DEMOCRAZY.ID - Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh diterpa masalah serius. Pasalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berencana memanggil Surya Paloh untuk diperiksa dalam kasus korupsi Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL).
Wakil Ketua Umum Partai NasDem, Ahmad Ali buka suara terkait rencana KPK tersebut.
Surya Paloh dipanggil terkait uang pembangunan green house di kawasan Kepulauan Seribu. Green house tersebut diduga milik Surya Paloh bersumber dari Kementerian Pertanian (Kementan).
"Tidak ada dasarnya (KPK panggil Surya Paloh)," kata Ali kepada Tribunnews.com, Minggu (7/7/2024).
Ali mengatakan, KPK tak memiliki dasar untuk memanggil Surya Paloh. Sebab, informasi yang diterima KPK bukan fakta persidangan, melainkan pernyataan pengacara SYL.
"Pengacara tahu apa? Menurut saya gini, kalau itu data dari pengacara berarti bukan fakta persidangan. Itu kan dugaan kan," ujarnya.
Anggota Komisi III DPR RI ini mengingatkan KPK tak asal menindaklanjuti asumsi atau dugaan orang per orang.
Lagipula, Ali menegaskan bahwa dalam persidangan SYL menyatakan tidak ada keterlibatan Surya Paloh dalam kasusnya.
"Bahkan (SYL) menyampaikan permohonan maafnya kepada Pak Surya Paloh atas penyebutan nama beliau," ujarnya.
Tidak ada yang kemudian yang urgent untuk memanggil Pak Surya karena tidak ada petunjuk dalam kasus Syahrul Yasin Limpo.
Terkecuali, kata dia, jika dalam persidangan terdakwa mengungkap keterlibatan Surya Paloh sehingga KPK bisa menelusuri.
"Tidak ada yang kemudian yang urgent untuk memanggil Pak Surya karena tidak ada petunjuk dalam kasus Syahrul Yasin Limpo," ungkap Ali.
Adapun, informasi ini mulanya diungkapkan pengacara SYL Djamaludin Koedoeboen dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Jumat (28/6/2024).
Hal ini terjadi setelah kliennya dituntut 12 tahun penjara dalam kasus dugaan pemerasan di lingkungan Kementan.
“Ada pembangunan green house di Pulau Seribu yaitu milik pimpinan partai tertentu yang diduga itu adalah duit dari Kementan juga, dan ada banyak lagi hal yang lain,” kata Djamaludin di lokasi.
Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan, pihaknya berkemungkinan memanggil dan memeriksa Surya Paloh atas informasi tersebut.
"Informasinya memang kita dapat informasi terkait dengan masalah pembangunan green house ini. Tentunya seperti juga pernah disampaikan oleh Pak Jubir, siapapun yang terkait dengan tindak pidana korupsi, itu akan kita minta keterangan," kata Asep di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (4/7/2024).
SYL Janji Seret Pimpinan Partai Pemilik Green House di Pulau Seribu
Sebelumnya diberitakan, SYL berjanji akan buka-bukaan terkait yang dipahaminya tentang aturan yang ada di Kementerian Pertanian (Kementan) dalam pledoinya atau pembelaannya usai dituntut 12 tahun penjara oleh jaksa KPK, Jumat (28/6/2024).
Salah satu yang akan diungkap oleh SYL juga termasuk green house di Pulau Seribu milik pimpinan partai politik tertentu yang sumber uangnya dari Kementan.
"Tentu saya berharap besok pada saat pembelaan pribadi saya, akan saya sampaikan semua yang pahami tentang aturan, tentang seperti apa, yang terjadi pada Kementan," ujar SYL saat ditemui wartawan usai sidang tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Jumat (28/6/2024).
Terkait green house, hal itu juga disinggung lewat penasihat hukum SYL, Djamaludin Koedoeboen, saat di persidangan.
"Ada pembangunan green house di Pulau Seribu yaitu milik pimpinan partai tertentu yang diduga itu duit dari Kementan juga, dan ada banyak lagi hal yang lain, siapa itu Hanan Supangkat, tolong itu juga jadi perhatian rekan-rekan, ada equal di sini," kata Djamal.
"Ada equality before the law, jangan-jangan seolah-olah ada tebang pilih penegakan hukum di republik yang kita cintai ini, kami menduga ini ada dendam dibawa masuk ke sini.
