DEMOCRAZY.ID - Staf Khusus III Menteri BUMN, Arya Sinulingga, buka suara terkait ramai-ramai orang dekat presiden terpilih Prabowo Subianto diangkat menjadi komisaris BUMN.
Terbaru, Menteri BUMN Erick Thohir mengangkat Ketua Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran, Burhanuddin Abdullah, menjadi Komisaris Utama PT PLN (Persero) dan Andi Arief sebagai Komisaris PT PLN (Persero).
Selain itu, Erick juga mengangkat Fauzi Baadilla sebagai Komisaris Independen PT Pos Indonesia (Persero).
Fauzi sempat menjadi relawan pemenangan Prabowo-Gibran, sebagai Koordinator Penggalang Pendukung Prabowo Subianto.
Arya menjelaskan, pemerintah sudah seharusnya menunjuk jajaran komisaris BUMN sesuai dengan arah kebijakan.
Dia mengakui pertimbangannya juga karena transisi pemerintahan baru berkesinambungan dengan pemerintahan lama.
"Baru kali inilah pemerintahan kita tidak putus. Ini namanya berkesinambungan. Jadi wajar saja, apa-apa yang berhubungan dengan pemerintah, itu ada transisi yang enak gitu, lancar, berkesinambungan," jelasnya saat ditemui di Posbloc Jakarta, Rabu (24/7).
Dia menyebut kesinambungan pemerintahan yang terjadi saat ini antara Presiden Jokowi dan Presiden terpilih Prabowo Subianto, baru terjadi pertama kali sejak Indonesia Merdeka.
Lebih lanjut, Arya mengatakan pemerintah sebagai pemegang saham BUMN memiliki kewenangan untuk menentukan arah kebijakan yang sesuai dengan program yang diusung.
"BUMN punya pengaruh ke sana. Maka, BUMN juga akan mengikuti arah kebijakan pemerintah. Karena itu, dia akan meneruskannya," tuturnya.
Arya juga mengakui jika pemilihan komisaris BUMN juga bersifat politis. Sebab berbeda dengan badan usaha swasta, pengawasan dan persetujuan atas operasional BUMN tidak lepas dari peran parlemen, dalam hal ini Komisi VI DPR RI.
"BUMN enggak pernah terlepas dari politik. Kenapa? Pertama. Ketika BUMN mau di-merger, lapor ke mana? Ke DPR. Mau bikin holding? Ke mana? Ke DPR. Dia mau IPO? Ke mana? Ke DPR. Mau nambah modal? Ke mana? Ke DPR. Dan itu adalah politik," tegas Arya.
"Sudah dibuktikan sejak zaman Bung Karno, sampai kemarin zaman Pak Jokowi. Udah terbukti. Enggak ada yang putus BUMN. Jadi, jangan kita bilang-bilang seakan ini jadi barang haram. Ini halal," imbuhnya.
Alasan lainnya, lanjut Arya, yaitu terlepas dari latar belakang komisaris yang diangkat Erick Thohir, dia meyakini hal itu memiliki peran yang besar untuk memajukan BUMN.
Dia mencontohkan selama jabatan Erick Thohir sebagai Menteri BUMN, dividen BUMN berhasil melonjak dari Rp 42 triliun menjadi Rp 84 triliun, terbesar sepanjang sejarah, sekaligus terjadi peningkatan aset dan penurunan rasio utang.
"Kalaupun ada unsur (politis) di komisaris BUMN, kita buktikan, ternyata kinerjanya kinclong kok. Ada masalah? Enggak ada kan?" pungkasnya.
Pertimbangan Pemilihan Komisaris BUMN
Arya pun menjelaskan alasan pemilihan komisaris BUMN yang berada di pusaran kepentingan Prabowo Subianto.
Pertama, dia memastikan Fauzi Baadilla dipilih sesuai dengan transformasi PT Pos Indonesia (Persero) yang kental dengan industri kreatif.
"PT Pos itu lakukan perubahan transformasi kepada urusan-urusan yang namanya, kreatif, digital, dan sebagainya. Kami butuh namanya Fauzi Baadilla. Karena dia menuju ke sana mengawinkan PT Pos ini dengan industri kreatif," ungkapnya.
Kemudian Andi Arief, menurut Arya, memiliki banyak pengalaman sebagai Komisaris BUMN. Adapun Andi memang merupakan Komisaris PT Pos Indonesia (Persero) saat pemerintahan SBY, namun sempat mundur pada tahun 2009.
"Dia pengalaman jadi komisaris. Zaman Pak SBY dulu, 15 tahun lalu. Itu Andi Arief sudah jadi komisaris PT Pos. Kok ada masalah lagi? Enggak ada masalah," tegas dia.
Selanjutnya Burhanuddin Abdullah. Arya menilai pemilihan eks Menko Bidang Perekonomian dan Gubernur Bank Indonesia (BI) menjadi Komisaris Utama PLN berdasar kepada ilmu yang sudah dimilikinya.
"Kok diragukan ilmunya? Cari yang negatif untuk urusan ilmu dari kemampuan Burhanuddin Abdullah untuk mengawasi PLN. Yang bisa beradu ilmu dengan Burhanuddin Abdullah, carikan sama saya. Kalau ada, kita adu," pungkas Arya.