DEMOCRAZY.ID - Presiden Terpilih Prabowo Subianto percaya diri pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 8% selama ia menjabat sebagai kepala negara lima tahun mendatang, menggantikan Presiden Joko Widodo yang habis masa jabatannya pada tahun ini.
"Kita harus berani menaruh sasaran yang lebih tinggi. Kalau saya optimistis kita bisa mencapai 8% pertumbuhan," kata Prabowo saat menghadiri peresmian Peluncuran Geoportal One Map Policy 2.0 di The St. Regis Hotel Jakarta, dikutip Senin (22/7/2024).
Ia mengatakan, rencananya ini bahkan telah diketahui oleh dunia internasional. Prabowo mengklaim beberapa menteri pada sebuah negara taruhan dengan dirinya apakah pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 8% atau tidak selama periode ia menjabat pada 2024-2029.
Meski tak mau menyebutkan menteri dari negara mana, Prabowo mengatakan, taruhan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia 8% itu sebatas traktiran makan malam.
Bila sekali saja ekonomi RI tumbuh 8% selama ia menjabat, menteri-menteri suatu negara itu akan menraktirnya makan malam.
"Sekali saja dalam lima tahun yang akan datang, kita mencapai 8%, mereka, they are going to buy me dinner. Mereka akan beli makan malam untuk saya!" ucap Prabowo.
Untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi itu, dari yang selama 10 tahun terakhir stagnan di kisaran 5%, Prabowo mengatakan akan melakukan efisiensi perekonomian Indonesia, memastikan tata kelola birokrasi yang baik, dan menelurkan kebijakan-kebijakan yang masuk akal.
"Kalau saya lihat, saya sangat optimis. Kekayaan kita sangat besar, potensi kita sangat besar, tapi memang kita harus lebih efisien, kita harus kelola dengan baik, ambil kebijakan yang masuk akal," tutur Prabowo.
"Dan kita harus bertekad untuk mitigasi kebocoran, mitigasi penyelewengan, mitigasi kebijakan-kebijakan yang tidak menguntungkan kepentingan nasional dan kepentingan rakyat," tegasnya.
Target pertumbuhan ekonomi di atas 5% itu sebetulnya juga telah diumbar Presiden Joko Widodo sebelum menduduki kursi kepresidenan.
Saat masa kampanye Pilpres 2014, Jokowi percaya diri ekonomi Indonesia bisa tumbuh 7% selama ia menjabat sebagai presiden.
Namun, secara tahunan atau year on year (yoy). Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 10 tahun ia menjabat belum pernah mencapai 7%.
Meskipun pada kuartal II-2021 tumbuh 7,08%, hanya karena disebabkan basis perhitungan pada kuartal II-2020 sangat rendah, yakni minus 5,32%.
Pada periode itu, ekonomi Indonesia memang luluh lantak setelah diterjang Pandemi Covid-19 yang melanda dunia sejak Maret 2020.
Namun, dengan basis ekonomi yang sama-sama terkontraksi, banyak negara tetangga Indonesia yang justru mampu membukukan ekonomi double digit.
Vietnam mampu tumbuh 13,71% pada kuartal II-2022, Arab Saudi mencatatkan pertumbuhan double digit 12,2% pada kuartal II-2022, sementara Brasil pada kuartal II-2021 mencapai 12,4%.
Kendati begitu, jika dilihat berdasarkan keseluruhan tahun, pertumbuhan ekonomi Indonesia selama Jokowi menjabat juga tak pernah menyentuh level 7%.
Pada 2015 atau tahun pertama Jokowi efektif menjalankan roda pemerintahan hanya tumbuh 4,8%, melambat dibandingkan 2014 yang tumbuh 5,02%, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS).
Pada 2016, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mampu kembali ke level 5,03%, lalu pada 2017 sebesar 5,07%, 2018 mencapai 5,17%, dan 2019 kembali ke level 5,02%.
Pada 2020 atau saat merebaknya Pandemi Covid-19 ekonomi Indonesia terkontraksi hingga minus 2,07%, 2021 kembali tumbuh 3,7%, 2022 tumbuh 5,31%, dan 2023 hanya tumbuh 5,05%.