Tapi, tak apa-apa lah kami akan jawab itu semua dalam pleidoi kami sehingga jelas dan menjadi terang benderang," ucapnya.
Green house itu, lanjutnya, diduga uangnya berasal dari Kementerian Pertanian. Namun, tak disebutkan ketum partai mana yang dimaksud oleh Djamal.
"Kami menduga bahwa ada green house milik ketua umum partai tertentu di Pulau Seribu yang diduga duitnya adalah dari Kementan," ucapnya.
Dalam tuntutannya, SYL dinilai oleh jaksa KPK bersalah melakukan pemerasan dan gratifikasi di lingkungan Kementan.
Dia dituntut 12 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsider 6 bulan bui. Selain itu, dia juga dituntut membayar uang pengganti Rp 44,7 miliar.
Pengacara SYL, Djamaludin Koedoeboen tiba-tiba menyinggung soal dugaan aliran uang Kementerian Pertanian (Kementan) mengalir ke sejumlah pihak lain.
Hal itu diungkapkan Djamal --panggilan Djamaludin-- usai kliennya dituntut 12 tahun penjara dalam kasus pemerasan dan gratifikasi di Kementan.
"Kami cuma minta tolong, di Kementerian Pertanian Republik Indonesia, bukan cuma soal ini. Bukan cuma soal ini.
Saya kira bapak tahu itu lah. Ada impor yang nilainya triliunan rupiah," kata Djamal di ruangan persidangan Tipikor Jakarta, Jumat (28/6).
"Baik, nanti...," kata hakim.
"Mohon maaf Yang Mulia ditambahkan satu menit lagi," lanjut Djamal.
"Nanti saudara sampaikan dalam nota pembelaan saudara," timpal hakim.
Namun demikian, dia terus membeberkan pemaparannya di depan hakim dan JPU KPK.
Dalam momen itulah, dia menyinggung ada pimpinan partai politik yang turut kecipratan dana kementan. Meski dia tidak menyebut identitasnya.
"Ada pembangunan green house di Pulau Seribu yaitu milik pimpinan partai tertentu yang diduga itu duit dari Kementan juga," katanya.
SYL Akui Sogok Firli Bahuri Uang Rp 1,3 Miliar
SYL mengakui pernah memberikan uang ke Firli Bahuri selaku Ketua KPK. Nilainya mencapai Rp 1,3 miliar dalam dua kali penyerahan. Terkait pemberian uang ini, diduga agar Firli mengamankan kasus SYL di KPK. Namun, kemudian hal tersebut terbongkar.
Dua kali penyerahana uang yakni dalam pertemuan SYL dan Firli di Gelanggang Olahraga (GOR) Tangki, Mangga Besar, Jakarta Barat dan di Rumah Firli Bahuri di Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Pertemuan dengan Firli Bahuri sekalihgus penyeragan uang yang mencapai Rp 1,3 miliar, diungkap SYL saat menjadi saksi mahkota dalam persidangan Senin (24/6/2024) di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Dia menjadi saksi mahkota untuk dua anak buahnya yang menjadi terdakwa yakni eks Direktur Alat dan Mesin Kementan, Muhammad Hatta dan eks Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementan, Kasdi Subagyono. SYL mengaku pertemuan di GOR Tangki atas inisiatfi Firli Bahuri.
"Pak Firli hanya mengundang saya datang ke GOR itu untuk menyaksikan atau ikut bermain bulutangkis. Intinya seperti itu yang pertama saya pahami," ujar SYL.
"Kemudian ada pertemuan lagi kalau dilihat dari berita acara saudara di Rumah Kertanegara," tanya Hakim Ketua, Rianto Adam Pontoh.
"Betul, kemudian beliau menyampaikan, nanti ngobrolnya lebih enak di rumah saya. Dia belum sampaikan di Kertanegara," jawab SYL.
Rupanya pertemuan itu terjadi karena adanya seorang perwira polisi yang menjadi perantara.
Perwira polisi tersebut ialah Kombes Irwan Anwar, Kapolrestabes Semarang yang pernah diperiksa terkait perkara Firli Bahuri. Ternyata, Irwan menjadi perantara karena merupakan keponakan SYL.
