapat atau dissenting opinion dalam menjatuhkan putusan.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Nurlia Dian Paramita menyatakan tindakan KPU dalam memastikan waktu pelantikan merupakan analisis pada situasi normal. Ia menyoroti kekacauan berasal dari putusan MA.
"Rilis KPU dalam memastikan kemungkinan pelantikan tanggal 1 Januari 2025 merupakan analisis pada situasi normal. Kekacauan dalam memastikan syarat usia muncul pascaputusan Mahkamah Agung No. 23 P/HUM/2024 yang pada pokoknya penghitungan batas minimal usia calon kepala daerah dihitung sejak 'pelantikan' yang telah menggeser hitungan sebelumnya yakni sejak 'penetapan calon'," kata Mita, Senin (1/7).
Menurut Mita, putusan MA tersebut berdampak pada situasi sulit KPU dalam memastikan syarat usia, sebab pelaksanaan pelantikan kepala daerah merupakan ranah pemerintah yang berdasarkan Pasal 165 UU 10/2016 mengatur jadwal dan tata cara pelantikan diatur melalui Perpres.
"Dalam konteks memastikan syarat usia pada pemilihan sebelumnya yang dihitung sejak penetapan calon adalah ideal dan sesuai dengan kewenangan KPU dalam tata kelola pelaksanaan pemilihan," kata Mita.
Ia turut menjelaskan berdasarkan PKPU 2/2024 memang rekapitulasi hasil pemilihan Pilkada serentak selesai pada 16 Desember 2024.
Namun, ia mengatakan masih ada ruang sengketa hasil pilkada setelah proses rekapitulasi tersebut sehingga pelantikan bisa saja dilakukan pada tahun berikutnya.
"Ini pada situasi tidak normal yang juga perlu memperhatikan putusan MK Nomor: 27/PUU-XXII/2024 terkait dengan 'Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan dilantiknya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil Pemilihan serentak secara nasional tahun 2024 sepanjang tidak melewati 5 (lima) tahun masa jabatan' yang saat ini sedang diuji kembali di MK," ucap Mita.
Ia menambahkan desain pelantikan dalam UU Pilkada didorong untuk dilaksanakan secara serentak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 164A dengan mengacu pada akhir masa jabatan kepala daerah terakhir.
"Dalam konteks ini sebetulnya JPPR tidak mempersoalkan desain pelantikannya, namun menyoal putusan MA terkait syarat usia yang kehilangan kendali dan ugal-ugalan sebagai awal mula kebingungan terjadi dalam memastikan syarat calon bagi mereka yang mendaftar menggunakan ketentuan putusan MA tersebut," ucap Mita.
Kaesang sempat buka suara menyikapi putusan MA tersebut. Ia menyatakan siap maju di Pilkada Jakarta bila mendapat kepercayaan. Ia pun sempat merespons positif kemungkinan berduet dengan Anies Baswedan, calon petahana.
Namun, Kaesang mengatakan bahwa dirinya dan Anies berbeda. Ia tak menjelaskan lebih detail.
Ia juga mengaku belum berkomunikasi dengan mantan calon presiden pada Pilpres 2024 tersebut.
"Selama ini belum ada komunikasi, tapi sekadar info saja ya buat teman-teman semua yang saya kira sudah tahu, pak Anies sama saya ini kan beda ya," kata Kaesang saat ditemui di Kantor Pengurus Wilayah Muhammadiyah Jakarta, Jumat (21/6).
Dua hari berikutnya, Ketua Umum PSI itu mengucap isyarat tentang sebuah koalisi yang berisi pihak-pihak berbeda namun bisa disatukan.
"Karena sebuah perbedaan untuk disatukan menjadi satu koalisi, ini buat apa? Cukup teka-teki saja, karena sesuatu yang beda bisa disatukan," kata Kaesang di Sidoarjo, Minggu (23/6).
Sumber: CNN