'Utak-Atik Formula Makan Gratis Rp 71 T Ala Prabowo'
Oktober 2024 belum tiba, Prabowo Subianto belum juga dilantik jadi presiden, tetapi ia sudah tancap gas membentuk Gugus Tugas Sinkronisasi untuk berkoordinasi dengan berbagai institusi pemerintah guna menyiapkan proses transisi ke pemerintahannya.
Awal Juli ini, misalnya, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menjadi tujuan anjangsana sejumlah orang yang mengatasnamakan Tim Prabowo. Mereka meminta masukan BKKBN terkait program unggulan Makan Bergizi Gratis.
BKKBN diminta mengalkulasi anggaran makan bergizi gratis yang diarahkan untuk mencegah stunting dan perbaikan gizi anak sekolah SD sampai SMA. Hasil perhitungannya bakal jadi draf usulan bagi pemerintahan Prabowo-Gibran.
“Ada tim [BKKBN] yang menghitung. Hanya ibu hamil dan balita saja [estimasi anggaran makan bergizi gratis] sudah di atas Rp 90 triliun. Kalau digabung dengan anak sekolah, lebih besar lagi,” ujar Kepala BKKBN Hasto Wardoyo kepada kumparan di kantornya, Jakarta Timur, Jumat (19/7).
Hitungan BKKBN itu baru mencakup ibu hamil dan balita yang diperkirakan berjumlah 4 juta orang per tahun. Padahal, anggaran program tersebut pada 2025 hanya Rp 71 triliun—angka hasil rembukan Tim Prabowo dengan Kementerian Keuangan.
Saat kampanye, program yang dulu dalam dokumen Visi, Misi, dan Program Prabowo-Gibran disebut makan siang dan susu gratis itu digadang-gadang bakal menelan anggaran hingga Rp 460 triliun dengan target penerima 82,9 juta jiwa yang terdiri dari ibu hamil, balita, sampai siswa SMA.
Untuk tahun pertama saja, biaya yang dibutuhkan untuk program itu awalnya berkisar Rp 100–120 triliun. Bila total anggaran benar-benar mencapai Rp 460 triliun, maka jumlahnya setara dengan nilai proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) yang juga Rp 466 triliun.
Jumlah sebesar itu membuat lembaga keuangan internasional seperti Morgan Stanley dan Bank Dunia mengkhawatirkan program tersebut bakal membebani keuangan negara dan melebarkan defisit fiskal yang mestinya maksimal 3% saja dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Sumber kumparan yang mengetahui penganggaran program makan bergizi gratis menyatakan, anggaran dirasionalkan menjadi Rp 71 triliun agar APBN 2025 tetap sehat, defisit fiskal terjaga pada rentang 2,29–2,82%, pembangunan IKN terjamin berlanjut, dan kepercayaan pasar terjaga.
Sejak Februari lalu, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto—yang juga bagian dari koalisi pendukung Prabowo-Gibran—telah memperkirakan anggaran makan bergizi senilai Rp 15 ribu per anak. Itu belum termasuk biaya pemberian susu gratis—program unggulan Prabowo lainnya yang dulu satu kesatuan dengan makan gratis.
Namun, setelah anggaran makan gratis dipatok Rp 71 triliun, muncul kabar bahwa biaya makan per anak bakal dipotong separuhnya, dari Rp 15.000 menjadi Rp 7.500 saja.
Muasal Isu Anggaran Makan Gratis Susut Jadi Rp 7.500 per Porsi
Info pemangkasan anggaran makan gratis muncul dari ekonom Verdhana Sekuritas Indonesia, Heriyanto Irawan. Ia menyatakan bertemu dengan Gugus Tugas Sinkronisasi Prabowo yang sedang mendiskusikan program makan bergizi gratis. Beberapa anggota tim yang ia temui itu antara lain Gubernur BI 2003–2008 Burhanuddin Abdullah, Gubernur BI 1993-1998 Soedradjad Djiwandono, dan Bendahara Umum Gerindra Thomas Djiwandono yang kini menjadi Wakil Menteri Keuangan.
Dari diskusi itu, Heriyanto melihat intensi untuk memperbesar penerima manfaat makan gratis dengan memaksimalkan anggaran Rp 71 triliun. Dalam hal itu, pemangkasan biaya makan per porsi lebih disukai ketimbang peningkatan anggaran menjadi Rp 200–300 triliun.
Sederhananya, jika Rp 15 ribu per porsi bisa untuk 1 orang, maka Rp 7.500–9.000 per porsi diharapkan cukup untuk 2 orang.
“Tugas dari presiden terpilih ke tim ekonominya itu untuk memikirkan apakah biaya makanan per hari bisa diturunin lebih hemat dari Rp 15.000 mungkin ke Rp 9.000–Rp 7.500? Kita bisa pahami kalau sebagai politisi, tentu beliau mau programnya menyentuh sebanyak mungkin rakyat,” kata Heriyanto dalam Market Outlook 2024, Selasa (16/7).