"Saudara mengenal juga yang namanya Irwan Anwar?" tanya Hakim Pontoh.
"Saya punya kemenakan itu," jawab SYL.
"Polisi ya?" tanya Hakim lagi, memastikan.
"Polisi," kata SYL mantap.
"Apakah sepengetahuan saudara, Irwan Anwar yang menjadi penghubung saudara dengan saudara Firli Bahuri waktu itu?" tanya hakim.
"Saya yang mengklarifikasi apa betul Pak Firli ini mau ketemu saya," ujar SYL.
SYL mengaku meminta tolong karena sang kemenakan pernah menjadi bawahan Firli Bahuri saat bertugas di Polda Nusa Tenggara Barat (NTB).
"Karena ini kemenakan saya dan pernah bersama-sama atau katakanlah pernah menjadi di bawah struktur Pak Firli sewaktu dia jadi Kapolda di NTB," tutur SYL.
Karena pernah memiliki hubungan pekerjaan, maka Irwan disebut SYL menjadi jembatannya dengan Firli Bahuri.
"Jadi dalam hal ini Irwan Anwar yang mengantarkan saudara ke Pak Firli? Awalnya seperti itu?" ujar Hakim.
"Siap, Yang Mulia," kata SYL membenarkan.
Dari pertemuan di GOR, SYL mengaku menyerahkan Rp 500 juta kepada Firli Bahuri. Uang Rp 500 juta itu diserahterimakan melalui masing-masing ajudan.
"Keterangan Panji (ajudan SYL) waktu itu ada pengumpulan uang dan pada saat pertemuan di GOR itu ada penyerahan uang, tapi dari ajudan ke ajudan. Apakah saudara mengetahui hal itu?" tanya hakim.
"Tahu, Yang Mulia. Benar, Yang Mulia. Di GOR," ujar SYL.
"Berapa uangnya waktu itu?" tanya Hakim Pontoh.
"Saya tidak tahu persis jumlahnya. Tapi saya perkirakan di 500-an lah," katanya.
Uang Rp500 juta yang diserahkan di GOR itu disebut SYL berbentuk valuta asing.
Hakim Ketua pun mengingatkan keterangan di berita acara pemeriksaan (BAP) bahwa valuta asing yang dimaksud ialah Dolar Amerika Serikat.
"Tapi dalam bentuk dana valas," ujar SYL.
"Oke, US Dolar ya," kata Hakim Pontoh sembari mencermati berkas BAP.
Selain itu, dia juga menyerahkan uang Rp 800 juta di lain kesempatan.
Dengan demikian, total uang yang diberikan SYL kepada Firli Bahuri mencapai Rp 1,3 miliar.
"Ada penyerahan uang saudara bilang tadi ya. Berapa kali penyerahannya?" tanya Hakim Ketua, Rianto Adam Pontoh kepada SYL.
"Yang dari saya dua kali," jawab SYL.
"Awalnya 500 sama 800 ya?" tanya Hakim Pontoh lagi.
"Ya kurang lebih seperti itu," kata SYL.
Sebagai informasi, SYL dalam perkara ini didakwa menerima gratifikasi Rp 44,5 miliar.
Total uang tersebut diperoleh SYL selama periode 2020 hingga 2023.
Uang itu diperoleh SYL dengan cara mengutip dari para pejabat Eselon I di lingkungan Kementerian Pertanian.
Dalam aksinya SYL tak sendiri, ia dibantu eks Direktur Alat dan Mesin Kementan, Muhammad Hatta dan eks Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementan, Kasdi Subagyono yang juga menjadi terdakwa.
Atas perbuatannya itu, SYL didakwa melanggar Pasal 12 huruf E dan Pasal 12 huruf B juncto Pasal 18 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Terkait pemberian uang ini, diduga agar Firli mengamankan kasus SYL di KPK. Namun, kemudian hal tersebut terbongkar.
Firli Bahuri sudah dijerat sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya. Namun, hingga kini Firli belum ditahan. Penyidikannya pun masih belum jelas penyelesaiannya.
Mengenai pemberian uang itu, Firli mengaku tidak pernah menerimanya. Saat menjalani sidang Dewas KPK atas dugaan pelanggaran etik, Firli Bahuri mengundurkan diri selaku Ketua KPK.
Sumber: Tribun