Selain Pandemi Covid-19, sebetulnya banyak permasalahan yang memicu pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan selama masa pemerintahannya, mulai dari harga BBM bersubsidi yang naik, hingga banyak kebijakan yang menekan daya beli masyarakat.
Padahal, mayoritas sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Hingga 2023, porsi konsumsi masyarakat terhadap laju pertumbuhan ekonomi mencapai 53,18%.
Di bawahnya, baru investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) 29,33%, ekspor hanya 21,75%, konsumsi pemerintah 7,45%, konsumsi Lembaga Non Profit yang melayani Rumah Tangga (LNPRT) 1,25%, dan impor minus 19,57%.
Pada saat mengawali pemerintahan, Jokowi memang langsung melakukan gebrakan dengan menaikkan harga BBM subsidi hingga 33,57% pada 14 November 2014. Kenaikan harga BBM pun langsung melambungkan inflasi hingga 1,50% (month to month/mtm) sementara pada Desember menyentuh 2,46% (mtm).
Kenaikan harga membuat ekonomi Indonesia terpukul. Hantaman demi hantaman kenaikan harga sepanjang 2015-2022 juga membuat daya beli lunglai padahal konsumsi rumah tangga memegang porsi 54-56% dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang biasanya berada di kisaran 5%, melandai ke level 4,9% pada 2017.
Pada tahun tersebut, pemerintah menaikkan tarif listrik sebanyak tiga kali yakni pada Januari, Maret, dan Mei.
Kenaikan tarif listrik berbarengan dengan kebijakan kenaikan biaya penerbitan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) yang naik dua hingga tiga kali lipat pada Januari 2017.
Pada 2019, pemerintah menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan hingga sebesar 100%.
Kenaikan iuran menjadi perdebatan panas karena dinilai terlalu tinggi. Pada tahun yang sama, tarif angkutan udara juga terus melambung 40-120%.
Kenaikan tarif sebenarnya sudah terjadi sejak akhir Desember 2018 tetapi tidak juga turun hingga Mei 2019.
Pada 2020, ekonomi Indonesia luluh lantak karena Pandemi Covid-19. Untuk pertama kalinya sejak Krisis Moneter 1997/1998, ekonomi Indonesia terkontraksi. Pembatasan mobilitas membuat angka pengangguran dan kemiskinan kembali naik.
Pada 2022, pemulihan ekonomi Indonesia dan konsumsi rumah tangga menghadapi cobaan berat karena kenaikan harga BBM serta lonjakan harga bahan pangan karena peperangan di berbagai negara dan munculnya fenomena pemanasan global. Adapula munculnya kebijakan tren suku bunga acuan bank sentral yang tinggi hingga 2024.
Hingga tahun terakhir ia menjabat, berbagai permasalahan itu masih dihadapi Jokowi. Bahkan potensi tekanan daya beli masyarakat bertambah dengan munculnya berbagai kebijakan yang menekankan pendapatan masyarakat.
Mulai dari adanya tambahan kebijakan potong gaji untuk iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) hingga rencana asuransi wajib kendaraan bermotor.
Di tengah berbagai rencana kebijakan yang menekan daya beli itu, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas sebetulnya mencatat 40 juta pekerja di Indonesia masih memiliki gaji di bawah Rp 5 juta.
Jauh di bawah target pendapatan per kapita hingga akhir 2024 sebesar US$ 5.500 per tahun, atau setara Rp 7,45 juta per bulan.
Di sisi lain, saat rendahnya tingkat gaji masyarakat, inflasi bahan pangan juga semakin mengikis pendapatan bulanan mereka.
Inflasi bahan pangan bergejolak atau volatile food naik sejak Januari 2024 hingga mencapai level tertingginya pada Maret 2024 sebesar 10,33%, sebelum akhirnya turun pada Juni 2024 ke posisi 5,96%.
Per Mei saja, level inflasi bahan pangan bergejolak masih sebesar 8,14%, jauh di atas kenaikan rata-rata gaji di Indonesia.
Mengutip catatan Bank Indonesia kenaikan gaji untuk aparatur sipil negara atau ASN pada periode 2019-2024 hanya sebesar 6,5% dengan catatan untuk periode 2020-2023 tak ada kenaikan gaji ASN. Adapun, kenaikan UMR atau gaji pegawai swasta rata-rata hanya 4,9% pada 2020-2024.
Sumber: CNBC