Dengan duit Rp 9.000, untuk memperoleh makanan bergizi di Jakarta tampak sulit. Beberapa warteg yang didatangi kumparan di bilangan Pasar Minggu dan Gondangdia, misalnya, menyebut bahwa uang sejumlah itu tak cukup untuk memperoleh nasi dan telur.
Dengan Rp 9.000, makanan yang didapat di warteg-warteg di Jakarta itu hanya nasi dan sayur, tanpa lauk yang mengandung protein. Jika asupan protein mau terpenuhi dengan menambah lauk yang relatif murah seperti tempe, maka duit yang dibutuhkan minimal Rp 10 ribu.
Meski gambaran tersebut merupakan harga ritel, bisakah mencerminkan penganggaran dalam program makan bergizi gratis?
Hasan Nasbi, anggota Bidang Komunikasi Gugus Tugas Sinkronisasi Prabowo-Gibran, dalam konpers di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (19/7), menyatakan bahwa isu anggaran makan bergizi Rp 7.500–9.000 bisa jadi hanya ide dari Heriyanto Irawan. Pihaknya bahkan membantah pernah berdiskusi dengan ekonom Verdhana Sekuritas tersebut.
Terkait hal ini, kumparan mengajukan permohonan wawancara kepada Heriyanto, namun ia melalui sekretarisnya menyampaikan tidak dapat diwawancara dengan alasan antara lain dibatasi prosedur kepatuhan (compliance). Padahal, saat bercerita pada Market Outlook 2024, Heriyanto menyebut sudah mendapat izin bicara terkait kebijakan makan bergizi gratis.
Tim Prabowo: Yang Penting Bukan Harga, tapi Gizi
Hasan Nasbi menjelaskan, Tim Prabowo tidak berfokus pada harga, melainkan pada tercukupinya gizi anak-anak. Ia menyampaikan, Prabowo berjanji memberikan makanan pokok yang sehat, bukan sekadar camilan.
Hasan juga mengatakan, banyak ide yang masuk terkait program baru Prabowo-Gibran. Karenanya ide-ide tersebut tengah diuji coba 2–3 bulan ini terhadap minimal 3.000 siswa di setiap provinsi, dan hasilnya akan diimplementasikan oleh pemerintahan Prabowo setelah dilantik.
“Banyak hal yang masih diuji coba: soal menu, kecukupan gizi, jam pemberian, macam-macam, termasuk soal harga … [Sekarang] enggak pakai patokan harga dulu,” ujar Hasan kepada kumparan.
Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran, Budiman Sudjatmiko, mengucapkan hal senada. Menurutnya, perkara harga makan gratis belumlah pasti karena biaya bisa dimodifikasi sedemikian rupa untuk menjangkau lebih banyak anak.
“Kami berdiskusi soal metode yang memungkinkan harga bisa dimodifikasi. Bahwa hasilnya Rp 7.500, Rp 10.000, atau Rp 15.000 per porsi, itu hanya konsekuensi [dari metode yang nanti diterapkan],” ujar Budiman.
Setelah ditetapkan anggaran Rp 71 triliun, Tim Prabowo disebut telah menghitung dengan hasil penyediaan makanan bergizi tak sampai Rp 15.000 per porsi. Jumlah itu, menurut Budiman, sudah termasuk susu segar, telur, sayur, buah-buahan, dan menu protein hewani yang berganti-ganti antara daging ayam, sapi, atau ikan.
Budiman yakin menu bergizi ini bisa terwujud jika sumber penyediaan bahan pangannya tidak melalui pasar konvensional yang bersifat komersial. Caranya: 80% bahan pangan mesti disuplai secara swasembada oleh pertanian dan peternakan di masing-masing provinsi.
Kalaupun ada vendor yang dilibatkan, ujar Budiman, itu adalah pengusaha lokal atau Badan Usaha Milik Desa (Bumdes).
“Kami sudah menghitung, [biaya makan seporsi] bisa Rp 7.000, bahkan di provinsi yang katakanlah 100% swasembadanya baru daging ayam, sapi, susu, telur, dan sayur. Itu makanya jangan berdebat soal itu (harga),” kata Budiman.
Tenaga Ahli Kemenko Perekonomian Ahmed Zaki Iskandar menyebut harga satuan untuk makan bergizi gratis masih terus dihitung. Tetapi, tegasnya, di pagu anggaran, usulan Kemenko Perekonomian masih tertera Rp 15 ribu.
Wakil presiden terpilih, Gibran Rakabuming Raka, juga menyebut anggaran makan per anak tetap Rp 15 ribu. Hitungan itu menurutnya sudah melibatkan ahli gizi dan akan diimplementasikan dalam uji coba di Surakarta pekan ini.
Sumber kumparan yang mengetahui penyusunan anggaran makan bergizi gratis itu menyebut, biaya Rp 15 ribu per anak selama 5 hari masuk sekolah dengan total anggaran Rp 71 triliun bakal menyasar 20–21 juta anak. Hal tersebut dibenarkan Zaki.
Budiman Sudjatmiko optimistis bahwa anggaran makan gratis Rp 71 triliun bisa menjangkau lebih banyak anak. Tak cuma 21 juta anak, tapi 33,16 juta (40%), asalkan ada swasembada pangan di tiap provinsi yang membuat besarnya anggaran bisa ditekan.
“Program ini haruslah memastikan keterjangkauan yang luas, jadi kami tidak debat soal harga,” tegas Budiman.
Menko Airlangga pada Februari 2024 menyebut bahwa target penerima makan gratis total berjumlah 70,5 juta jiwa (bukan 82,9 juta seperti disebut saat kampanye) dengan rincian penerima 22,3 juta balita; 7,7 juta murid TK; 28 juta murid SD; dan 12,5 juta murid SMP/madrasah.
Untuk tahap awal, makan gratis akan diberikan untuk balita dan ibu hamil; disusul tahap berikutnya untuk murid TK, SD, dan SMP di daerah-daerah yang angka stunting-nya tinggi.
Jika dihitung dengan asumsi anggaran total yang dibutuhkan masih Rp 460 triliun dengan target 70,5 juta penerima, maka dana Rp 71 triliun baru mencakup 15,4% anggaran atau 11 juta penerima. Berikutnya, jika biaya Rp 15.000 per porsi dipangkas separuh menjadi Rp 7.500, maka cakupannya lebih luas ke 22 juta penerima.
Kelola Makan Akbar 71 T: Bikin Lembaga Baru atau Berdayakan yang Ada?
Sumber kumparan di lingkar pemerintah menyebut, saat anggaran dan proyeksi program makan bergizi gratis dibuat, pelbagai opsi dipertimbangkan soal lembaga mana yang bakal diamanahi mengelola anggaran jumbo itu.
Anggaran makan gratis kini masih berada di pos Bendahara Umum Negara lantaran program ini belum memiliki alas hukum, dan pengelolaannya belum dipegang lembaga khusus.
Opsi pengelolaan oleh lembaga, menurut sumber tersebut, bisa dengan membuat kementerian baru, membentuk badan penyelenggara, atau menggunakan kementerian/lembaga yang sudah ada.
Ahmed Zaki menjelaskan, opsi kelembagaan juga mencakup penggunaan perangkat pemerintah daerah. Sementara Budiman menyebut, beberapa kementerian/lembaga akan dilibatkan. Yang jelas, menurut keduanya, proses kelembagaan ini belum diputuskan karena programnya masih disempurnakan.
“Rencananya ada Badan Gizi. Beberapa kementerian juga terlibat. Tapi soal nama [lembaga], itu urusan Pak Prabowo,” kata Budiman.
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo sempat mendengar kabar bahwa BKKBN bakal ditingkatkan setara kementerian dan diberi wewenang menangani program makan bergizi gratis. Namun, belum ada permintaan resmi dari tim presiden terpilih mengenai hal itu.
Walau begitu, Hasto meminta anak buahnya siap jika suatu saat BKKBN dimandati tugas besar menjalankan program makan gratis tersebut. Menurutnya, BKKBN punya sumber daya 600 ribu tim pendamping keluarga berisi kader PKK, bidan, dan penyuluh KB yang tersebar di setiap desa.
“Ada yang mengatakan bahwa kemungkinan BKKBN nanti bisa dibesarkan [dengan menangani makan bergizi gratis]. Tapi selama belum ada penyampaian secara formal dari tim transisi [Prabowo] dan masih sebatas isu, saya tidak bisa menyikapinya secara formal,” kata Hasto.
Saat sejumlah pihak yang mengatasnamakan Tim Prabowo mendatanginya untuk meminta saran, Hasto mengatakan kepada mereka bahwa pembentukan lembaga baru membutuhkan waktu setidaknya dua tahun sampai program bisa berjalan. Waktu itu bisa dihemat dengan menggunakan BKKBN. Hasto mengumpamakan lembaganya seperti kendaraan yang hanya perlu diisi bahan bakar dan bisa langsung berjalan.
“Tim pendamping keluarga bisa mengawal program makan bergizi gratis supaya lebih tepat sasaran. Kader dan tim pendamping paling tahu siapa keluarga yang berisiko stunting dan hamil. BKKBN punya Rumah Dataku, di situ tercatat lokasi balita dan rumah ibu hamil berdasarkan data sensus,” ujar Hasto.
Tim Prabowo juga berdiskusi dengan Kemenko Perekonomian terkait pengelolaan makan gratis: apakah program makan gratis masuk ke APBD Kota/Kabupaten atau diurus oleh kementerian/badan tertentu?
Dalam hal itu, Budiman menyinggung perlunya keterlibatan Kementerian Desa, Kementerian Pertanian, dan pemerintah daerah.
Skema Pembuatan dan Penyaluran Makan Gratis Belum Final
Ahmed Zaki menyatakan, pihaknya di Kemenko dan Tim Prabowo sedang mendiskusikan landasan makan bergizi gratis. Mereka sepakat, dengan anggaran yang ada, program bakal diprioritaskan ke wilayah tertentu.
“Prioritas untuk siswa-siswi di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) terlebih dahulu, kemudian di daerah dengan gizi buruk dan stunting tinggi,” kata Zaki.
Kondisi di tiap daerah nantinya juga akan memengaruhi menu makan gratis. Menu tersebut, menurut Hasan Nasbi, bisa berbeda-beda sesuai ketersediaan bahan makanan di masing-masing wilayah.
Skema produksi dan distribusi makan gratis juga masih dibahas. Menurut Budiman, penyediaan bahan pangan mesti dilaksanakan oleh Bumdes, koperasi, dan pengusaha lokal di masing-masing provinsi.
Di sisi lain, ujar Ahmed Zaki, simulasi makan gratis di Kabupaten Tangerang Februari lalu melibatkan pedagang di sekitar sekolah yang merupakan UMKM. Namun, menurutnya, skema di daerah lain bisa saja berbeda, misalnya dengan membuat dapur umum di sekolah yang dikelola oleh komunitas atau wali murid.
Sementara Hasto Wardoyo mengusulkan mekanisme seperti program Dapur Sehat Atasi Stunting (Dahsat), yakni satu kelurahan bisa memiliki satu dapur besar untuk menyiapkan hidangan makan gratis yang kemudian diantar ke sekolah-sekolah di area itu.
Antisipasi Masalah Pendanaan, Logistik, dan Pengelolaan Lembaga
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menilai, sekalipun anggaran program makan gratis diturunkan menjadi Rp 71 triliun, jumlah itu tetap dana yang besar.
Menurut Tauhid, mestinya pemerintah memulai program baru dengan anggaran yang lebih kecil untuk meminimalisir risiko.
“Uji coba dulu mekanismenya seperti apa—dari perencanaan, pelaksanaan, metode evaluasi, sampai perkiraan dampaknya. Ketika itu dilakukan, saya kira anggarannya mungkin di bawah Rp 5 triliun, enggak besar,” ujar Tauhid.
Ia menyoroti tiga hal yang berpotensi jadi masalah dalam pelaksanaan makan bergizi gratis. Pertama, sumber pendanaan yang tidak optimal. Indikasinya, tren penerimaan negara diperkirakan belum membaik lantaran turunnya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) akibat harga komoditas yang tengah terperosok.
Kedua, logistik di daerah atau provinsi dengan bahan pangan dan kapasitas institusi yang tidak begitu baik.
Ketiga, terkait kelembagaan. Jika anggaran makan gratis masuk ke pos Kemendikbud, misalnya, hal itu berisiko memotong 20% bujet pendidikan yang sudah dipatok APBN. Di sisi lain, pembentukan lembaga baru membutuhkan waktu cukup lama untuk konsolidasi.
Pelibatan vendor juga mesti dimonitor. Jika anggaran makan per anak berkurang karena alokasi ke vendor, artinya hidangan yang mereka terima jadi lebih sedikit dari yang seharusnya.
Guru Besar Pangan dan Gizi IPB Prof. Ali Khomsan mencontohkan, biaya makan untuk intervensi balita stunting besarannya Rp 15.000, dan dari jumlah itu, Rp 2.000–3.000 di antaranya dialokasikan untuk pihak yang menyiapkan makanan.
Padahal, lanjut Ali, program perbaikan gizi memerlukan menu protein hewani seperti ikan, telur, daging, ayam, atau daging sapi yang biayanya lebih besar dari protein nabati.
"Kalau dananya turun jadi Rp 9.000 atau Rp 7.500, itu hanya cukup tempe atau telur saja; daging ayamnya enggak ada. Ada proteinnya, tapi kualitasnya enggak sampai.” - Prof. Ali Khomsan, Guru Besar Pangan dan Gizi IPB
Lantas, bila program makan gratis nantinya benar dianggarkan kurang dari Rp 15 ribu, mungkinkah gizinya terpenuhi? Bagaimana perbandingannya dengan program makan di beberapa sekolah yang sudah ada sebelum ini? Simak dalam artikel selanjutnya.
Sumber: Kumparan